Gangguan Ginjal Akut: Kegagalan Kelembagaan Pengawasan Obat dan Makanan

Jakarta,Fixsnews.co.id- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta kepolisian memastikan ada upaya hukum terkait kandungan bahan berbahaya dalam sirop obat anak-anak. Muncul pertanyaan, bagaimana tanggung jawab BPOM sendiri, sehingga kasus ini memakan korban demikian banyak.

Ketidakmampuan BPOM untuk mendeteksi sejak dini kasus cemaran bahan berbahaya di dalam sirop obat anak, terkait dengan regulasi yang ada. Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menyebut, ada politik perundangan-undangan yang harus diperbaiki.

“Bagi YLKI sebenarnya begini. Kasus gagal ginjal akut itu kan kegagalan regulasi dan kegagalan kelembagaan pengawasan obat dan makanan,” ujarnya kepada VOA.

“Karena itu, menyeret industri ke meja hijau, tidak serta-merta menghilangkan potensi terulangnya kasus ini di masa depan. Yang harus dilakukan, tidak cukup mempidana industri, tapi bagaimana reformasi regulasi dan kelembagaan pengawasan obat dan makanan di Indonesia. Masalah utamanya di situ,” tambahnya.

Perlu Agensi Tunggal

Belajar dari banyak negara, lembaga pengawas obat dan makanan adalah sebuah otoritas tunggal. Lembaga ini memiliki kewenangan pengawasan, sejak bahan-bahan obat masuk ke Indonesia, proses produksi obat, hingga pengawasan produk obat selama di pasaran.

“Di kita, itu multi agensi. Jadi Badan POM itu juga masih berbagi peran dengan Kemenkes. Kelemahan kita itu, bagaimana mungkin lembaga pengawasan obat dan makanan tidak melakukan regular inspection dan post market control, itu kesalahan besar,” ujarnya.

Sesuai namanya, BPOM adalah badan pengawas. Melihat kasus yang sudah berlangsung berbulan-bulan dengan korban meninggal hingga saat ini lebih dari 200 anak, Sudaryatmo mempertanyakan dimana letak fungsi pengawasan itu sendiri.

Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dan Direktur Tindak Pidana Tertentu, Bareskrim Polri, Brigjen Pol Pipit Rismanto, memberikan keterangan pers, Senin (31/10). (Foto: creenshot)
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dan Direktur Tindak Pidana Tertentu, Bareskrim Polri, Brigjen Pol Pipit Rismanto, memberikan keterangan pers, Senin (31/10). (Foto: creenshot)

“Lebih aneh lagi, pengawasan kok diserahkan ke industri. Lantas kalau industri menyalahgunakan kepercayaan seperti dalam kasus etilen glikol ini, siapa yang bertanggung jawab?,” kata Sudaryatmo setengah menggugat.

Dalam berbagai kesempatan, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito memang menekankan, bahwa industri berkewajiban melakukan pengawasan proses produksi. Sejumlah pihak, termasuk akademisi mempertanyakan aturan semacam ini.

Di Indonesia, kata Sudaryatmo, memang ada UU Pelayanan Publik yang bisa dipakai dasar hukum menuntut pertanggungjawaban BPOM. Namun, rumusan sanksi yang ada di dalamnya masih sangat ringan bagi penyelenggara layanan publik yang gagal menjalankan fungsinya.

“Kalau di India, misalnya, undang-undang perlindungan publik itu sampai mengurangi gaji karyawan penyelenggara pelayanan publik yang gagal menjalankan fungsinya,” tegas Sudaryatmo, sambil menekankan bahwa aturan hukum semacam ini termasuk yang butuh perbaikan.

Janjikan Perbaikan Regulasi

Dalam penjelasan kepada media pada Senin (31/10), Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengakui, bahwa proses produksi obat tidak semuanya berada dalam pengawasan lembaga tersebut. Misalnya, terkait masuknya bahan baku, terutama yang diimpor.

“Saat ini, pemasukannya tidak dalam kendali Badan POM. Jadi tidak ada pemeriksaan di awal, melalui SKI (Surat Keterangan Impor) Badan POM,” ujarnya.

“Itu juga permasalahan, yang akan kita benahi, dikaitkan dengan sistem jaminan keamanan mutu dari hulu ke hilir. Celah-celahnya perlu kita perbaiki,” tandasnya.

Penny juga menegaskan, bahwa sistem jaminan keamanan dan mutu produksi obat memiliki lingkup sangat luas, dari hulu ke hilir, sejak bahan baku hingga konsumsi obat itu sendiri.

Pihak yang berulang kali disebut Penny ikut bertanggung jawab adalah produsen atau industri farmasi. Industri ini telah dibekali dengan panduan Cara Produksi Obat yang Baik. (CPOB) yang di dalamnya terdapat berbagai ketentuan.

Karyawan menunggu pelanggan di loket yang menampilkan pemberitahuan penghentian sementara penjualan sirup obat di apotek di Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2022. (AP/Tatan Syuflana)

“Misalnya, dikaitkan dengan bahan baku. Harus menggunakan bahan baku yang memenuhi standar, khusus untuk bahan tambahan pelarut ini misalnya, 0,1 persen dibolehkan ada kandungan EG dan DEG,” tambahnya.

Untuk memastikan keamanan itu, seharusnya industri melakukan pengecekan kepada distributor, yang juga sudah dibekali Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB).

“Untuk memastikan, setiap membeli dari distributor bahan tambahan tersebut, mereka harus punya keyakinan, memvalidasi, bahkan melakukan pengujian sendiri, bahkan sebelumnya pun juga mereka harus menginspeksi, datang sendiri, ke pemasoknya,” tegas Penny.

Sementara, dalam kesempatan sama, Direktur Tindak Pidana Tertentu, Bareskrim Polri, Brigjen Pol Pipit Rismanto menjanjikan penelusuran terus menerus kasus ini. Dasar hukum yang digunakan juga akan beragam, sesuai lingkup produksi dan distribusi obat itu sendiri.

“Apakah Undang-Undang Perlindungan Konsumen masuk, apakah Undang-Undang Perdagangan masuk. Apakah diimpor secara legal atau tidak, nanti kita telusuri semuanya,” janji Pipit.

Saat ini yang sangat penting adalah upaya pencegahan yang dilakukan polisi dan BPOM, agar obat yang sudah terdistribusi tidak dikonsumsi.

“Juga menarik produk dan segala macam, adalah tindakan pencegahan yang utama, biar tidak ada korban berikutnya,” tambahnya. (VOA/01)