Cardiometabolic (series#01)- Pendekatan Klinis Sindrom Kardiorenal, Kapan Memerlukan Hemodialis?

oleh

 

Penulis : Dokter Karel Dourman Saragih HS, SpPD. Sp JP, FIHA

Tinjauan Kepustakaan

Sindrom kardiorenal suatu kumpulan gejala yang mencakup gangguan jantung dan ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal serta tanda-tanda utama berupa kelebihan cairan (overload) akibat gagal jantung.

Terdapat berbagai jenis:

Tipe 1: Gangguan jantung akut yang mengakibatkan gangguan ginjal
Tipe 2: Gangguan jantung kronis mengakibatkan gangguan ginjal kronis
Tipe 3: Gangguan ginjal akut yang mengakibatkan gangguan jantung akut
Tipe 4: Gangguan kronis ginjal bersamaan gangguan jantung kronis
Tipe 5: Gangguan yang mengenai jantung dan ginjal sekaligus.

Penampakan klinis seringkali sukar membedakan kelimanya. Pada pasien yang rutin kontrol akan lebih mudah untuk menentukan jenisnya.
Kesamaan kelima tipe di atas terdapat kondisi jantung dan ginjal yang akan saling memperburuk.

Gangguan ginjal berupa Pre-renal yakni perfusi ginjal yang terganggu diakibatkan fungsi pompa jantung yang berkurang.

Secara klinis terlihat dengan tiga keluhan utama (terutama jenis yang penyebab utama jantung lalu mengenai ginjal) yaitu berupa:

Ortopnoe: Tidur dengan bantal tinggi
PND (Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe): Terbangun malam hari dengan batuk dan sesak akibat kongestif (cairan di jaringan paru)
DOE (Dysnopnoe On Effort) : sesak saat beraktivitas.

Pemeriksaan fisik tanda kelebihan cairan di paru (kongesti) dapat ditandai dengan peningkatan Jugular Venous pressure (JVP) yang meningkat.

Pada paru ditemukan ronki dan pembesaran jantung (Left Ventricle Hypretrophi), dapat juga disertai dengan bunyi bising jantung (murmur) dan bengkak tungkai (edema).

Saat emergensi biasanya dengan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF), terjadi Acute Kidney Injury (AKI) dengan jenis Pre-renal (bersumber sebelum ginjal/umumnya gangguan hemodinamik akibat gagal jantung), yang ditandai dengan perburukan fungsi ginjal.

Varian lain yang juga dapat juga terjadi Acute on Chronic Renal Failure. Yaitu Gangguan ginjal (boleh jadi karena batu atau infeksi kronis ginjal) yang mengakibatkan penumpukan cairan di paru-paru dan atau seluruh tubuh seringkali juga diperberat oleh rendahnya albumin (hipoalbumin).

Haemoglobulin yang rendah (Hb < 10 gr/dl) boleh jadi akan membantu diagnosa kronisitas gangguan ginjal (Tipe 3 dan 4 yakni penyebab gangguan jantung adalah gangguan ginjal). Karena ginjal juga memproduksi hormon eritropoetin yang merangsang sumsum tulang untuk membentuk sel darah merah jadi lebih banyak. Bila tidak ditemukan tanda-tanda anemis, berupa Conjungtiva yang pucat dan Haemoglobin yang normal, diagnosa kerjanya Acute Kidney Injury. Pada yang kronis terjadi anemis akibat hormon eritopoetin yang rendah. Biasanya pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin diberikan asupan injek hormon eripoetin berupa injeksi. Untuk mempertahankan haemogloibulin > 10 gr/dl dengan syarat asupan besi (ferritin) nya cukup.

Pada kondisi ini boleh dilakukan forced diuresis berupa drip furosemid dapat dimulai dari 10 mg/jam hingga 20 mg/jam.

Dengan koreksi faktor lain seperti hipoalbumin dan infeksi, biasanya respons cukup baik ditandai dengan diuresis yang normal, dengan urin > 0.5 cc/kg bb/jam.

Faktor lain yang juga sebagai determinan/komorbid yang paling sering adalah Diabetes yang harus terkontrol.

Pada perawatan, kasus sindrom kardiometabolik tidak selalu mudah. Idealnya dengan sliding scale tidak semua pasien nyaman dengan metode ini . Mereka memilih obat diabetes oral sehingga gula lebih tidak terkontrol
Pada akhirnya pilihan pada pasien untuk memilih apakah haemodialisis atau tidak adalah hak pasien yang ditandai dengan surat persetujuan (Informed concern).

Teoritis haemodialis bukan terapi definitif hanya sementara. Terapi akhirnya adalah cangkok ginjal. Dengan kemajuan terapi terutama obat-obat penekan ketertolakan ginjal donor (Imunosupresi). Risiko ketertolakan donor kecil tetapi timbul masalah baru yaitu sindrom kardiorenal yang tidak terdeteksi dan diabaikan.

Indikasi mutlak hemodialisis akut (setelah terapi optimal gagal jantung dan atau sebagai akibat biasanya):

Asidosis Metabolik yang tak dapat kembali setelah koreksi
Anuria
Coma uremikum

Hal lain yang dapat memastikan tipe sindrom kardiorenal adalah hasil USG ginjal bila tidak menciut korteks dan medula masih baik, berarti pasien menderita sindrom kardiometabolik Tipe 1 (Gangguan jantung akut yang mengakibatkan gangguan ginjal). Dan Tipe 3 (Gangguan jantung dan ginjal akibat infkesi berat/sepsis).

Pada Tipe 2, 4 dan 5 terdapat konstriksi ginjal (mengecil) dan batas kortek medula tidak jelas.

