Caption:Hamparan tembakau di Wonosobo, Jawa Tengah. Petani mengeluhkan RUU Kesehatan Pasal 154 yang menempatkan tembakau sebagai produk yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lain. (Foto: VOA/Nurhadi)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Pasal 154 menempatkan tembakau sebagai produk yang setara dengan narkotika dan zat adiktif lain. Bagi petani, pasal itu seolah lonceng kematian budidaya komoditas berharga ini.
Fixsnews.co.id- Saat ini adalah pekan yang sibuk pagi petani tembakau di kawasan lereng Gunung Sumbing dan Sindoro, di Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Selain rutin merawat tanaman yang baru berusia sekitar 2 bulan, secara bergantian petani menggelar upacara adat wiwit mbako di setiap desa.
Bedanya, seperti dituturkan petani sekaligus Kepala Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Ahmad Isyaudin, gelaran wiwit mbako pada tahun ini dibayangi kegalauan hati akibat muatan Pasal 154 RUU Kesehatan yang baru.
Baca Juga:Langgar Perda, Puluhan Bangunan Liar Ditertibkan di Pasar Pisang Kelurahan Bencongan
Begini Cara Gunakan Layanan Mobil Jenazah Gratis Pemkot Tangerang
Lantik 1.104 PPPK Tenaga Kesehatan, Benyamin: Patuhi Aturan, dan Jaga Etika
“Penyetaraan tembakau dengan narkotika itu sama juga dengan membunuh petani. Kalau sudah narkotika, barang sudah ilegal. Padahal tembakau itu kan barang legal,” ujar Ahmad Isyaudin, yang akrab dipanggil Udin kepada VOA.
Wiwit mbako adalah prosesi ucap syukur petani yang digelar di masa tanam, di pertengahan tanam dan di masa panen. Ingkung ayam dan nasi tumpeng disajikan sebagai gambaran kedekatan dan kecintaan petani di kawasan lembah sejuk ini terhadap tanaman tembakau. Tidak mengherankan, mereka tegas menolak isi RUU Kesehatan Pasal 154 yang dianggap akan menjadikan tembakau sebagai tanaman terlarang.
“RUU ini belum pernah disosialisasikan. Apa dampaknya bagi petani, enggak ada yang ngajak bicara, enggak ada yang ngajak musyawarah. Tiba-tiba muncul dan membuat resah. Sejauh ini kami protes dengan baliho-baliho saja. Tetapi kalau tidak ditanggapi, petani siap ke Istana,” tambah Udin menyebut niatnya memprotes pemerintah di Jakarta.
Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Omnibus Law Kesehatan Pasal 154, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memang mengelompokkan tembakau sebagai kategori zak adiktif. Tembakau dikelompokkan sama dengan berbagai zat adiktif lain, seperti narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, produk hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Padahal di sejumlah wilayah, tembakau adalah tanaman primadona. Di Tlahab misalnya, sekitar 90 persen warganya bekerja dalam bidang yang terkait dengan pertanian tembakau. Selain sebagai petani, rantai pengolahan daun tembakau juga menyediakan berbagai jenis pekerjaan, sebelum produk akhir disetor ke gudang pabrik rokok.
Upaya pemerintah mendorong petani tembakau beralih komoditas selalu gagal. Udin menyebut setidaknya karena dua sebab. Pertama, tembakau bertahan di musim kemarau kawasan pegunungan yang tanpa hujan. Tanaman sayuran yang dibudidayakan, mati di tengah musim. Kedua, adalah soal penghasilan petani.
“Apakah ada, komoditas yang harganya menyamai tembakau?” tanya Udin.
Tembakau adalah Jalan Hidup
Protes lebih tegas dilancakran Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI). Dalam perbincangan dengan VOA, Ketua Umum APTI Agus Pamuji bahkan menyebut RUU Ombinus Law Kesehatan ini cacat konstitusi.
“Seharusnya, baik itu pemerintah lewat Kementerian Kesehatan, kemudian Komisi IX di dalam merancang RUU itu, ketika masih draft paling tidak disosialisasikan di tingkat bawah. Artinya karena berkaitan dengan petani tembakau, ya disosialisasikan ke petani tembakau,” kata Agus.
Tidak mengherankan jika petani tembakau menilai, Pasal 154 RUU Kesehatan seolah muncul tiba-tiba. Dalam ingatan Agus, sepanjang tahun lalu pihaknya disibukkan dengan ajakan untuk menganalisa PP 109 tentang Pertembakauan. Di belakang proses itu, dia menilai Kementerian Kesehatan justru menyusun skenario yang akhirnya sangat mengejutkan petani ini. Agus menyebut, memasukkan tembakau setara dengan narkotika akan berefek domino.
“Petani menanam tambakau ini bukan hanya soal menanam, tapi sebuah harga diri. Sebuah cara hidup untuk menghidupi keluarga, menyekolahkan anak dan secara umum sebagai fondasi ekonomi di daerah-daerah sentra pertembakauan di Indonesia, khususnya di Jawa, Madura, Nusa Tenggara Barat, dan lain-lain,” tambah Agus.
