Fixsnews.co.id-Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) proaktif menjangkau permohonan perlindungan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang kepala desa di Kudus. Kasus ini mencuat setelah laporan diterima oleh Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) pada Mei 2024 dan dilaporkan ke Polres Kudus.
Wakil Ketua LPSK Wawan Fahrudin menyatakan, LPSK tengah melakukan investigasi menyeluruh. Meskipun korban belum resmi mendapat status terlindung, LPSK proaktif turun langsung ke Kudus, Rabu (23/10/2024). Wawan beserta tim menemui Kapolres Kudus, AKBP Roni Bonic, Wakapolres Kompol Satya Adi Nugraha, Kasat Reskrim AKP Danail Arifin, serta beberapa penyidik Polres Kudus. Dalam pertemuan itu, Wawan meminta Polres menangani kasus ini secara serius untuk memastikan korban memperoleh keadilan.
Pelaku yang merupakan ayah kandung korban, diduga telah melakukan kekerasan seksual sejak 2011. LPSK kini sedang mengkaji perlindungan yang bisa diberikan kepada korban, termasuk dukungan psikologis dan perlindungan fisik, sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam persiapan proses perlindungan, LPSK menghimpun informasi dan keterangan dengan menemui Korban, koordinasi dengan Polres Kudus, koordinasi Jaringan Perlindungan Perempuan dan Anak (JPPA) dan Dinas Sosial pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinsos P3AP2KB) Kabupaten Kudus.
Kasus ini terungkap melalui Laporan Polisi Nomor LP/B/37/V/2024 yang diterima Polres Kudus pada 17 Mei 2024. Korban, yang kini berusia 18 tahun, melaporkan bahwa kekerasan seksual itu terjadi sejak ia berusia 8 tahun. Pelaku adalah ayahnnya sendiri yang menjabat kepala desa, dan kekerasan tersebut dilakukan pada korban selama bertahun-tahun.
Wawan menekankan pentingnya penanganan serius terhadap kasus ini mengingat kuatnya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Menurutnya kasus ini sangat rentan karena pelaku adalah ayah kandung korban dan juga seorang pejabat desa, sehingga membuat posisi korban sangat lemah dan rawan intimidasi.
“Pelaku adalah ayah kandung korban dan pejabat desa. Ini membuat korban berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap intimidasi dan viktimisasi,” ujarnya.
LPSK masih dalam tahap penelaahan atas permohonan perlindungan dari korban. Selain itu, LPSK juga mendukung penghitungan restitusi yang wajib dibayar oleh pelaku sebagai kompensasi bagi korban. LPSK bekerja sama dengan JPPA yang telah mendampingi korban sejak awal.
Berdasarkan data LPSK, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terus meningkat. Pada 2024, LPSK menerima 1.004 permohonan kasus kekerasan seksual dengan 784 kasus merupakan kekerasan seksual anak.
Wawan menegaskan peran penting LPSK dalam memberikan perlindungan hukum, fasilitasi restitusi, pemulihan medis dan psikologis bagi korban. Wawan juga mengapresiasi peran aktif JPPA dalam mendampingi korban. LPSK akan terus memantau perkembangan kasus ini dan memastikan hak-hak korban terpenuhi.(red)