Saat hendak memulai hemodialis, kondisi jantung perlu diterapi dan evaluasi, agar stabil hingga ‘putaran mesin’ (Quick of Blood / QB) sekitar 250-300 ml/menit tercapai agar cukup kuat untuk menghasilkan urin yang adekuat untuk mencapai berat badan kering (berat badan dengan tanpa kelebihan cairan dan tidak ada keluhan berarti).

Pada beberapa kasus bila gangguan jantung diabaikan seringkali membuat hemodialis tidak efektif sehingga pasien jatuh pada syok kardiogenik hingga tidak dapat dilakukan hemodialisis. Hal ini akan membutuhkan obat-obat penunjang hemodinamik seperti Dobutamin, Dopamin dan Norepineprin.

Pada ADHF yang sulit diatasi (intractable) dan kritis dengan terapi pada sindrom kardiorenal CRRT (Continous Renal Replacemet Therapy) dibutuhkan untuk mengeluarkan cairan. Biasanya dilakukan di Intensive Care Unit.

Pada kondisi seperti hiperkalemia dan dosis terapi yang meningkat seperti Dobutamin, Dopamine dan Norepineprin akan membuat risiko fatal bertambah karena aritmia (tachy arhytmia).

Akhir kata, pada kasus sindrom kardiorenal dibutuhkan kejelian klinis sebelum hemodialis, terutama pada Tipe 1 (Gangguan jantung akut yang mengakibatkan gangguan ginjal).

Tinjauan Kasus

Ny A (60 tahun ) pasien rawat homecare kondisinya memburuk lalu akhirnya dirawat

Riwayat:
Diabetes dan hipertensi lama
Datang ke poli dengan tanda-tanda dan klinis gagal jantung

Diagnosa:
ADHF ec CHF NYHA kelas II- III
Dengan dugaan infeksi dan gangguan ginjal dengan DM tidak terkontrol
Dengan pembesaran jantung
Peningkatan kreatinin dan ureum

Dilakukan terapi gagal jantung unloading
Pemakaian diuretik untuk preload: Hydrochlorotiazide (HCT), Spironolactone, Furosemid.
Untuk afterload : Vasodilator, Amlodipin dan Candesartan.
Dan inotropik dan kronotropik dengan digoxin dan bisoprolol

Dengan forced diuretic mulai dari 10 mg/jam hingga 20 mg/jam sesuai jumlah urin.

Jumlah urin cukup banyak, klinis perbaikan.
Hingga diputuskan tetap terapi konservatif.
Sebelum pulang rencana pasang vena sentral line untuk pemantauan cairan dan untuk hemodialisis cito bila dilakukan.

Rencana kontrol ulang.
Dan bila kurang respon dengan terapi, boleh rawat ulang untuk evaluasi.

Kesimpukan:
ADHF ec CHF NYHA kelas II- III
Infeksi paru
AKI (Acute Kidney Injury) pada sindrom kardiorenal tipe 1
Prerenal akibat perfusi jantung yang tidak adekuat
Berbagai pemeriksaan boleh dilakukan seperti Cystatin C NGAL KIM-1

Menurut penulis, pendekatan klinis tetap utama disbanding pemeriksaan tanda (marker) sindrom kardiorenal.
Kedepannya, terapi jantung harus lebih optimal pada pasien yang mengalami gangguan ginjal (sindrom kardiorenal) pun bila suatu waktu bila akan dilakukan cangkok ginjal.  Sebaiknya sindrom kardiorenal diterapi dari awal.

Tidak jarang setelah operasi cangkok ginjal berhasil pasien kembali ke Hemodialisis karena terjadi air seni tidak keluar (anuria). Akibat sindrom Kardiorenal tidak dikelola dengan baik dan optimal.

Bintaro240223
Homecare dr.k – Experience is believing

 

Dokter Karel Dourman Hotman Saragih, Sp.PD, Sp.JP adalah seorang dokter penyakit dalam, jantung dan Pembuluh Darah yang berhasil merampungkan buku kumpulan (antologi) puisi yang berjudul Refleksi Diri. Ditengah kesibukannya sebagai dokter yang menjadi garda terdepan untuk memerangi COVID-19 tidak menghalangi seorang Karel Dourman menyalurkan hobinya membuat puisi.

“Saya tidak pernah merasa lelah maupun frustasi karena menulis adalah bekerja untuk keabadian, ” ungkap dr. Karel Dourman Hotman Saragih, Sp.PD, Sp.JP, FIHA saat ditemui Fixsnews.co.id, Minggu (17/4/2022).

Dokter Karel Dourman Hotman Saragih, Sp.PD, Sp.JP menamatkan pendidikan Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 2009. Beliau juga telah menamatkan pendidikan Spesialis Penyakit Dalam di Universitas yang sama pada tahun 1997. Tidak sampai disitu, beliau juga aktif dalam mengikuti workshop dan seminar guna menambah wawasan beliau di bidang jantung dan pembuluh darah baik di dalam maupun luar negeri. Beliau mengikuti American Heart Association Congress (AHA) di Dallas, USA (2013), The International Society on Trombosis and Haemostasis (STH) di Liverpool, UK (2012) dan Hearth Rthym Society Congress di Sanfransisco, USA (2011).

Selain sebagai anggota dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Karel Dourman, Sp.PD, Sp.JP juga terdaftar sebagai anggota di beberapa organisasi seperti Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Persatuan Ahli Kardiologi Indonesia (PERKI), Persatuan Ultra Sonografi Indonesia (PUSKI), Persatuan Onkologi Indonesia (POI) dan juga Deutsch-Indonesische Gesellschaft fűr Medizin (DIGM).