TANGSEL (FN)- Wakil Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Benyamin Davnie mengatakan Islam ramah dan moderat dalam beragama, sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multikultural. Hal itu disampaikan saat menghadiri apel peringatan hari Santri Nasional tingkat Kota Tangerang Selatan bersama Wali Kota Airin Rachmi Diany di Pondok Pesantren Al Amanah Al Batani Kecamatan Setu, Tangsel, Selasa (22/10).
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kantor Kemeterian Agama Kota Tangerang Selatan itu dihadiri oleh santri dari berbagai Pondok Pesantren di Kota yang bermotto Cerdas, Modern dan Religius ini.
Bertindak sebagai inspektur upacara, Wakil Walikota menyampaikan amanat Menteri Agama Republik Indonesia. Hari santri ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, sejak itu setiap tahunnya peringatan hari santri dilaksanakan di Indonesia dengan berbagai tema yang berbeda.Pada tahun 2016 mengusung tema dari pesantren untuk Indoesia, kemudian tahun 2017 bertemakan wajah pesantren wajah Indonesia, selanjutnya ditahun berikutnya mengusung tema bersama santri damailah negeri.
“Meneruskan tema sebelumnya, peringatan hari santri tahun 2019 mengusung tema santri Indonesia untuk perdamaian dunia,”ujar Walikota.
Benyamin Davnie mengatakan, isu perdamaian dunia diangkat berdasarkan fakta bahwa sejatinya pesantren adalah laboratorium perdamaian. Sebagai Laboratorium perdamaian, pesantren merupakan tempat menyemai ajaran islam rahmatan lil alamin.
“Islam ramah dan moderat dalam beragama, sikap moderat dalam beragama sangat penting bagi masyarakat yang plural dan multicultural,” ujar Benyamin.
Lanjutnya, dengan cara seperti inilah keragaman dapat disikapi dengan bijak, serta toleransi dan keadilan dapat terwujud.
“Semangat ajaran inilah yang dapat menginspirasi santri untuk berkontribusi merawat perdamaian dunia,” ucapnya.
Dikatakan Wakil Walikota, setidaknya terdapat sembilan alasan dan dasar mengapa Pesantren layak disebut laboratorium perdamaian, diantaranya adalah kesadaran harmoni beragama dan berbangsa dalam perlawanan kultural di masa penjajahan.
“Pembentukan dasar negara,tercetusnya revolusi jihad 1945 hingga melawan pemberontakan tidak lepas dariperan kalangan pesantren,” ujarnya.
Kedua metode mengaji dan mengkaji, selain mendapatkan bimbingan, teladan,dan transfer ilmu dari kiai di pesantren, diterapkan juga keterbukaan kajian, yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai dengan kajian lintas mazhab. Kemudian ketiga para santri biasa diajarkan untuk pengabdian.
“Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas yang dibingkai dalam paradigm etika agama dan kebutuhan sosial,” ujarnya.
Keempat santri memiliki pendidikan kemandirian, kerjasama dan saling membantu sesama santri. Kondisi ini memupuk solidaritas dan gotong royong sesama santri. Kelima gerakan komunitas seperti kesenian yang tumbuh subur di pesantren.
“Seni dan sastra berpengaruh kepada perilaku seseorang, sebab mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan keindahan, harmoni dan kedamaian,” paparnya.
Adapun alasan keenam, lahirnya beragam kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar untuk membahas hal remeh sampai dengan yang serius.
“Dalam kelompok diskusi membentuk santri berkarakter terbuka terhadap hal baru dan berbeda,”kata dia.
Kemudian alasan ketujuh pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjadikan lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis. Kedelapan adalah prinsip maslahat atau kepentingan umum nmerupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren.
Terakhir adalah penanaman spiritual, tak hanya soal hukum islam yang didalami, banyak pesantren juga melatih santrinya untuk tazkiyatunnafs yaitu program pembersihan hati.
“Ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasasehingga akan melahirkan fikiran dan tindakan yang bersih dan benar, makanya pesantren jauh dari pemberitaan intoleransi, pemberontakan apalagi terorisme,” pungkasnya. (Hms/Ben)