Enam Puluh Tahun Lalu Muhammad Ali Goreskan Sejarah Jadi Juara Tinju Kelas Berat Dunia

Caption:Petinju kelas berat Muhammad Ali, kanan, mengunjungi pemain belakang Cleveland Browns dan aktor Jim Brown di lokasi syuting “The Dirty Dozen” di Morkyate, Bedfordshire, Inggris. (Foto: AP)

Fixsnews.co.id- Enam puluh tahun lalu, 25 Februari 1964, Muhammad Ali – yang ketika itu dikenal sebagai Cassius Clay – menjadi juara tinju kelas berat dunia ketika mengalahkan Sonny Liston di Miami Beach. Selepas itu Ali melesat tak terkendali hingga penyakit Parkinson mengganggu sistem syaraf pusatnya.

Menjelang pertandingan pada 25 Februari 1964, Muhammad Ali – yang saat itu dikenal sebagai Cassius Clay – berpose dengan The Beatles, yang baru saja tiba di Amerika Utara. Petinju yang berusia lebih muda ini dikenal sebagai petinju yang kerap sesumbar tentang kehebatannya.

Pada saat penimbangan berat badan untuk pertarungan itu, Ali mengklaim bahwa ia akan “melayang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti lebah.” Ia kemudian menyebut Liston dan legenda tinju Amerika keturunan Afrika, Joe Louis, berkaki datar.

“Katakan pada Joe Lewis dan Sonny Liston! Saya di sini bersama Sugar Ray (Robinson), Joe Louis dan Sonny Liston si kaki datar. Sugar Rae dan saya adalah dua penari yang cantik. Kami akan mengalahkanmu.”

Olok-olok saat penimbangan berat badan di Miami Beach Convention Hall itu membuat Ali didenda sebesar US$2.500.

Menjelang pertandingan, Liston memiliki berat badan 98,8 kilogram dan Ali 95,2 kilogram.

Memenuhi janjinya, Ali – petinju baru yang tidak diunggulkan – menghukum Liston selama enam ronde, dan gagal mencapai ronde ketujuh, menjadikan Ali sebagai juara dunia kelas berat yang baru.

Setelah pertandingan itu, dengan wajah ceria Ali bergurau dengan para wartawan.

“Kalian semua, para wartawan, telah membuat Liston kesulitan. Jangan pernah menulis tentang saya seperti itu. Jangan pernah membuat saya enam banding satu (dalam bursa taruhan), Anda hanya membuat saya marah. Jangan pernah membuat saya tidak diunggulkan dan jangan pernah berbicara tentang siapa yang akan menghentikan saya. Tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan saya. Tidak ada petarung kelas berat di dunia yang cukup cepat untuk menghentikan saya.”

Ia menggoda para wartawan untuk menyatakan dirinya sebagai ‘yang terhebat’, sebuah julukan yang terus melekat padanya.

Cassius Marcellus Clay Jr. lahir di Louisville, Kentucky pada 1942, seorang keturunan budak Amerika sebelum era Perang Saudara.

Juara kelas berat Muhammad Ali, kiri tengah, dan Dr. Martin Luther King berbicara kepada wartawan. (Foto: AP)

Jauh sebelum gerakan kaki dan pukulannya yang memukau membuatnya menjadi juara tinju kelas berat dunia tiga kali, dan membuatnya dikenal sebagai Muhammad Ali, atlet muda ini mengasah kemampuannya dengan latihan bersama teman-teman di sekitar rumahnya, dan berlari di samping bus dalam perjalanan ke sekolah.

Ali memulai karier tinjunya sebagai petinju amatir di Louisville pada tahun 1950-an, dan memenangkan medali emas tinju pada 1960 di Olimpiade di Roma. Ia kemudian menjadi juara dunia kelas berat tiga kali. Pertama, saat mengalahkan Sonny Liston pada 1964. Ia masuk Islam segera setelah kemenangannya itu dan mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Namun pada 1967 lisensi tinjunya dibekukan, dan gelar WBC (World Boxing Council) dan WBA (World Boxing Association)-nya dicopot.

Melabeli dirinya sebagai penentang keras perang, Ali menolak masuk wajib militer, tepatnya di Angkatan Darat Amerika. Ketika itu Amerika sedang berperang di Vietnam Utara. Ali menolak ikut perang karena keyakinan agamanya. Ia dijatuhi hukuman lima tahun penjara, tetapi tetap bebas saat kasusnya dalam proses banding. Hukuman itu akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Agung 1971.

