Pengalihan Nilai dan “Kekuatan” Pancasila, karena Kepentingan Pemilik Modal

 

Sidoarjo,fixsnews.co.id — Pengalihan (distraksi) nilai-nilai Pancasila dalam sistem hukum, sistem pemerintahan (penyelengaraan negara atau penyelenggaraan pemerintahan), sistem peradilan, dan sisi positif dalam hal kemanusian, karena ada kepentingan pemerintah dan pemilik modal, mempengaruhi pembuatan undang-undang maupun peraturan perundangan terkait.

Demikian secara garis besar pemikiran narasumber pada Webinar tentang “Eksistensi Nilai Pancasila Ditengah Distraksi Cita Kebangsaan”, pada Rabu (29/8/2020), dengan Penyelengaraan Fakultas Bisnis, Hukum dan Ilmu Sosial Univeristas Muhammadiyah Sidoarjo.

Di antaranya undang-undang dan RUU paling disoroti ialah UU ITE, UU Pers, UU KIP, UU Administrasi Kependudukan, UU Grasi, dan RUU HIP serta RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Dan sampai 2019, terdapat 263 permohonan pengujian undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Webinar dengan diikuti Rektor Univeristas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Hidayatulloh, M.Si, Dekan FBHIS Umsida, Wisnu D Setiyono, M.Si PhD, Noor Fatimah Mediawati, SH. MH, (Kaprodi Ilmu Hukum FBHIS), Rifai Ridlo Pahlevi, SH, MH (Ketua LKDH Umsida) dengan diikuti peserta secara nasional sesuai dengan data pendaftaran peserta.

“Webinar ini diselenggarakan karena keprihatinan kita bersama, RUU HIP terjadi pro dan kontra di masyarakat. Dan Pancasila sebagai perjanjian yang Agung, semoga dapat dipertahankan,” kata Wisnu memberikan kata pembuka.

Dipandu moderator Multazam SH, MKN, Dr. Hamdan Zoelva SH, MH, memberikan analisa bahwa eksistensi Pancasila ada yang salah pada penempatan dan ada pemaksaan. Ancaman lain, Pancasila tidak pada posisinya.

Menurut Hamdan, konsep yang berkembang dan prinsip dari sila-sila sudah baik, karena mampu mengatasi ideologi yang ada di dunia ini. “Kenyataannya banyak RUU, justru nilai-nilai Pancasila jauh dari harapan,” katanya.

Ahmad Riyadh UB P.hD memberikan pernyataan penutup bahwa banyak undang undang disusupi sebagai distraksi (pengalihan) nilai-nilai Pancasila karena kepentingan pemerintah dan kepentingan pemilik modal, mengabaikan kepentingan masyarakat.

Padahal, Presiden Joko Widodo bersama Tim Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) semestinya menjadi benteng terakhir memperpanjang eksistensi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimana ketika proses pembuatan maupun ketika sudah ditetapkan jadi undang-undang.

Misalnya, kata Riyadh, sudah ditetapkan menjadi undang undang, ternyata tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Presiden dengan sungguh-sungguh dalam tempo singkat dapat mengganti dengan PERPU.

“Yang jelas, Pancasila sebagai kesepakatan para pendiri bangsa, san hadiah terbesar bangsa Indonesia dari umat Islam karena sepakat dengan Dasar Negara Pancasila. Oekha karena itu, seharusnya dijaga dengan baik dan tidak boleh ada upaya ingkar janji,” tuturnya.

Presiden, lanjutnya, menjadi benteng terakhir karena ketika sudah jadi undang-undang, ternyata ada distraksi terhadap Pancasila, segera menutup celah itu dengan segera membuat Peraturan Pengganti Undang undang (PERPU). Demikian juga BPIP, semestinya aktif mengoreksi secara konstruktif produk undang-undang sejak proses, jika terdapat diatrasksi nilai-nilai Pancasila. Melaporkan kepada Presiden untuk diperbaiki.

Sementara itu, Prof Dr Aidul Fitricia SH, MHum, menegaskan bahwa dalam sistem peradilan, potensi distraksi ada pada; (1) Hakim; (2) Jaksa, Polisi, dan Lapas; (3) Advokat dan mediator; (4) perangkat di pengadilan seperti panitera, juru sita, dan sekretaris.

Dalam hal kemandirian peradilan, sabagai amanat pasal 3 (1) bahwa “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim
dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Juga amanat pasal 4 (1), bahwa; “1)Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Sedangkan dalam hal menegakkan hukum dan keadilan, maka harus memegang amanat pasal pasal 5, yaitu;
(1)Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2)Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. (3)Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Al Khanif SH, MA, LLM, Ph.D mengatakan bahwa demi kemanusian, keadilan dan persatuan, maka tidak bisa hanya menjadikan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila utama untuk dapat dipadukan dengan semua sila.

Tetapi, sila pertama dan sila kedua, “Kemanusian yang adil san beradab”, sebagai panduan atau menjadi rujukan dengan sila lain. Hal itu guna menjaga eksistensi Pancasila itu sendiri.

Sebab, menurutnya, pemerintah memiliki peranan penting dalam distraksi pandangan Islam di Indonesia, sehingga eksistensi Pancasila terjaga sesuai dengan kesepakatan nasional dan hak asasi manusia.

Mengenai bantuan asing terkait dengan pembangunan infrastruktur bangunan lembaga peradilan maupun sistem komputerisasi serta digitalisasi, Prof Aidul, melihat sepanjang hanya bantuan atau sumbangan murni tidak apa-apa. Tetapi sangat mencederai keadilan, jika sampai melakukan kontrol terhadap sistem peradilan. “Yang penting jangan sampai konsep keadilan meninggalkan yang rentan,” tandasnya.

Kekhawatiran distraksi Pancasila pada masalah hukum, terutama bagi pencari keadilan, Riyadh menegaskan bahwa, apabila hakim dihadapkan dua pilihan antara kekuatan hukum dan kekuatan keadilan berdasarkan kebenaran, maka putusan hakim wajib memilih memihak atau memutuskan pada keadilan.

Narasumber dan peserta sepakat bahwa pengalihan (distraksi) nilai-nilai Pancasila, sebagai Dasar Negara, sebagai sumber dari segala sumber hukum, juga kekuatan pemersatu bangsa, karena kepentingan elit politik dan elit pemerintah serta pemilik modal. “Oleh karena itu para wakil rakyat, jangan dipilih rakyat, kemudian mengkhianati kepentingan rakyat”. (jt/*)