KSPI Banten Apresiasi Gubernur Andra Soni Bawa Aspirasi Buruh ke DPR RI, Harap Kebijakan Pro-Rakyat Segera Terwujud

oleh

Caption: Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Banten, Tukimin.

Banten, Fixsnews.co.id– Gubernur Banten, Andra Soni, secara resmi menyampaikan enam tuntutan utama dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Banten kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Langkah ini merupakan tindak lanjut aspirasi buruh yang disampaikan dalam pertemuan dengan perwakilan serikat buruh di Aula Sekretariat Daerah Provinsi Banten, KP3B Curug, Kota Serang, Kamis (28/8/2025).

Ketua Exco Partai Buruh Provinsi Banten, Tukimin, menyambut positif respons cepat Gubernur Andra Soni. Menurutnya, langkah ini sangat strategis dan sejalan dengan harapan para pekerja di Banten.

“Kami mengapresiasi perhatian dan komitmen Gubernur Banten yang telah merespons tuntutan buruh KSPI dengan cepat dan serius. Ini bukan sekadar janji, melainkan langkah nyata membawa suara buruh ke tingkat pusat, ke DPR RI,” ujar Tukimin saat dihubungi Fixsnews.co.id, Jumat (5/9/2025).

Baca juga: Indonesia Darurat Kekerasan oleh Debt Collector: Kenali Hak Konsumen, Debt Collector Bisa Dipidanakan Bila Langgar Aturan Penagihan OJK

Tukimin berharap dokumen tuntutan buruh yang diserahkan Gubernur ke DPR RI dapat menjadi referensi penting dalam pembahasan kebijakan ketenagakerjaan nasional. Ia juga menegaskan harapannya agar hal ini berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan buruh di Provinsi Banten.

“Semoga amanah ini tidak berhenti di meja DPR, tapi benar-benar diwujudkan dalam kebijakan yang pro-rakyat. Buruh Banten menunggu hasil nyata, bukan hanya janji,” pungkas Tukimin.

 

6 TUNTUTAN BURUH KSPI BANTEN

Gerakan buruh di Indonesia tidak hanya memperjuangkan kepentingan pekerja di sektor formal, tetapi juga menyuarakan kepentingan rakyat secara luas. Tuntutan buruh mencerminkan problem sistemik yang dihadapi oleh kelas pekerja: ketidakpastian kerja, kebijakan upah rendah, beban pajak yang tidak adil, lemahnya perlindungan hukum, hingga dampak korupsi dan sistem politik yang oligarkis.

Kajian singkat ini menjabarkan enam tuntutan utama buruh dan rakyat, beserta alasan serta dasar hukumnya.

1. Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah (HOSTUM)

Tuntutan ini berakar pada kritik terhadap model kapitalisme neoliberal dan ekonomi
pasar bebas yang seringkali mengabaikan kesejahteraan pekerja demi efisiensi dan
keuntungan perusahaan. Dalam kajian sosiologi industri, sistem outsourcing dan upah murah dianggap sebagai bentuk eksploitasi tenaga kerja,

• Eksploitasi dan Ketidakamanan Kerja: Secara sosiologis, outsourcing menciptakan
segmentasi pasar kerja di mana pekerja dibagi menjadi “inti” (karyawan tetap) dan
“periferal” (pekerja kontrak/alih daya). Status periferal ini membuat pekerja rentan
terhadap PHK, minimnya jaminan sosial, dan hilangnya kesempatan untuk pengembangan karir. Hal ini sejalan dengan teori Alienasi di mana pekerja menjadi terasing dari hasil kerjanya, proses produksi, dan bahkan dari sesama pekerja, karena tidak ada ikatan atau solidaritas yang kuat.

• Upah dan Keadilan Distributif: Tuntutan tolak upah murah sejalan dengan prinsip
keadilan distributif, sebuah konsep dalam filsafat politik yang membahas bagaimana
sumber daya (termasuk upah) harus didistribusikan secara adil. Dalam konteks
ekonomi, upah yang rendah (di bawah upah layak) dapat menekan daya beli
masyarakat secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memperlambat
pertumbuhan ekonomi domestik.

