Krisis Global Hambat Upaya Akhiri Kelaparan Dunia

Caption:Para ibu menunggu di pusat gizi buruk untuk mendaftar bantuan makanan bagi anak-anak mereka di kamp Tiamushro untuk pengungsi internal (IDP) di Kadugli, negara bagian Kordofan Selatan, 17 Juni 2024.

Fixsnews.co.id- Kemajuan untuk mencapai dunia yang bebas dari kelaparan telah macet, sementara upaya untuk meningkatkan kualitas gizi miliaran orang telah mengalami kemunduran selama 15 tahun akibat krisis global yang semakin parah di beberapa negara termiskin di dunia, demikian menurut laporan baru yang diterbitkan pada hari Rabu (24/7) tentang Keadaan Ketahanan Pangan dan Gizi di Dunia.

Laporan yang disusun oleh lima badan khusus PBB ini memperingatkan bahwa “dunia masih jauh dari jalur untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2, yaitu Mengakhiri Kelaparan pada tahun 2030, dengan prevalensi kekurangan gizi secara global yang bertahan pada tingkat yang hampir sama selama tiga tahun berturut-turut,” dari tahun 2021 hingga 2023. Hal ini menyusul peningkatan tajam dalam kelaparan global setelah pandemi COVID-19 dari tahun 2019 hingga 2021.

Tahun lalu, sekitar 733 juta orang menghadapi kelaparan, yang setara dengan satu dari 11 orang di dunia dan satu dari lima orang di Afrika, demikian menurut laporan tersebut.

“Berdasarkan jalur saat ini, proyeksi kami menunjukkan bahwa 582 juta orang masih akan menghadapi kelaparan pada tahun 2030 dan separuhnya berada di Afrika,” kata Maximo Torero, kepala ekonom di Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), kepada para jurnalis di Jenewa pada hari Senin, sebelum laporan tersebut dipublikasikan.

“Meskipun usaha mengatasi kelaparan macet di tingkat global, ada tanda-tanda yang menggembirakan, karena ada perbedaan regional dan subregional yang signifikan,” katanya dalam sebuah tautan video dari Rio de Janeiro, Brasil.

Data tren regional menunjukkan kemajuan dalam mengurangi kelaparan telah dicapai di beberapa sub-kawasan Asia dan, terutama di Amerika Latin, dari tahun 2022 hingga 2023. Namun, para ahli mengatakan bahwa kelaparan terus meningkat di Asia Barat, Karibia, dan di sebagian besar wilayah Afrika, dengan kelaparan di Afrika yang terus meningkat sejak tahun 2015.“

Pada tahun 2023, Afrika adalah wilayah dengan persentase terbesar dari populasi yang menghadapi kelaparan – lebih dari 20 persen,” kata Torero, dengan mencatat bahwa prevalensi kerawanan pangan sedang atau parah di sana adalah sebesar 58 persen, ”yang hampir dua kali lipat dari rata-rata global.”

“Salah satu tantangan utamanya adalah Afrika adalah satu-satunya wilayah di mana peningkatan kelaparan terkait dengan ketiga faktor pendorong utama – konflik, iklim ekstrem, dan kemerosotan ekonomi.Dan banyak negara menghadapi ketiga penyebab utama ini pada saat yang bersamaan,” katanya.

Laporan ini menyoroti dampak kemiskinan terhadap ketidakmampuan masyarakat untuk membeli makanan yang sehat. Pada tahun 2023, laporan tersebut mengatakan bahwa lebih dari sepertiga orang di dunia, sekitar 2,83 miliar, “menghadapi kerawanan pangan sedang atau parah,” dan di antara jumlah tersebut, lebih dari 863 juta orang “tidak makan selama satu hari penuh atau bahkan lebih.”