APTI jelas menolak Pasal 154 RUU Kesehatan. Jika tidak dicabut, pasal tersebut harus direkonstruksi ulang isinya agar tidak mendiskreditkan tembakau.
Protes APTI tentu sudah disampaikan secara resmi. Dalam pertemuan dengan Panitia Kerja RUU Omnibus Law Kesehatan, Agus menyuarakan aspirasi petani tembakau, dan meminta pendapat mereka dijadikan pijakan penguatan RUU tersebut. Di samping itu, APTI juga mengusulkan sejumlah hal, untuk menguatkan posisi petani tembakau di masa depan.
Petani tembakau, kata Agus, juga akan menagih janji para anggota DPR, khususnya yang berasal dari daerah pemilihan, di mana tembakau menjadi komoditas penting. Pembelaan politisi di parlemen dinilai penting untuk mempertahankan suara petani, terutama karena APTI melihat ada skenario besar yang dimainkan di belakang mereka, terkait RUU ini.
Dinilai Timbulkan Kecanduan
Tentu saja, ada alasan bahwa tembakau dimasukkan dalam kategori produk alkohol dan narkotika. Pada sisi kajian akademis, menurut guru besar dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Profesor Yayi Suryo Prabandari, tembakau memang menimbulkan kecanduan atau adiksi.
“Sebetulnya kalau di DSM-4 ya, DSM itu diagnosis untuk penyakit, itu memang sebetulnya tembakau sudah dimasukkan di dalam zat adiksi bersama narkotika dan sebagainya gitu. Karena menimbulkan kecanduannya itu,” kata Yayi yang juga Kepala Departemen Perilaku, Kesehatan Lingkungan dan Kedokteran Sosial FKKMK UGM.
DSM-4 yang disebut Yayi adalah Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder edisi keempat, yang diterbitkan oleh Asosiasi Psikiatri Amerika pada 1994.
Karena itulah, dari kajian ilmiah, apa yang dimuat dalam RUU Kesehatan itu sebenarnya sudah tepat. Di banyak forum, Yayi mengaku sudah menerima pernyataan-pernyataan yang mengkritik dan menolak penyebutan tembakau dalam RUU Kesehatan yang baru. Namun, Yayi berulangkali menggunakan alasan akademis terkait adiksi tembakau sehingga kategori itu disematkan.
Yayi mengakui, upaya ini akan menjadi perjuangan panjang.
“Teman-teman itu mencoba advokasi untuk iklan rokok saja, mungkin sudah sepuluh tahun ini ya. Tidak mudah memang,” tambahnya.
Namun bukan berarti itu tidak mungkin. Salah satu faktor pentingnya adalah keputusan politik pemerintah. Di Thailand misalnya, perhatian pemerintah terhadap sektor ini sangat besar. Salah satu bentuknya, desain bungkus rokok yang 80 persen areanya berisi gambar mengerikan dari dampak merokok.
Yayi mengingatkan, ketika Indonesia meratifikasi Framework Convention on Tobbaco Control (FCTC), ada konsekuensi yang harus dijalankan. Salah satunya adalah membimbing petani tembakau agar bisa beralih ke tanaman lain. Di sejumlah daerah, klaim Yayi, upaya itu berjalan dengan pergantian tanaman ke kopi dan sayur mayur. Yayi bahkan mempertanyakan klaim tentang kesejahteraan petani tembakau yang sering dijadikan dasar penolakan peralihan jenis tanaman.
Yayi, yang aktif dalam melakukan kampanye antirokok, mengakui menyusun dasar hukum nasional terkait tembakau menjadi pekerjaan berat. Namun, setidaknya banyak daerah telah menelurkan Peraturan Daerah (Perda), misalnya terkait pelarangan iklan rokok dan kawasan tanpa rokok.
Kemenkes Fokus Kampanye
Kementerian Kesehatan sendiri nampak fokus pada upaya menekan konsumsi tembakau, khususnya rokok. Sejumlah kegiatan dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau se-dunia diisi dengan kampanye untuk mengajak masyarakat mengalihkan uang pembelian rokok untuk membeli protein bagi keluarga.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan prevalensi perokok anak usia 1018 tahun meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Kenyataan ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga jumlah perokok aktif terbesar dunia setelah China dan India.
“’Fakta tersebut mengharuskan kita untuk melakukan implementasi mulai dari berbagai peraturan kebijakan, evaluasi, edukasi dan promosi kepada masyarakat tentang kampanye tidak merokok,” kata Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono dalam rilis kementerian yang dipublikasikan Kamis (8/6).
Kemenkes juga menyatakan, data Global Adult Tobacco Survey menghitung biaya Rp382 ribu per bulan dikeluarkan orang dewasa di satu keluarga untuk membeli rokok. Jumlah itu sebenarnya dapat dialihkan untuk pembelian protein hewani yang sangat dibutuhkan anak-anak dalam tumbuh kembang.
Kemenkes juga mengeluarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasioanl (Susenas) 2021 yang menjelaskan, pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk kebutuhan protein.(VOA/03)