Mantan juara tinju kelas berat Muhammad Ali, kiri, bergabung dengan Sylvester Stallone, tengah, dan lawan main Stallone di “Rocky”, Carl Weathers, kanan, di New York pada 1996. ( Foto: AP)

Pada Maret 1971 Ali kembali ke atas ring, berhadapan dengan Joe Frazier, yang memegang gelar juara kelas berat WBC dan WBA yang sebelumnya milik Ali. Frazier mempertahankan sabuk bergengsi itu setelah mendapat keputusan mutlak dari para juri di akhir apa yang dikenal sebagai “Pertarungan Abad Ini.”

Ali kemudian mengalahkan Joe Bugner, dengan keputusan mutlak, namun kembali kalah ketika melawan Ken Norten pada 1973 dengan keputusan terbelah.

Melihat situasi ini Ali banting setir dengan memusatkan diri pada latihan dan menanamkan tekad untuk membalas dendam lamanya pada Frazier. Ali memenangkan pertandingan ulangnya melawan Frazier, yang telah kehilangan gelarnya dari George Foreman pada awal 1973.

Foreman mempertaruhkan gelarnya ketika menghadapi Ali di Republik Demokratik Kongo, dulu dikenal sebagai Zaire.

Meskipun menghadapi lawan yang lebih besar dan lebih muda darinya, Ali menggunakan semua pengetahuan tinjunya untuk merekayasa kemenangan. Dengan menggunakan apa yang kemudian disebutnya sebagai taktik “rope-a-dope,” di mana ia berdiri di taling ring menerima semua pukulan yang ditimpakan Foreman padanya, sebelum memukul KO lawannya dengan satu gerakan sangat cepat.

Foreman cepat lelah karena cuaca panas di Kinshasa, di mana mereka bertanding; dan kalah pada ronde ke delapan. Ali merebut kembali gelar juara dunia kelas berat dalam pertandingan yang dijuluki sebagai “Rumble in the Jungle” atau “Gemuruh di Hutan.”

Ali kembali bertemu Frazier di Filipina 1975 dalam pertarungan yang disebut sebagai “Thrilla in Manila.” Ali menang lewat technical knockout (TKO) pada ronde ke-14, kemenangan yang membuatnya menunda rencana pensiunnya.

Ali berhasil mempertahankan gelar WBC dan WBA-nya sebanyak enam kali, sebelum kalah angka dari Leon Spinks pada tahun 1978. Dalam pertandingan ulang di tahun yang sama, Ali merebut kembali sabuk juara dunia kelas berat, tetapi kemudian mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia tinju.

Setelah cuti selama dua tahun, Ali kembali ke ring tinju pada tahun 1980, tetapi ia menderita TKO pada ronde kesepuluh dari Larry Holmes, dan kalah dari Trevor Berbick setahun kemudian lewat keputusan bulat. Pertandingan tahun 1981 itu menjadi yang terakhir dalam karir Ali. Secara keseluruhan ia menyelesaikan rekor 61 pertarungan, dan memenangkan 56 diantaranya. Dari puluhan kemenangan itu, 37 diantaranya dengan TKO. Ali lima kali kalah.

Tak lama setelah pensiun dari ring tinju, Ali didiagnosa menderita penyakit Parkinson, yaitu suatu gangguan degeneratif yang mempengaruhi sistem saraf pusat.

Ali dijuluki sebagai “Si Bibir Louisville” dan “Juara Rakyat.” Tetapi ia paling bangga jika disebut sebagai “The Greatest” atau “Yang Terhebat.” Yang pasti ketenaran dan gaya bertinju Ali jauh melampaui ring, dan membuatnya dianggap sebagai salah satu legenda sejati di atas ring dan juga di depan kamera.

“Saya katakan tadi malam, saya bermimpi, ketika saya tiba di Afrika, saya disambut gemuruh yang dahsyat, saya harus mengalahkan Tarzan terlebih dahulu karena mengaku sebagai raja hutan. Untuk pertarungan ini saya bergulat dengan buaya, dan dengan ikan paus. Saya telah menangkap sang petir dan memasukkan guntur ke dalam penjara… Saya bisa berlari melewati badai dan tidak basah. Ketika George Foreman bertanding dengan saya, dia akan membayar hutangnya. Saya dapat melakukan apapun, jangan main-main dengan saya. Tunggu sampai kalian melihat Muhammad Ali. ”

Muhammad Ali meninggal dunia pada 3 Juni 2016, dalam usia 74 tahun.(VOA/03)