Generasi “NarKorupsisme”

Jakarta, fixsnews.co.id. – KALAU melihat data BNN tiap hari rata-rata 50 orang mati akibat narkoba. Di jurusan lain jumlah LGBT meningkat, aksi begal di sejumlah wilayah di Jawa Barat meningkat, seakan-akan peningkatan-peningkatan tersebut berlomba-lomba dengan harga daging dan harga-harga kebutuhan pokok yang juga sedang meningkat harganya.

Kalau dideskripsikan dan dikasih identitas psikologis seperti apa sebenarnya umumnya sosok generasi muda Indonesia hari ini, ditengah hilangnya keteladanan dan lenyapnya role model atau ideal type didalam masyarakat, dan ditengah kekosongan ideologi Pancasila ?
Anak muda sekarang katanya umumnya disebut anak muda galau, bete, gabut, lebay, baper, alay, jablay, kamseupay, sampai ada istilah cabe-cabean.

Dulu ada generasi muda yang disebut generasi cuek, generasi cross boy, slonong boy, flower generation, dan seterusnya.
Jadi tiap zaman ada identitas psikologisnya dan secara visual bisa dideskripsikan, mulai dari model rambut, model pakaian, bahasa pergaulaan, dan seterusnya.

Generasi muda sekarang sejak kecil tumbuh bersama gadget: game, handphone, internet, sinetron dan mall. Di SD mengendarai motor, aktualisasinya jadi anggota geng motor, kenal dengan narkoba, pornografi, tawuran, dan berbagai pengaruh negatif dari kemajuan tekhnologi yang tidak difilter secara sungguh-sungguh oleh pemerintah.

Ternyata bukan cuma korban narkoba dan teroris yang pelakunya kebanyakan orang-orang muda, koruptor pelakunya saat ini pun umumnya dari kelompok usia muda, bahkan mentri pemuda dan olahraga di era SBY adalah pelaku korupsi.
Penerima suap dan pelaku korupsi di DPR sampai DPRD umumnya juga anak muda.

Generasi muda Indonesia hari ini umumnya kehilangan orientasi, tidak mengetahui konsepsi kemana arah bangsa dan negara ini kedepan, lantaran para elitnya tidak mampu merumuskan masa depan bangsa dan negara sendiri, karena sibuk bertikai untuk urusan-urusan norak yang tidak ada sangkut paut dengan visi bangsa, tapi ribut melulu soal Pilpres, Pilkada, KPK, BPK, Perda, debat korupsi tapi koruptornya makin banyak, dan wibawa parlemen yang makin hancur, terutama DPR. Politik dikedepankan sebagai tekhnik bukan sebagai ethik.

Belakangan ini di media massa, khususnya televisi, seringkali muncul hastag atau jargon berupa anjuran perang melawan narkoba dan berita-berita soal rencana hukuman mati jilid ketiga untuk para Bandar Narkoba kelas kakap, termasuk hukuman mati koruptor.

Hastag atau jargon seperti itu seringkali dirasakan sekedar kata-kata kosong belaka, sebab kalau ditanya apa sebenarnya yang sudah kita lakukan untuk mengantisipasi peredaran narkoba dan pemberantasan korupsi selama ini, apakah misalnya sudah benar-benar melibatkan masyarakat sampai kelapisan bawah, seperti peran serta sekolah, ormas-ormas, partai politik, sampai RT dan RW untuk mengontrol, apa langkah kongkret pemerintah terhadap pengangguran dan frustasi kaum muda yang kerap jatuh kedalam perangkap narkoba, dan jeratan korupsi.

Memang benar kita ini bangsa pejuang, bisa menurut kemerdekaan dengan usaha sendiri lewat senjata dan diplomasi, tapi saya malu kalau sekarang kita jadi sok jagoan, menantang-nantang melawan narkoba secara sok gagah tanpa konsepsi dan sistematika yang jelas dan massif untuk mengantisipasi dan menghadapinya.

Jangan-jangan hastag atau jargon seperti itu cuma mencerminkan sifat generasi lebay, generasi alay seperti yang terjadi sekarang ini. *

(Merenimpost)