Caption:Kontainer di terminal peti kemas pelabuhan Yangshan di Shanghai, China, 10 Oktober 2024. (Casey Hall/REUTERS)
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2024 mengalami surplus USD3,26 miliar atau naik USD0,48 miliar secara bulanan. Meskipun surplus, neraca perdagangan Indonesia dengan China, menurut lembaga itu, mengalami defisit yang cukup dalam.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (15/10) mengungkapkan, surplus pada September 2024, menjadikan neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus selama 53 bulan berturutan sejak Mei 2020.
“Surplus neraca perdagangan September 2024 ini lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya, namun lebih rendah dibandingkan bulan yang sama tahun lalu,” ungkap Amalia.
Ia menjelaskan, kondisi surplus neraca perdagangan pada September 2024, ditopang oleh surplus pada komoditas non migas yang mencapai USD4,62 miliar dan berasal dari bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, serta besi baja.
Namun, pada saat yang sama komoditas migas Indonesia mencatatkan defisit sebesar USD1,36 miliar.
Necara perdagangan yang surplus tersebut disebabkan nilai ekspor pada September 2024 masih lebih besar dibandingkan impor. Tercatat ekspor Indonesia pada September 2024 mencapai USD22,08 miliar atau turun 5,80 persen dibandingkan Agustus 2024. Sementara itu, nilai impor Indonesia pada periode yang sama mencapai USD18,82 miliar atau turun 8,91 persen jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Dalam periode September 2024, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit terdalam dengan tiga negara mitra dagang. Amalia menjelaskan negara-negara tersebut adalah China yang defisitnya sebesar USD0,63 miliar, Australia USD0,37 miliar dan Thailand USD 0,32 miliar.
Adapun komoditas penyumbang defisit terbesar dengan China adalah mesin dan kendaraan serta bagian-bagiannya.
Untuk Australia, penyumbang defisit neraca perdagangannya adalah komoditas logam mulia, perhiasan permata, serealia, dan bahan bakar mineral. Sementara itu, untuk Thailand, penyebab utama defisit adalah komoditas plastik dan barang dari plastik, kendaraan dan bagiannya, serta peralatan mekanis serta bagiannya.
Untuk Australia, penyumbang defisit neraca perdagangannya adalah komoditas logam mulia, perhiasan permata, serealia, dan bahan bakar mineral. Sementara itu, untuk Thailand, penyebab utama defisit adalah komoditas plastik dan barang dari plastik, kendaraan dan bagiannya, serta peralatan mekanis serta bagiannya.
“Pada September 2024 Indonesia juga mengalami surplus perdagangan barang dengan beberapa negara, dan tiga terbesar yang mengalami surplus adalah dengan Amerika Serikat sebesar USD1,39 miliar, India USD0,94 miliar, dan Filipina USD0,78 miliar,” jelasnya.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menilai defisit neraca perdagangan dengan China menandakan bahwa pelemahan ekonomi negeri tirai bambu tersebut telah berdampak pada Indonesia. Apalagi perekonomian China pada kuartal-III diproyeksikan melambat.
“Ekspor yang dilakukan dari Indonesia ke China akhirnya juga ikut mengalami perlambatan dan saya kira satu hal yang ikut mengkonfirmasi terkait perlambatan ekonomi China adalah rilis realisasi investasi beberapa hari yang lalu. Kalau kita perhatikan secara realisasi untuk investasi industri logam dan dasar itu meskipun tumbuh tetapi sedikit terjadi penyesuaian angka. Kenapa? Karena industri logam dasar merupakan produk hilirisasi, terutama nikel dan produk hilirisasi nikel ini banyak yang diekspor ke China. Jadi ketika misalnya permintaan produk hilir dari China melambat, ini akan mempengaruhi injeksi investasi ke sektor tersebut,” ungkap Yusuf ketika berbincang dengan VOA.
Selain itu, menurutnya perekonomian China sedang dalam tahap penyesuaian yang mana sebelumnya dorongan perekonomiannya berasal dari ekspor dan investasi, kini berasal dari konsumsi rumah tangga. Selain itu, tambahnya, perekonomian China juga terdampak oleh adanya perang dagang.
“Jadi kalau kita perhatikan ada dua faktor utama, pertama terkait perubahan atau switching ekonomi China dan juga sudah ikut melambat, mesin perekonomian atau ekspornya sudah tidak sederas atau sebaik 5-10 tahun yang lalu, dan di saat yang bersamaan faktor-faktor seperti perang dagang yang sudah terjadi, pandemi, ini faktor yang ikut melambatkan perekonomian China sehingga ini juga akhirnya berdampak pada negara emerging market seperti Indonesia,” jelasnya.
Yusuf menyarankan kepada pemerintahan baru kelak untuk memperluas atau melakukan diversifikasi pasar dan tidak terlalu bergantung pada pangsa pasar China.
“Apalagi kita sudah mengambil pelajaran ketika pandemi COVID-19 karena share market ekspor kita sangat besar ke China, dan ketika China terdampak kita akhirnya juga ikut terdampak,” tuturnya.
Ia mengatakan masih banyak potensial pasar baru yang porsinya saat ini masih kecil terhadap ekspor Indonesia. Pakistan, menurutnya, bisa dijajaki karena saat ini negara tersebut masih memiliki bonus demografi dengan jumlah penduduk relatif tinggi seperti Indonesia, pertumbuhan perekonomiannya tidak terlalu jelek, dan mayoritas penduduknya Muslim. Menurutnya, berbagai kesamaan dengan Indonesia tersebut bisa dimanfaatkan.
Yusuf juga mengatakan negara-negara di Afrika Utara seperti Mesir perlu dijajaki mengingat pangsa pasar ekspor Indonesia ke wilayah itu masih kecil. Dengan begitu, katanya, perlahan namun pasti pangsa pasar ekspor Indonesia ke China bisa diturunkan secara bertahap.
Di sisi lain, Yusuf juga menilai bahwa surplus neraca perdagangan yang terjadi kali ini bukan berarti pertanda baik. Pasalnya, selain ekspor, impor juga dilaporkan mengalami penurunan. Permasalahannya adalah impor yang dilakukan Indonesia, sebanyak 50 persen diperuntukkan untuk kebutuhan bahan baku industri.
“Jadi ketika misalnya impornya turun berarti kebutuhan bahan bakunya turun. kebutuhan bahan baku turun menggambarkan bahwa aktivitas produksi industri di dalam negeri sedang mengalami perlambatan. Dan ini sebenarnya terkonfirmasi dengan data-data yang berkaitan dengan industri seperti PMI yang di beberapa bulan sebelumnya berada pada level kontraktif, di bawah 50. Jadi menurut kami surplusnya ini memang tidak sepenuhnya baik karena ekspornya turun tetapi impornya lebih turun dan impor yang turun ini menggambarkan bahwa ekonomi tengah berada pada fase perlambatan,” pungkasnya.(VOA/03)