Jokowi Yakin Indonesia Jadi Negara Maju 10-15 Tahun Lagi

Caption:Presiden Jokowi meninjau Smelter tembaga milik PT Freeport Indonesia di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Selasa (20/6) (biro Setpres)

Fixsnews.co.id- Presiden Joko Widodo yakin bahwa Indonesia bisa menjadi negara maju dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun lagi. Salah satu cara untuk mewujudkan ambisi itu, kata Jokowi, adalah melalui hilirisasi industri.

Presiden Jokowi menekankan pembangunan smelter adalah sebuah fondasi bagi Indonesia untuk menjadi negara maju, karena dengan begitu perekonomian Indonesia kelak tidak akan bertumpu pada konsumsi rumah tangga lagi, melainkan pada produksi.

Hal tersebut disampaikannya ketika meninjau proyek pembangunan smelter tembaga PT Freeport Indonesia di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dan smelter tembaga milik PT Amman Mineral Nusa Tenggara, di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Selasa (20/6).

Adapun perkembangan pembangunan smelter dari kedua perusahaan tersebut sudah mencapai lebih dari 50 persen, dan diharapkan akan selesai dibangun pada Mei 2024 mendatang.

Baca Juga:Hindari Kecurangan PPDB, Pj Gubernur Banten Al Muktabar Minta Sekolah Perkuat Verifikasi Faktual

86.000 Pekerja Rentan di Kabupaten Tangerang Tercover BPJS Ketenagakerjaan

“Kalau dua perusahaan besar ini selesai smelternya, artinya kita tidak eskspor lagi bahan mentah tembaga. Karena bahan mentah itu diproduksi di dalam negeri, akan menjadi katoda tembaga yang nilai tambahnya berlipat dan kesempatan kerja ada di dalam negeri,” ungkap Jokowi.

Pembangunan smelter tersebut, kata Jokowi, merupakan upaya pemerintah dalam membangun sebuah ekosistem industri di dalam negeri, termasuk untuk mobil listrik. Maka dari itu, Jokowi sangat menghargai adanya pembangunan pabrik foil tembaga yang dikerjakan oleh PT Hai Liang Group dari China di Gresik, yang akan menyerap hasil dari smelter PT Freeport sebagai salah satu bahan baku pembuatan mobil listrik.

“Satu mobil itu kurang lebih membutuhkan bahan tembaga 59 kilogram. Kalau ke depan mobil-mobil yang ada sekarang ini sudah berubah menjadi mobil listrik, bapak ibu bisa bayangkan berapa kebutuhan tembaga untuk membuat mobil listrik karena mobil-mobil yang konvensional akan ditinggal dan semua akan menuju ke mobil listrik. Tidak hanya di Indonesia tetapi untuk kebutuhan dunia, karena semua materialnya ada di Indonesia, sekarang ini merek mobil terkenal, pabrik mobil terkenal, perusahaan mobil listrik semuanya berbondong-bondong melirik Indonesia dan berinvestasi di Indonesia,” katanya.

Apabila, hilirisasi industri tersebut dilakukan secara konsisten dan terintegrasi dengan baik antara satu sektor dengan sektor lain, maka impian untuk Indonesia bisa menjadi negara maju, katanya, akan menjadi kenyataan dalam kurun waktu 10 hingga 15 tahun lagi.

Jokowi mengatakan pembangunan Smelter merupakan cikal bakal Indonesia untuk menjadi negara maju karena perekonomian akan bertumpu pada produksi dan bukan pada konsumsi rumah tangga lagi. (Biro Setpres)

“Inilah yang sering saya sampaikan kalau kita bisa membangun integrasinya, bisa mengintegrasikan tembaga yang kita miliki, nikel yang kita miliki, timah yang kita miliki, bukisit yang kita miliki, tidak diekspor mentah tetapi semuanya diolah di dalam negeri, nilai tambah besar ada di dalam negeri, kesempatan kerja ada di dalam negeri, inilah yang akan menghantarkan negara kita Indonesia, dari negara berkembang, bisa menuju ke negara maju dalam 10-15 tahun yang akan datang,” tegas Jokowi.

Tantangan Hilirisasi Industri

Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengatakan ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam ketika ingin menggenjot hilirisasi industri.

Pertama, kata Faisal, adalah melakukan riset dan penelitian terlebih dahulu terkait komoditas apa yang akan dilakukan hilirisasi. Menurutnya, harus ditelusuri lebih lanjut dari sisi demand dan supply. ia menjelaskan, jangan sampai komoditas yang akan diolah bahan mentahnya di dalam negeri ini justru pemintaannya tidak tinggi.

“Misalnya kendaraan listrik yang salah satu bahan bakunya adalah nikel. Kendaraan listrik memang tren potensi permintaanya besar. Itu sebabnya hilirisasi di nikel itu memberi insentif lebih besar bagi investor karena di sisi hilirnya permintaan besar, yang artinya potensi keuntungan itu juga besar. Di Indonesianya juga ada bahan bakunya. Tapi apakah komoditas yang lain dengan produk jadi akhir yang lain sama? Ini perlu dilihat satu per satu, harus ada riset, karena bisa jadi berbeda satu sama lain,” ungkap Faisal.

Kedua, katanya, adalah memperhitungkan daya saing di pasar itu sendiri. Pemerintah, katanya, perlu melihat siapa saja pesaing utama dalam industri tersebut. Dengan begitu katanya, produk turunannya kelak akan mampu berkompetisi atau bahkan lebih unggul dibandingkan dengan produk-produk dari para negara pesaing tersebut.

Ketiga, katanya, memastikan adanya keterkaitan atau linkage yang baik mulai dari hulu sampai ke hilir. Apabila hal itu tidak terjadi, sebanyak apapun cadangan komoditas yang ada, maka hilirisasi tidak akan berjalan dengan mulus.

“Keempat, bagaimana peta jalannya, terutama untuk komoditas tambang karena bahan tambang adalah bahan yang non-renewable, akan habis. Jadi masalah time frame menjadi sangat penting. Sampai kapan dia ada? Karena keinginan investor untuk menanamkan modal misalkan di smelter atau di pabrik yang lebih hilir ini bergantung pada seberapa banyak bahan baku? Sampai kapan habisnya? Ini hitungan bisnisnya pasti jalan,” katanya.

Jokowi mengatakan pembangunan Smelter merupakan cikal bakal Indonesia untuk menjadi negara maju karena perekonomian akan bertumpu pada produksi dan bukan pada konsumsi rumah tangga lagi (Biro Setpres).

Terlepas dari itu semua, Faisal menekankan industrialisasi bisa membawa Indonesia kelak menjadi negara maju, dan hilirisasi merupakan bagian dari industrialisasi tersebut.

“Yang kita butuhkan adalah sekarang re-industrialisasi atau revitalisasi industri supaya pertumbuhannya lebih cepat seperti negara di Asia Timur yang bisa mendorong pertumbuhan industrinya di atas 10 persen. Kita sekarang pertumbuhan industri manufakturnya paling empat persen relatif rendah dibandingkan dengan potensinya. Kalau kita ingin melompat menjadi negara maju dia harus di atas 10 persen, apalagi kalau China, Korea itu sampai 30-an persen pertumbuhan industri manufakturnya,” pungkasnya.(VOA/03)