Caption:Guru dan siswa adalah pihak yang paling terdampak jika terjadi perubahan kebijakan menteri baru. (foto dok. Fitri S)
Ada kelakar yang mengakar di masyarakat bahwa pergantian menteri akan diikuti perubahan kebijakan. Di sektor pendidikan, guyonan ini kadang merepotkan jika benar terjadi, karena tidak pernah mudah mengikuti perubahan sistem, baik bagi siswa, guru maupun orang tua. Apalagi jika datangnya tiba-tiba.
Fixsnews.co.id—
Fitri Sari Sukmawati, Kepala Sekolah SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta, masih ingat betapa repotnya pendidik ketika Kurikulum Merdeka diterapkan.
“Secara umum, memang membuat perubahan yang sangat drastis dalam hal sistem yang diberlakukan, di mana menurut kami yang ada di praktisi itu, tidak siap dengan perubahan yang sangat luar biasa,” kata Fitri tentang Kurikulum Merdeka.
Kurikulum itu digagas ketika Nadiem Makarim menjabat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Secara resmi diluncurkan pada Februari 2022, kurikulum ini dipromosikan jauh lebih ringkas dan fleksibel, khususnya untuk mengejar ketertinggalan belajar akibat pandemi COVID 19.
“Jadi, ya semrawutnya itu sangat terasa. Dari pola yang sebelumnya Pak Muhadjir, dengan yang dibawa oleh Pak Nadiem,” ujar Fitri.
Muhajir yang disebut Fitri adalah Muhadjir Effendy, Mendikbud pada 2016-2019. Ia kemudian digantikan Nadiem Makarim di periode kedua Presiden Joko Widodo mulai 2019 hingga 2024.
Fitri memberi contoh perubahan drastis yang terjadi. Sebelumnya, pengawasan sekolah diberikan kepada pendamping yang turun langsung ke sekolah-sekolah. Dalam era Nadiem, semua itu dialihkan secara digital melalui platform-platform yang disediakan secara daring.
“Banyak aplikasi. Di mana kepala sekolah dan guru harus mempelajari terus menerus. Adanya program guru penggerak, kapala sekolah penggerak, itu tahapan yang sangat membuat kita kerepotan secara umum. Apalagi bagi guru-guru yang setengah tua, umur 50 tahun ke atas itu sudah enggak bisa mengikuti lagi dengan program Pak Nadiem,” beber Fitri.
Adaptasi Kebijakan
Sektor pendidikan memiliki kompleksitas masalah yang berbeda dengan sektor lain. Fitri menilai, perpindahan kebijakan dari era Muhadjir Effendy ke Nadiem Makarim berjalan tidak cukup mulus. Penerapan kebijakan baru tidak memperhatikan kesiapan guru dan kepala sekolah di lapangan.
“Jadi, belum disiapkan sama sekali untuk ke arah kurikulum yang disebut Kurikulum Merdeka. Itu malah membingungkan bagi yang di lapangan. Ini di Jogja saja masih banyak yang kebingungan, apalagi yang di daerah-daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (3T),” tambah Fitri.
Dia menduga, Nadiem cenderung lebih memperhatikan kawasan lebih maju, dan kurang mempertimbangkan kawasan pinggiran, apalagi daerah seperti Papua.
Padahal, Kurikulum Merdeka sebenarnya diakui Fitri memiliki banyak nilai positif. Bagi pendidik yang memiliki pola pikir maju, kurikulum ini memberi ruang bagi mereka untuk mengombinasikanya dengan kurikulum lain. Di SMA yang dipimpinnya, Fitri menautkan kurikulum nasional dengan kurikulum Muhammadiyah dan kurikulum internasional. Kombinasi semacam ini, justru menjadi kebutuhan bagi anak didik, kata dia.
Fitri menambahkan, yang harus dilakukan adalah memastikan bahwa kemampuan guru ditingkatkan agar mampu menerapkan konsep baru ini. Tetapi inipun bukan tanpa masalah, apalagi bagi guru-guru yang memiliki kemampuan terbatas dalam hal teknologi, maupun yang tidak dapat mengakses internet dengan baik.
Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Jakarta, Totok Amin Soefijanto menganggap perubahan kebijakan termasuk kurikulum adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Banyak pihak, ia mengingatkan, akan mengeluhkan perubahan besar itu jika bentuknya adalah pergantian total.
“Yang perlu diperbaiki dari proses pergantian dan kemudian efek kebijakannya adalah bahwa kebijakan yang baru itu berangkat dari kebijakan yang lama. Sehingga, efek kejutnya itu enggak terlalu besar,” kata Totok kepada VOA.
Jika kebijakan baru tersebut benar-benar baru, tanpa berangkat dari kebijakan sebelumnya, tentu Totok memaklumi bahwa pendidik akan terkejut. Dia menyebut itu sebagai perubahan yang ekstrem.
Dia mengaku, sepanjang pengalamannya dalam bidang pendidikan, kebijakan antarpejabat yang berbeda biasanya tetap memiliki benang merah. Namun tetap ada unsur-unsur yang disebutnya politis, di mana seorang menteri ingin meninggalkan warisan atau legacy kebijakan. Dia kemudian seolah menghapus kebijakan lama sama sekali, dan mengejutkan semua pihak.
“Seharusnya kan bisa ada acknowledgment kepada pejabat sebelumnya, dengan menyebut bahwa ini adalah kelanjutan dari pejabat sebelumnya, kemudian ditunjukkan kelanjutannya,” tambah Totok.
Totok menyebut, perubahan kebijakan dalam sektor pendidikan, apalagi kurikulum, sebenarnya justru harus dilakukan dari waktu ke waktu. Dia memberi contoh, dalam lima tahun terakhir terjadi pandemi COVID 19 dan perubahan teknologi yang sangat drastis. Situasi itu membutuhkan berbagai penyesuaian. Jika kebijakan pendidikan ditetapkan melalui kerangka besar yang sulit diubah, justru pendidik dan peserta didik tidak akan bisa berbuat banyak.
Sektor pendidikan, lanjut Totok, harus adaptif, dengan pedoman besar utamanya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Jadi jangan takut dengan perubahan. Cuma yang kita minta dari pejabat publik, itu menunjukkan linimasa perubahan seperti ini, ke depan tantangannya seperti ini,” ujarnya lagi.
Sebagai kepala sekolah, Fitri setuju dengan apa yang ditekankan Totok.
“Berubah itu bagus. Kurikulum lebih cepat berubah, kalau zamannya lebih cepat berubah,” ujarnya.
Namun, dia berharap dalam era menteri baru, perubahan tidak dilakukan secara drastis.
Zonasi dan UN
Fitri menyebut, ada dua isu yang akan menjadi perhatian publik dalam masa pemerintahan baru yaitu penerapan zonasi dalam pendaftaran sekolah dan apakah Ujian Nasional (UN) yang dihapuskan di era Nadiem Makarim, akan diterapkan lagi.
Zonasi sekolah adalah kebijakan era Muhadjir Effendy yang diteruskan Nadiem Makarim. Tujuannya, mendorong anak-anak masuk ke sekolah yang paling dekat dengan rumahnya. Bagi sekolah swasta yang telah mapan, kebijakan ini tidak berdampak. Namun, bagi sekolah swasta yang kecil di pinggiran, sistem zonasi memperkecil potensi jumlah siswa mereka, urai Fitri.
Sementara itu, Nadiem menghapus UN, yang dalam era sebelumnya menjadi alat ukur kelulusan seorang siswa dari sekolah. Ujian akhir serentak secara nasional yang digelar pada akhir tahun ajaran sering dianggap sebagai momok bagi siswa, dan inilah yang dirombak oleh Nadiem.
Fitri cenderung setuju dengan penghapusan UN dalam pengertian bahwa itu merupakan ujian akhir untuk memastikan kelulusan siswa. Penyeragaman semacam itu, kata dia, membuat siswa-siswa di sekolah yang memiliki keunggulan dalam bidang lain, seperti seni, tidak terakomodasi dengan baik.