• Implikasi Makroekonomi: Upah yang tidak layak juga memicu ketimpangan ekonomi
yang ekstrem, yang menurut kajian dapat menjadi penghambat utama pembangunan
berkelanjutan. Dengan kata lain, tuntutan ini tidak hanya mengenai kesejahteraan
individu, tetapi juga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daya beli masyarakat buruh.

2. Stop PHK: Bentuk Satgas PHK
Tuntutan ini menyoroti perlindungan terhadap hak-hak fundamental pekerja dan stabilisasi sosial. PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) seringkali menjadi titik kulminasi dari ketidakseimbangan kuasa antara pemilik modal dan pekerja.

• Hak atas Pekerjaan: Dalam perspektif hukum, hak atas pekerjaan adalah hak
asasi manusia yang diakui secara internasional. Tuntutan ini bertujuan untuk
membatasi arbitrasi (kesewenang-wenangan) dalam pengambilan keputusan PHK oleh perusahaan.

• Satgas PHK sebagai Mekanisme Regulasi Pemerintah: Pembentukan Satuan
Tugas (Satgas) PHK dapat dipahami sebagai upaya regulatif untuk mengintervensi
pasar tenaga kerja yang dianggap gagal melindungi pekerja. Satgas ini berfungsi
sebagai mekanisme mediasi dan arbitrase untuk mencari solusi alternatif selain
PHK, seperti negosiasi ulang kontrak, penyesuaian jam kerja, atau program
pelatihan ulang, pemeriksaan mendetail pada laporan pengusaha terhadap tren PHK yang sering kali di lakukan dengan cara manipulatif termasuk cara cara perubahan
status hubungan kerja hingga pada rekayasa pailit.
• Dampak Sosial: Secara sosiologis, PHK dapat menyebabkan dampak sosial
yang signifikan, seperti peningkatan angka kemiskinan, depresi, disorganisasi
keluarga, dan bahkan peningkatan tingkat kriminalitas. Tuntutan ini secara implisit
menyerukan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility/CSR) dan intervensi negara untuk mencegah disrupsi sosial skala besar.

3. Reformasi Pajak Perburuhan
Tuntutan ini didasarkan pada prinsip keadilan pajak (tax justice), yang menekankan bahwa beban pajak harus didistribusikan secara proporsional dan tidak memberatkan golongan masyarakat yang paling rentan.
• Pajak Progresif dan Keadilan Vertikal: Kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP) menjadi Rp7.500.000 per bulan bertujuan untuk mewujudkan keadilan vertikal dalam sistem pajak. Artinya, buruh yang berpenghasilan lebih rendah harus membayar proporsi pajak yang lebih kecil atau bahkan tidak membayar sama sekali, sehingga mereka memiliki lebih banyak uang untuk kebutuhan dasar. Ini sangat penting dalam konteks upah minimum yang seringkali hanya cukup untuk bertahan hidup, meskipun pada faktanya buruh dalam membelanjakan upahnya untuk barang konsumsi dan jasa termasuk di dalamnya adalah barang dan jasa kena pajak.

• Penghapusan Pajak Ganda: Tuntutan untuk menghapus pajak atas pesangon, THR,
dan JHT didasarkan pada argumen bahwa item-item ini seharusnya tidak dianggap
sebagai penghasilan tambahan yang dikenakan pajak atau buruh seharusnya tetap menganut pajak tunggal (single tax) pada saat perhitungan upah bulannya.

Pesangon: Dianggap sebagai kompensasi atau imbalan atas hilangnya
pekerjaan, bukan keuntungan, apalagi sumber kekayaan baru karena
sesungguhnya pesangon adalah akumulasi hasil kerja bulanan, tahunan.

THR dan JHT: Merupakan hak normatif dan jaminan sosial yang dibayar dari
akumulasi upah atau iuran yang sudah dikenakan pajak sebelumnya. Jika
dikenakan pajak lagi, ini merupakan bentuk pajak ganda (double taxation).

• Pajak dan Kesetaraan Gender: Tuntutan penghapusan diskriminasi pajak
perempuan menikah menyoroti adanya bias gender dalam sistem perpajakan yang
seringkali membebani perempuan dengan status menikah secara tidak adil. Ini adalah
bagian dari perjuangan kesetaraan gender yang lebih luas di tempat kerja dan dalam
kebijakan publik.

4. Sahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Ketenagakerjaan Tanpa Omnibuslaw
Tuntutan ini adalah kritik terhadap proses legislasi dan tata kelola pemerintahan yang
dianggap tidak demokratis.

• Omnibuslaw dan Kedaulatan Rakyat: Metode Omnibuslaw dalam UU Cipta
Kerja dikritik karena menggabungkan banyak undang-undang (termasuk UU
Ketenagakerjaan) dalam satu paket. Hal ini dianggap membatasi partisipasi publik
dan ruang dialog, karena pembahasan yang kompleks dan luas menjadi tergesa-
gesa. Dari sudut pandang ilmu politik, ini dianggap sebagai erosi terhadap prinsip
demokrasi deliberatif, di mana keputusan politik seharusnya dicapai melalui musyawarah dan perundingan yang luas.
• RUU Ketenagakerjaan sebagai Upaya Regulasi Khusus: Tuntutan untuk
mengesahkan RUU Ketenagakerjaan secara terpisah menunjukkan keinginan
untuk memiliki payung hukum yang fokus dan komprehensif, yang dirancang
dengan pertimbangan matang dan partisipasi penuh dari serikat buruh, pengusaha, dan akademisi. Ini adalah upaya untuk membangun hukum yang responsif dan adil bagi semua pihak.

5. Sahkan RUU Perampasan Aset: Berantas Korupsi
Tuntutan ini menunjukkan pemahaman buruh bahwa isu ketenagakerjaan tidak dapat dipisahkan dari isu tata kelola pemerintahan yang baik dan keadilan ekonomi.
• Korupsi dan Kesejahteraan Sosial: Secara ekonomi politik, korupsi adalah “pajak”
tersembunyi yang harus dibayar oleh rakyat. Dana publik yang seharusnya
dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi, dan jaminan sosial, justru dikorupsi. Pengesahan RUU Perampasan Aset akan menjadi instrumen hukum yang kuat untuk memiskinkan koruptor, sehingga menciptakan efek jera dan mengurangi korupsi sistemik.

• Perjuangan Kelas: Dalam kerangka analisis buruh, korupsi dapat dilihat sebagai
manifestasi dari penguasaan sumber daya negara oleh segelintir elite, yang merugikan
rakyat secara luas. Tuntutan ini adalah bagian dari perjuangan untuk redistribusi
kekayaan dan penegakan hukum yang adil.

6. Revisi RUU Pemilu: Redesain Sistem Pemilu 2029
Tuntutan ini menunjukkan bahwa perjuangan buruh tidak hanya terbatas pada isu-isu ekonomi, tetapi juga menyentuh struktur politik yang mendasari kekuasaan.

• Sistem Pemilu dan Representasi Politik: Sistem Pemilu saat ini seringkali dianggap kurang representatif, di mana calon-calon terpilih seringkali lebih mewakili kepentingan elite atau partai politik, bukan konstituennya (terutama buruh dan rakyat).
Tuntutan redesain sistem Pemilu bertujuan untuk menciptakan mekanisme yang lebih
adil, transparan, dan memberikan akses yang lebih besar bagi kandidat dari kalangan
rakyat.

• Demokrasi Substantif: Tuntutan ini adalah seruan untuk mewujudkan demokrasi
substantif, bukan sekadar demokrasi prosedural. Demokrasi prosedural hanya
berfokus pada mekanisme pemungutan suara, sedangkan demokrasi substantif
berupaya memastikan bahwa hasil dari proses politik benar-benar menghasilkan
kebijakan yang pro-rakyat dan adil.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, keenam tuntutan buruh ini tidak bisa dipandang secara parsial. Mereka membentuk sebuah kesatuan narasi yang kritis terhadap ketidakadilan ekonomi, sosial, dan politik. Dari kajian ilmiah, tuntutan ini mencerminkan pemahaman mendalam bahwa permasalahan yang mereka hadapi bersifat struktural dan sistemik, bukan sekadar isu teknis atau kasus per kasus. Ini adalah panggilan untuk reformasi menyeluruh yang menyentuh fondasi ekonomi (upah, outsourcing), sosial (jaminan kerja, pajak), dan politik (legislasi, korupsi, Pemilu) di Indonesia.(Ben)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *