Anak Bajang Menggiring Angin ; Rahwana, Rama, Kera dan Raksasa

Nasional, Pendidikan1,521 views

Fixsnews.co.id- Adalah Prabu Danareja penguasa Lokapala yang terpesona kepada Dewi Suksesi. Putra Prabu Sumali dari Alengka. Danareja yang bijaksana, menderita karena jatuh cinta pada Dewi Sukesi yang cantik. Begawan Wisrawa, orang tua Danareja yang juga petapa tua yang arif dan sangat mencintai anaknya, tidak sanggup melihat penderitaan anaknya karena Cinta. Begawan Wisrawa pun berangkat ke Alengka menemui temannya Prabu Sumali. Mau meminta Dewi Sukesi menjadi istri anaknya.

Sementara Dewi Sukesi mempunyai syarat lain mengenai lelaki yang bisa menjadi suaminya. Suksesi bersedia menjadi istri bagi siapa saja yang bisa mengupas kitab Sastra Jendra Hayuninrat Pangruwating Diyu. Syarat yang membuat ayahnya Prabu Sumali risau. Karena Sastra Jendra bukanlah kitab main-main. Selain sangat sulit dipahami, Sastra Jendra juga mempunyai kesaktian tidak terkira. Bila binatang bisa memahaminya, maka dia akan naik derajat menjadi manusia. Sementara bila manusia bisa memahaminya, maka dia naik derajat menjadi makhluk langit.

Namun bagi Begawan Wisrawa yang dikenal suci dan arif, mengupas Sastra Jendra bukanlah hal sulit. Wisrawa bisa mengupas semua kandungan Sastra Jendra sehingga menjadikan derajat Dewi Sukesi naik.

Hanya saja ketika mendedah Sastra Jendra, ada kesalahan sublim dan fatal. Keduanya diliputi nafsu ketika mengupas Sastra Jendra. Suksesi dan Wisrawa merasa karena usaha merekalah maka mereka bisa memahami Sastra Jendrasehingga derajatnya naik ke langit. Padahal mereka bisa seperti itu bukan karena usahanya, tapi karena kasih sayang para Dewa. Sebuah situasi yang akan mengingatkan orang pada peringatan kaum sufi. Bahwa manusia masuk surga bukan karena amalnya, tapi karena kasih sayang Tuhan.

Karena diliputi hawa nafsu, Sukesi terpesona oleh Begawan Wisrawa yang tampak agung di matanya. Begitu juga sebaliknya. Begawan Wisrawa juga tertarik dengan kecantikan Dewi Sukesi. Akhirnya Wisrawa bukan hanya gagal menjadikan Sukesi sebagai istri anaknya, tapi malah menjadikan Sukesi Ibu anak-anaknya. Dari Sukesi lah lahir anak Wisrawa bernama Rahwana. Raksasa bermuka sepuluh, sakti dan tidak bisa terkalahkan. Rahwana yang lahir dari nafsu angkara murka selanjutnya menjadi Raja adigung adiguna. Di kemudian hari ketika Wisrawa dan Sukesi berhasil menyingkirkan nafsu dalam dirinya, lahirlah anak mereka bernama Gunawan Wibisana. Anak yang sifatnya berkebalikan dengan Rahwana.

Sementara di tempat lain, adalah Dasarata sedang menguji ketangkasannya berburu di sebuah hutan. Namun Raja Ayodya yang dicintai rakyatnya ini, terburu nafsu dan ceroboh. Panahnya mengenai seorang pertapa muda dan mengakibatkan kematian. Masalahnya, anak muda itu bukan hanya seorang petapa, tapi juga anak muda yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Setiap hari dia membawa air minum untuk orang tuanya yang buta. Meningalnya anak muda itu, menimbulkan kesedihan sampai kematian bagi kedua orang tuanya. Karena kecerobohan dan nafsu yang sudah memisahkan orang tua dan anaknya, Dasarata diingatkan bahwa dia pun akan dipisahkan dengan anaknya karena cinta seorang wanita.

Di kemudian hari, Dasarata betul-betul berhadapan dengan kutukan ini. Rama, anak yang sangat dicintainya juga rakyatnya, mesti keluar dari Istana. Ibu tiri Rama meminta Dasarata untuk mengasingkan Rama ke hutan karena dia ingin anaknya lah yang menjadi penerus Dasarata memerintah Ayodya, bukan Rama. Dasarata mesti berpisah dengan anak yang dicintainya karena cinta seorang Ibu.

Rama, yang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, akhirnya menjalani pengasingan di hutan bersama istrinya yang sangat cantik, Dewi Sinta. Hanya saja sebagaimana kecantikan Sukesi yang menimbulkan hura-hara, begitu juga kecantikan Sinta. Rahwana yang sudah menjadi penguasa Alengka, juga terpesona dengan Dewi Sinta dan ingin menjadikannya sebagai istri. Dengan berbagai upaya, akhirnya Rahwana bisa membawa Dewi Sinta ke kerajaannya.

Sebagai lelaki yang mencintai istrinya, Rama ingin merebut kembali Sinta dari tangan Rahwana. Sementara sebagai titisan Dewa Wisnu, Rama juga mesti menghancurkan Rahwana. Raja adigung adiguna yang kepemimpinannya di Alengka menumpahkan darah dimana-mana. Hal tidak jauh berbeda dengan Rahwana. Sebagai Raja, Rahwana tidak ingin kekuasaannya ditumbangkan Rama. Sementara sebagai lelaki yang terpesona oleh Sinta, Rahwana pun ingin mempertahankan Sinta dari tangannya.