“Maka kalau misalnya mau dihidupkan lagi yang dinamakan UN itu, mohon jangan dijadikan sebagai tolok ukur kesuksesan siswa. Kesuksesan siswa itu serahkan pada guru, melalui kepala sekolah,” papar Fitri.
Totok Amin juga memperkirakan bahwa menteri pendidikan yang baru akan mempertahankan sistem zonasi. “Karena Pak Mu’ti dan Kak Muhadjir hampir sama konsepnya tentang zonasi,” kata Totok.
Namun, sistem inipun perlu perbaikan.
“Menurut pengalaman saya, harus disesuaikan dengan lokalitas, dengan situasi daerah masing-masing. Jadi diberi semacam diskresi buat daerah untuk zonasinya seperti apa, saya kira untuk itu bisa banyak contoh,” tambahnya.
Sedangkan untuk UN, Totok menduga menteri baru akan kembali menerapkannya meski dalam skema yang berbeda. “Mungkin ada penyesuaian, tetapi prinsipnya assessment terhadap kinerja anak didik, prestasi akademik itu akan dipelajari, atau dievaluasi. Jadi evaluasi tahunan akan ada, saya kira,” ujarnya.
UN, menurut Totok, harus dikembalikan kepada tujuan awalnya yaitu mengukur kemajuan dari tahun ke tahun dalam sektor pendidikan. Tanpa sebuah proses ujian nasional, sulit untuk mengukur seberapa baik proses pembelajaran yang berjalan selama setahun atau selama 3 tahun. “Jadi kalau bisa, ujian nasional dibuat dalam rangka peningkatan yang berkelanjutan,” kata dia lagi.
Karena itu, selain evaluasi yang diperlukan adalah apa perbaikan yang diperlukan setelah itu. Totok mengingatkan bahwa sistem pendidikan Indonesia sudah sering menerima kritik keras, bahkan dari pakar dunia. Salah satu penyebabnya adalah karena kinerja yang cenderung stagnan, sementara pembiayaannya terus naik. Karena itu, harus ada pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang meningkat dari tahun ke tahun itu, dengan adanya peningkatan kinerja.
“Gimana kita mengukur peningkatan kinerja kalau enggak ada ukurannya. Kalau enggak ada ujian, susah kita mengukurnya. Soal ujiannya itu seperti apa, mari kita buat. Misalnya supaya anak-anak enggak stress, banyak ujian yang membuat anak enggak stress. Jadi jangan terus karena dianggap buruk atau banyak orang protes, terus dihapus sama sekali,” papar Totok.
Di Jakarta, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti menjanjikan akan mengkaji semua kebijakan lama, sebelum mengambil keputusan, khususnya terkait Kurikulum Merdeka.
“Kami juga harus mengkaji, ya ini kan masih baru, kan. Kurikulum ini kan masih baru. Bahkan penerapannya walaupun sudah dinyatakan harus diterapkan semuanya, kan juga dalam praktiknya juga belum semua satuan pendidikan dapat melaksanakan,” kata Mu’ti. “Jadi kita lihatlah. Kita tidak akan buru-buru mengambil kebijakan. Apalagi memang ada polemik yang sekarang ini juga memang masih terus terjadi di masyarakat.”
Mu’ti ingin kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipimpinnya, merupakan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Ia juga akan mencermati dan mendengar masukan pemangku kepentingan sektor pendidikan, terkait kebijakan sistem zonasi dan UN.
“Soal Ujian Nasional, soal zonasi, Kurikulum Merdeka, yang sekarang masih menjadi perdebatan, nanti kita lihat semuanya secara sangat seksama. Dan kami akan sangat berhati-hati,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan apakah Ujian Nasional akan diterapkan lagi? Mu’ti menjawab, “Saya belum sampai pada keputusan itu. Intinya kami ingin mendengar dulu. Kami ingin mendengar dari internal, juga ingin mendengar dari para pakar, juga dari masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan dan juga masyarakat sebagai pengguna jasa layanan pendidikan,” tegasnya.(VOA/03)