Fixsnews.co.id- Perubahan yang direncanakan dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), termasuk rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), menjadi perhatian serius bagi Jamkeswatch Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
“Kami menilai bahwa langkah ini dapat berdampak negatif pada peserta JKN, terutama segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) dan peserta mandiri kelas 1, serta masyarakat rentan yang tergantung pada skema Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),” kata Direktur Jamkeswatch FSPMI Tommy Juniannur dalam siaran pers yang diterima Fixsnews.co.id, Kamis (14/11/2024).
Baca Juga:Minta Digaji Sesuai UMK, Buruh Pabrik Pengolahan Kayu di Pasuruan Demo
Menuju Satu Dekade JKN: Kontribusi BPJS Kesehatan Mewujudkan Indonesia Lebih Sehat
Pengurangan Manfaat Akomodasi dan Penurunan Kualitas Layanan
Tommy Juniannur memaparkan, peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024 yang mengatur tentang KRIS akan mengubah skema rawat inap di rumah sakit menjadi berbasis kamar standar dengan lebih banyak tempat tidur. Misalnya, peserta PPU dan mandiri kelas 1, yang sebelumnya dirawat di ruangan dua tempat tidur, kini akan ditempatkan di ruangan berkapasitas empat tempat tidur. Hal ini tentu menurunkan benefit akomodasi dan kenyamanan bagi peserta. Penerapan ruang rawat inap berbasis KRIS juga akan menurunkan standar pelayanan karena adanya potensi penurunan privasi dan kenyamanan.
“Sebagai tambahan, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan iuran untuk peserta mandiri kelas 3 serta membebani Pemda yang membayar iuran PBI APBD. Dengan beban anggaran yang lebih tinggi, Pemda akan kesulitan mencapai Universal Health Coverage (UHC) sesuai target pemerintah, yang berarti makin banyak masyarakat tidak mampu yang mungkin tidak akan terjangkau layanan JKN,” paparnya.
Berpotensi Meningkatkan Antrian dan Kekurangan Tempat Tidur
Tommy Juniannur mengungkapkan, PP No. 47 Tahun 2021, Pasal 18, mewajibkan RS milik pemerintah menyediakan 60% tempat tidur untuk kelas standar dan 40% bagi RS swasta. “Meski ini bertujuan meningkatkan aksesibilitas, kenyataannya banyak RS swasta yang mengalokasikan seluruh tempat tidur mereka untuk peserta BPJS Kesehatan. Dengan penerapan KRIS, peserta JKN akan semakin sulit mendapat ruang rawat inap karena keterbatasan tempat tidur yang disesuaikan dengan ketentuan KRIS. Hal ini akan berdampak pada antrian yang lebih panjang, terutama di rumah sakit swasta yang mendominasi layanan kesehatan di banyak daerah,” ungkapnya.
Kenaikan Iuran Memberatkan Peserta dan Mengabaikan Prinsip Keadilan Sosial
Tommy Juniannur mengatakan, rencana kenaikan iuran, yang akan ditetapkan paling lambat pada 1 Juli 2025 sebagaimana tercantum dalam Perpres No. 59 Tahun 2024, justru memberatkan peserta, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit. “Kenaikan ini seolah mengabaikan prinsip keadilan sosial dan keberpihakan terhadap masyarakat rentan. Mengorbankan hak peserta demi penyesuaian tarif yang mungkin menguntungkan segelintir pihak, tetapi justru mengabaikan kebutuhan peserta JKN akan layanan yang layak, murah, dan terjangkau,” katanya.
Perlunya Peninjauan Ulang Demi Kepentingan Peserta JKN
“Kami dari Jamkeswatch FSPMI menolak kebijakan KRIS yang disertai kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kami mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi lebih lanjut terkait kebijakan ini. Fokus utama seharusnya adalah meningkatkan kualitas layanan tanpa mengorbankan hak dan kenyamanan peserta. Penerapan KRIS serta kenaikan iuran yang tidak memperhatikan dampak bagi masyarakat rentan akan berdampak negatif pada kepercayaan publik terhadap program JKN,” kata Tommy Juniannur.
Tommy menyampaikan bahwa pihaknya berharap pemerintah mempertimbangkan suara dan kebutuhan masyarakat dalam menetapkan kebijakan kesehatan yang lebih pro-rakyat, dan tetap menjadikan kesehatan sebagai hak dasar yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.(Ben)