Di tengah-tengah berita buruk ini, Francesco Branca, direktur departemen nutrisi dan keamanan pangan WHO, atau Organisasi Kesehatan Dunia, mengatakan bahwa ada kabar baik dalam laporan tersebut. Sejak tahun 2012, telah terjadi penurunan tingkat stunting atau kondisi pengerdilan, secara global – suatu kondisi yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak – dari 26 persen menjadi 22 persen, katanya.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa malnutrisi akut pada balita telah turun dari 7,5 persen menjadi 6,8 persen. “Kita juga harus merayakan keberhasilan menaikkan angka pemberian ASI dari 37 persen menjadi 48 persen, hampir mencapai target yang ditetapkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada tahun 2025. Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk mencapai target 2030, tetapi kita sudah berada di jalur yang tepat,” katanya.

Sayangnya, Branca menunjukkan bahwa anemia kondisi kekurangan darah pada wanita berusia 15 hingga 49 tahun telah meningkat dimana “lebih dari setengah miliar” orang terkena kondisi ini. “Dan, tentu saja, kabar buruk lainnya adalah jumlah orang dewasa yang mengalami kelebihan berat badan atau obesitas telah meningkat secara signifikan.

“Kami sekarang menghitung lebih dari satu miliar orang terkena dampak dari kondisi ini dengan proyeksi meningkat menjadi 1,2 miliar orang dewasa yang mengalami obesitas pada tahun 2030,” katanya.

Para penulis laporan tersebut memperingatkan bahwa “Beban ganda malnutrisi – adanya kekurangan gizi bersamaan dengan kelebihan berat badan dan obesitas – juga telah melonjak secara global di semua kelompok usia.”

“Kurus dan kekurangan berat badan telah menurun dalam dua dekade terakhir, sementara obesitas meningkat tajam,” kata mereka.

Sara Savastano, seorang direktur di IFAD, Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian, menyerukan tindakan oleh seluruh sektor ekonomi, serta pihak-pihak pertanian, untuk mengatasi tantangan gizi di Afrika “di mana beban kekurangan gizi dan obesitas lebih kuat daripada di tempat lain di dunia.”

Laporan tersebut menyatakan bahwa untuk mencapai Kelaparan Nol perlu usaha di berbagai bidang, termasuk mengubah dan memperkuat sistem pertanian pangan, mengatasi ketidaksetaraan, dan memastikan pola makan sehat yang terjangkau dan dapat diakses oleh semua orang dan suntikan dana yang sangat besar.

Francesco Branca dari WHO menekankan pentingnya efektivitas biaya dari proyek-proyek pendanaan untuk mengakhiri kelaparan, dengan mencatat temuan laporan Bank Dunia tahun 2012, yang menunjukkan bahwa investasi dalam ketahanan pangan dan gizi memberikan keuntungan yang besar.

Bank Dunia, katanya, memperkirakan biaya untuk mencapai setidaknya empat target gizi global – stunting, anemia, pemberian ASI eksklusif, serta pemborosan dana sebesar $70 miliar selama 10 tahun, atau sekitar $7 miliar per tahun.

“Saat ini, kita melihat investasi para donor sebesar $1 miliar, yang merupakan sebagian kecil dari apa yang dibutuhkan untuk mencapai empat target tersebut. Namun investasi ini menghasilkan keuntungan yang luar biasa,” kata Branca.

“Investasi satu dolar, misalnya, pada program untuk melindungi dan mendukung pemberian ASI menghasilkan keuntungan sebesar 35 dolar, jumlah yang sangat besar.

Program yang berinvestasi pada stunting, $11, anemia $12. Jadi, jelas ada pengembalian yang luar biasa,” katanya. “Kami ingin menunjukkan hal ini karena jelas pada saat kekurangan sumber daya untuk pembangunan, investasi di bidang nutrisi benar-benar membuat perbedaan.”

FAO, IFAD, Dana Anak-Anak PBB, Program Pangan Dunia, dan WHO semuanya berpartisipasi dalam penyusunan laporan ini.(VOA/03)