Kesehatan dan Keselamatan Kerja Lebih Dibutuhkan, Kenapa Omnibus Law yang akan Disahkan?

JAKARTA, FIXsnews.co.id – Ibarat jauh panggang dari api, demikian gambaran mengenai harapan pekerja di Indonesia dengan kenyataan yang ada. Adapun yang diinginkan adalah perlindungan yang kebih ketat terhadap hak-haknya, yang diberikan adalah omnibus law RUU Cipta Kerja yang justru mereduksi hak-hak mereka.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan Minyak Gas Bumi dan Umum (FSP KEP – KSPI) Bambang Surjono menjelaskan, hingga saat ini Konvensi ILO NO 176 tentang Keselamatan dan Kesehatan di Tambang belum diratifikasi. Padahal konvensi yang sudah ada sejak tahun 1995 itu mendesak untuk diratifikasi, mengingat angka kecelakaan pekerja di sektor tambang masih terbilang tinggi.

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, Kepala Inspektur Tambang Indonesia Sri Raharjo mengungkap kecelakaan kerja di pertambangan mineral dan batubara sepanjang tahun 2019 menewaskan 24 orang. Sekali lagi, hal ini mengkonfirmasi bahwa tambang adalah area kerja yang beresiko tinggi.

“Karena tempat kerja di tambang sangat beresiko, harus ada regulasi yang mengatur secara khusus mengenai keselamatan dan kesehatan pekerja di pertambangan. Bagaimana pun, nyawa manusia tidak bisa digantikan dengan apapun,” tegas Bambang dalam sebuah kegiatan Panel Diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, Rabu (26/8/2020).

Lebih lanjut Bambang Surjono menyampaikan, Undang-Undang No 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang saat ini berlaku tidak mampu memberikan proteksi. Hal ini, karena, beleid yang diundangkan sejak 30 tahun yang lalu itu dianggap ketinggalan zaman.

“Salah satu kelemahan undang-undang tersebut adalah, tidak adanya sanksi pidana yang bisa memberikan efek jera bagi pengusaha yang tidak menjalankan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja, karena sanksinya hanya berupa denda sebesar Rp 100,000 (seratus ribu rupiah),” tegasnya.

Berdasarkan catatan, perjuangan serikat pekerja mendesak agar Indonesia meratifikasi Konvensi ILO 176 sudah muncul sejak tahun 2009. Saat itu terjadi kecelakaan kerja di Sawah Lunto. Di mana tambang bawah tanah itu dikerjakan secara manual itu meledak dan menewaskan 32 orang pekerja tambang yang berjibaku di kedalaman kurang lebih 100 meter.

Bahkan pada Juli 2017, sempat dilakukan dialog sosial terkait Konvensi ILO No 176 dengan affilasi IndustriAll sektor Tambang dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian ESDM. Tetapi sayang, hingga saat ini, konvensi ini tidak segera diratifikasi.

Di tempat yang sama, pengurus DPP FSP KEP – SPSI (CEMWU) Ngatiyem menyampaikan, selain Konvensi ILO No 176, Konvensi ILO No 183 dan No 190 juga mendesak untuk dirativikasi.

“Konvensi No 183 adalah mengenai perlindungan maternitas, yang mencakup cuti melahirkan selama 14 minggu. Lebih panjang dari yang diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 yang hanya mengatur 12 minggu,” kata Ngatiyem.

“Konvesi juga mewajibkan pekerja perempuan yang kembali bekerja pasca melahirkan dikembalikan ke tempat kerja semula, tidak boleh di PHK dengan alasan hamil, larangan menuntut tes kehamilan pada saat melamar, memberikan hak istirahat harian lebih panjang untuk menyusui, serta hak tidak bekerja pada tempat yang membahayakan kesehatan ibu dan anak,” tambahnya.

Sementara itu, lanjut Ngatiyem, Konvensi ILO No 190 adalah terkait dengan penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Ini mengacu pada serangkaian perilaku dan praktik yang tidak dapat diterima, atau ancaman baik sekali atau berulang, menyebabkan, atau cenderung membahayakan secara fisik, psikologis, seksual atau ekonomi, dan termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender.

Bagi pekerja, hal-hal terkait keselamatan dan kesehatan, perlindungan maternitas, serta penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja; adalah sesuatu yang mendesak untuk diimplementasikan. Salah satu caranya dalah dengan meratifikasi 3 konvensi terkait dengan ketiga hal itu, agar bisa menjadi hukum positif di Indonesia.

Ironisnya, permasalahan yang secara langsung menyangkut kepentingan kaum buruh tersebut tidak dikebut. Padahal sudah bertahun-tahun yang lalu, kaum buruh meminda agar ratifikasi segera dilakukan. Tetapi justru pemerintah dan DPR ngebut untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja (omnibus law), yang keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki kaum buruh.(Kahar S. Cahyono)