IAEA: Iran Percepat Pengayaan Uranium, Dekati Tingkat Bom Nuklir

Caption: Seorang pelajar memperhatikan sentrifus buatan Iran yang dipamerkan dalam acara pencapaian nuklir nasional di Teheran, 8 Februari 2023. (Foto: AP)

Fixsnews.co.id- IAEA mengonfirmasi dalam laporan rahasia yang ditujukan untuk negara-negara anggota bahwa Iran sedang mempercepat pengayaan uranium, pemurnian bahan mentah untuk digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkit listrik tenaga nuklir sipil atau, berpotensi, untuk menjadi senjata nuklir.

Kepala Badan Pengawas Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Rafael Grossi mengatakan kepada Reuters pada Jumat (6/12) bahwa Iran berhasil mempercepat pengayaan uraniumnya “secara signifikan” hingga mencapai kemurnian 60 persen. Angka ini mendekati tingkat sekitar 90 persen yang dianggap sebagai tingkat senjata.

Badan Pengawas Nuklir (the International Atomic Energy Agency/IAEA) mengonfirmasi dalam laporan rahasia yang ditujukan untuk negara-negara anggota bahwa Iran sedang mempercepat pengayaan uranium, sebuah proses yang memurnikan bahan mentah untuk digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkit listrik tenaga nuklir sipil atau, berpotensi, untuk menjadi senjata nuklir.

Temuan IAEA tersebut akan membuat negara-negara Barat khawatir. Mereka sebelumnya menegaskan tidak ada pembenaran dalam upaya memperkaya uranium hingga tingkat setinggi itu dalam program sipil apa pun, dan bahwa tidak ada negara lain yang melakukannya tanpa bermaksud ingin memproduksi bom nuklir.

Iran membantah bahwa mereka sedang mengejar membuat senjata nuklir.

Seorang pejabat keamanan Iran dengan pakaian pelindung berjalan melalui sebagian Fasilitas Konversi Uranium di luar Kota Isfahan, Iran. (Foto: AP)

Menurut kategori versi IAEA, Teheran dianggap sudah memiliki cukup material yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen untuk memproduksi empat senjata nuklir jika pengayaannya dilanjutkan.

“Hari ini badan tersebut mengumumkan bahwa kapasitas produksi meningkat secara dramatis dari persediaan 60 persen,” kata kepala IAEA Grossi di sela-sela konferensi keamanan Dialog Manama di Bahrain.

Ia mengatakan kapasitas produksi Iran akan meningkat menjadi “tujuh atau delapan kali lebih banyak, mungkin bahkan lebih,” dari tingkat saat ini, yaitu 5-7 kg uranium yang diperkaya hingga mencapai tingkat kemurnian 60 persen per bulan.

Dalam laporan kepada negara-negara anggota yang diperoleh Reuters, IAEA menyatakan bahwa Iran telah meningkatkan laju pengayaan material yang dimasukkan ke dalam dua rangkaian sentrifugal atau cascade canggih IR-6 yang saling terhubung di pabrik Fordow.

Pabrik tersebut telah memperkaya uranium hingga kemurnian 60 persen dari material yang sebelumnya diperkaya hingga kemurnian lima persen. Sekarang, material yang dimasukkan telah diperkaya hingga kemurnian 20 persen, yang mempercepat proses untuk mencapai 60 persen.

Perubahan itu berarti Iran akan “secara signifikan” meningkatkan jumlah uranium yang diperkayanya hingga kemurnian 60 persen, mencapai lebih dari 34 kg per bulan hanya dari Fordow saja, kata laporan itu.

Iran juga memperkaya uranium hingga 60 persen di lokasi lain, Natanz.

Laporan itu menyatakan bahwa Iran harus segera memperkenalkan langkah-langkah pengamanan yang lebih ketat, seperti inspeksi, untuk memastikan Fordow tidak “disalahgunakan untuk memproduksi uranium dengan tingkat pengayaan lebih tinggi daripada yang dinyatakan oleh Iran, serta untuk mencegah adanya pengalihan material nuklir yang dinyatakan.”

Para pejabat Eropa dan Iran pekan lalu hanya mencapai sedikit kemajuan dalam pertemuan mengenai kemungkinan memulai pembicaraan serius tentang program nuklir, sebelum Donald Trump kembali ke Gedung Putih pada Januari.

Teheran kecewa dengan resolusi yang diajukan bulan lalu oleh Inggris, Jerman, dan Prancis (E3) serta Amerika Serikat, yang mengkritik kurangnya kerja sama Iran dengan IAEA.

“Ini adalah langkah eskalasi serius dari Iran, yang sangat kami kutuk,” kata seorang sumber di kementerian luar negeri Jerman mengenai percepatan pengayaan uranium Iran hingga 60 persen. “Tindakan semacam ini jelas memperburuk situasi untuk upaya diplomatik.”(VOA/03)