Jember, Jatim|Fixsnews.co.id- Dampak kebijakan pemerintah yang tidak lagi mengakui tenaga honorer sebagai bagian dari abdi negara sangat dirasakan, terutama oleh guru honorer di sekolah. Pemberlakuan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat GTT atau guru honorer tidak lagi diakui sebagai bagian dari ASN. Kebijakan ini memaksa mereka untuk memilih antara tetap bekerja tanpa gaji atau mengundurkan diri.
Meski pemerintah sudah tidak lagi mengakui sejumlah guru yang berstatus honorer, tapi tidak bagi pihak sekolah. Guru honorer tetap difasilitasi demi dedikasinya kepada peserta didik tidak pupus.
Caranya cukup mengetuk nurani. Para guru PNS dan PPPK di sana kompak patungan untuk membayar keringat sang guru honorer. Meski itu bentuknya hanya berupa uang bensin atau transportasi.
Menurut Kepala SDN Sumberpinang 2 Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Wahyudi April Afandi, sejak diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2023, Dinas Pendidikan telah menyerukan bahwa untuk gaji guru honorer sekarang dilarang menggunakan bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP). Pilihannya dirumahkan, tetap bekerja tanpa honor, atau bertahan dengan partisipasi wali murid.
Pilihan sulit itu pun disikapi berbeda-beda oleh sekolah. Ada yang langsung merumahkan guru honorer, adapula guru honorer yang mengajukan pengunduran diri karena merasa tak nyaman. “Namun, sekolah kami tetap memikirkan solusi, bagaimana guru honorer bisa mendapatkan honor, meski hanya berupa transpor atau beli bensin saat akan mengajar,” kata Wahyu.
Dalam beberapa pekan terakhir, aktivitas para guru di SDN Sumberpinang 2, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, tetap berjalan seperti biasa. Meskipun pemerintah telah menghapus status guru honorer, pihak sekolah tetap memfasilitasi mereka agar dedikasi kepada siswa tidak terputus.
Para guru PNS dan PPPK di sekolah tersebut kompak patungan untuk membayar transportasi guru honorer. “Jumlah guru di sekolah kami ada 11 orang, terdiri dari 3 ASN dan 8 GTT. Sementara jumlah siswa mencapai 204,” ungkap Wahyudi.
Pemberlakuan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat GTT atau guru honorer tidak lagi diakui sebagai bagian dari ASN. Kebijakan ini memaksa mereka untuk memilih antara tetap bekerja tanpa gaji atau mengundurkan diri.
Akibatnya, banyak pegawai honorer, termasuk guru, menghadapi badai PHK. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: tetap mengajar tanpa honor atau resign dari tugas mulia mereka. “Dinas Pendidikan telah mengingatkan bahwa gaji guru honorer tidak boleh menggunakan bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP),” kata Wahyu.
Beberapa sekolah memilih untuk merumahkan guru honorer, sementara yang lain mencari solusi agar guru honorer tetap bisa mengajar. Di SDN Sumberpinang 2, pihak sekolah memutuskan untuk melibatkan wali murid dalam iuran untuk membayar GTT, namun juga memilih patungan dari ASN. “Kami memilih patungan dari 3 ASN, yaitu 1 PNS dan 2 PPPK, untuk memberikan uang transportasi kepada 8 GTT. Cara ini lebih aman karena menggunakan dana pribadi,” tambahnya.
Di sekolah tersebut, terdapat 11 guru, di mana 8 di antaranya adalah GTT non-ASN, dan sekolah memiliki 9 rombongan belajar. “Proses belajar mengajar akan kurang efektif jika hanya ditangani oleh 3 guru ASN tanpa bantuan honorer,” jelas Wahyu.
Ia mengapresiasi langkah pihak sekolah yang melakukan swadaya untuk mendukung guru honorer tanpa harus merumahkan mereka. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak ada kepastian sampai kapan guru PNS dapat membantu, mengingat mereka juga memiliki keluarga. “Kami mendorong pemerintah untuk tidak menutup mata terhadap fenomena ini,” pungkasnya.(Dilli)