Pertempuran pun dimulai

Rahwana dengan angkara murka, berhadapan dengan Rama dengan cinta. Pasukan Rahwana adalah manusia raksasa. Bila manusia adalah lambang kesempurnaan, maka manusia raksasa adalah kesempurnaan diatas kesempurnaan. Situasi yang melahirkan kesombongan pada diri para raksasa.

Sementara pasukan Rama adalah para Kera. Kera adalah makhluk dibawah manusia yang tidak sempurna. Namun karena ketidaksempurnaan itulah, Kera selalu melakukan upaya untuk meraih kesempurnaan. Ketika mendengar paparan ini, maka kita akan teringat kepada pengingatan salah satu inovator terbaik dunia, Steve Jobs. Dalam speech nya di wisuda Stanford University, pendiri Apple ini mengingatkan para sarjana Stanford untuk senantiasa “Stay hungry,stay foolish.” Bahwa kalau ingin maju, orang harus terus merasa lapar (akan pengetahuan) dan merasa bodoh.

Akhir dari pertempuran seperti yang sudah diperkirakan. Rama bisa mengalahkan Rahwana dan merebut kembali Sinta. Dengan Cinta nya, Rama bisa meratakan gunung untuk mengurug lautan untuk membawa ribuan pasukan Kera. Karena hasrat untuk memperbaiki diri dan ingin menjadi sempurna, pasukan Kera yang menjadi ujung tombak Rama bisa mengalahkan para Raksasa yang menjadi pasukan Rahwana.

Namun di akhir, Sindhunata penulis novel ini memberikan efek dramatis. Cinta (kebaikan) terhadap Sinta yang selama ini dasar motivasi melawan Rahwana, tiba-tiba hilang pada diri Rama. Ketika Rahwana sudah ditaklukan, Rama mempertanyakan kesetiaan, kesuciaan dan Cinta Sinta. Padahal Sinta sudah mengorbankan segalanya untuk menjaga kesucian dan kesetiaan pada Rama. Karena hilang nya Cinta, Rama sampai meminta Sinta yang mencintai Rama untuk membakar dirinya.

Apa yang ditunjukan Rama ketika berkuasa ini, akan mengingatkan kita pada ujaran dari Hannah Arendt. Seorang feminis pemikir sosial politik dari Jerman yang hidup di zaman Nazi. Menurut Arendt “The most radical revolutionary will become the conservative the day after revolution” Bahwa mereka yang paling radikal mendukung revolusi akan menjadi konservatif sehari setelah revolusi terjadi.

Bagi banyak kalangan, novel Anak Bajang Menggiring Angin dari Sindhunata yang sudah menjadi klasik ini, merepresentasikan perlawanan mereka yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan absurditas kekuasaan. Lihatlah absurditas kekuasaan ketika Rama berhasil menaklukan Rahwana. Apa yang dilakukan Rahwana, secara terselubung juga dilakukan Rama. Meski dalam bentuk berbeda. Anak Bajang sarat dengan imajinasi simbolik yang menggali-makna-makna filosofis yang dalam sehingga bisa menghadirkan kembali kisah klasik Ramayana dalam sebuah sastra yang indah dibaca dan dicerna.

Sosok Rahwana yang digambarkan Sindhunata, mau tidak mau akan mengingatkan kita pada kondisi sekarang ini. Bila dalam novel ini Sindhunata menggambarkan Rahwana pada diri satu orang, Raja Alengka, maka dalam kehidupan nyata kadang kita seperti menghadapi Rahwana yang tidak berbilang. Banyak orang yang berlaku seperti Rahwana, meski dia bukan di puncak kekuasaan seperti Rahwana. Lebih tragis lagi, bahkan banyak yang berlaku seperti Rahwana padahal dia bukan hanya tidak ada di puncak kekuasaan seperti Rahwana, kesaktian seperti Rahwana yang sulit mati pun tidak dia miliki.

Mungkin yang agak menyentuh adalah ketika Sindhunata menutup novel ini dengan fragmen anak-anak kera dan anak-anak raksasa. Ketika Rama berlaku seperti Rahwana yang penuh angkara murka, anak-anak kera dan anak-anak raksasa justru bermain-main gembira. Kera dan Raksasa yang baru saja berdarah-berdarah bertarung membela Rahwana dan Rama, sekarang anak-anak mereka bermain gembira bersama-sama.

Dalam paragraph penutupnya, Sindhunata menulis“Mereka terus bersenda gurau. Lari berkejar-kejaran. Main gajah-gajahan. Berguling-guling di tanah sambil bersorak riang. Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan mereka tidak berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegermbiraan mereka seakan mengejek: kisah dan riwayat yang dialami orang tua mereka ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka”

Mungkin seperti itulah mestinya kita menghadap absurditas kekuasaan. Dihadapi dengan ceria dan gembira seperti anak-anak yang bermain. Bermain-main dengan siapapun. Terlepas apakah dulu dia musuh atau bukan. Hanya mungkin masalahnya, kita tidak hanya sedang berhadapan dengan Rahwana yang ada dimana-mana, tapi juga kera dan raksasa sudah tidak bisa lagi bermain bersama. Karena kera dan raksasa nya tidak bisa bermain bersama, anak-anak nya pun kadang tidak bisa bermain bersama lagi.(Delianur)