‘Dihapusnya’ kewajiban skripsi untuk lulus jenjang S1 sempat menjadi topik viral di Indonesia.
Fixsnews.co.id- Menteri Pendidikan Nadiem Makarim memberi klarifikasi di hadapan DPR pada Rabu (30/8), bahwa pemerintah tidak menghapus kewajiban skripsi, melainkan memberikan kewenangan kepada perguruan tinggi untuk menentukan syarat kelulusan.
Di Amerika Serikat, skripsi bukan syarat untuk lulus jenjang S1.
Menurut Coursera dan informasi dari sejumlah universitas di AS, mahasiswa harus menuntaskan minimal 120 satuan kredit semester (SKS) dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 2.00 dari 4.00 untuk dapat gelar S1 atau bachelor’s degree.
Ada juga universitas yang menerapkan minimal syarat kelulusan 128 SKS seperti Harvard dan New York University.
Baca Juga:Kepala Bapenda Kota Tangerang Ajak Masyarakat Bayar Pajak Sebelum Jatuh Tempo
Gelar Diskusi Luring di Pandeglang, Kemenkominfo Ajak Atasi Kecanduan Judi Online
Apakah dengan tanpa skripsi, lulus S1 di Amerika lebih ‘santai’?
Tiga warga Indonesia yang baru-baru ini lulus S1 tanpa skripsi, berbagi pengalamannya dengan VOA.
Di semester terakhir, kalian ambil berapa kelas?
Elena Aniko (University of Maryland – jurusan Neurobiology & Physiology, dengan minor Bahasa Jerman): Aku ambil 5 kelas, setiap semester ada satu kelas German, tapi sisanya cuma kelas untuk jurusan.
Raina Abigail Putri (Biola University – jurusan Teater, dengan minor Teologi): Aku ambil 3 kelas Teater, 2 kelas untuk minor Teologi, dan 2 kelas pilihan umum.
Febrianne Daneswary (Michigan State University – jurusan Ekonomi, dengan minor Bahasa Korea dan Social Science Quantitative Data Analytics): Aku sebelum lulus ngambil total 4 kelas.
Dengan nggak adanya skripsi, tugas akhir untuk jurusan kalian apa?
Elena: Yang beda di semester terakhir itu (dibandingkan semester-semester sebelumnya – red.) cuma ambil upper-level lab. Waktu itu kita riset independen tentang gen kanker, gitu. Jadi presentasi, makalah penelitian, dan laporan laboratorium. Tapi, presentasinya cuma di kelas sama profesornya aja.
Raina: Untuk kelas sejarah teater, kami cuma presentasi tentang suatu masa dalam sejarah teater yang kami sukai dan mau bahas lebih mendalam. Untuk kelas advanced acting, kami ada pertunjukan. Kami menyiapkan sebuah adegan, memakai teknik-teknik akting yang sudah kami pelajari, dalam satu pertunjukan. Kami memperlakukannya seperti sebuah pertunjukan profesional. Kami tampil di depan agents, manajer, dan orang-orang tersayang.
Febri: Di semua kelas itu, aku harus ambil ujian akhir seperti biasa … Di kelas coding aku, proyek akhirnya tentang analisa data … Di kelas Ekonomi aku, presentasi tentang 15-minute city, tentang Kota New York, itu sekitar 45 menit di depan kelas, sama ada dua makalah.
Apakah dengan nggak ada skripsi, jelang kelulusan merasa santai?
Elena: Aku rasa lebih santai, meski aku nggak bisa bandingin secara pribadi. Tapi teman-teman yang skripsi dan ikut sidang (di Indonesia.red) – tentu ada tekanan yang lebih besar.
Raina: Kalau santai, nggak juga sih. Karena aku harus mikirin kelas-kelas yang lain kan. Misalnya ada esai, ada ujian. Dan semua mata pelajaran beda keperluannya. Yang buat aku merasa agak intens, aku harus stretch my brain buat setiap kelas. Untungnya hasilnya baik … Saya harus lulus di minggu yang sama dengan aku harus mengerjakan ujian-ujian itu.
Febri: Nggak santai-santai banget. Karena masing-masing kelas itu banyak banget proyek akhir, makalah penelitian. Ditambah ujian akhir … semua harus kelar di minggu terakhir kuliah.
Skripsi untuk lulus S1 itu penting nggak, menurut kalian?
Elena: Aku rasa ada baiknya, karena merekap semua yang kamu pelajari selama empat tahun dan mendalami materi skripsimu. Tapi juga, ada tekanan kalau nggak lolos sidang, nggak bisa lulus kan. Sedangkan kamu sudah belajar empat tahun, lulus semua kelas, dan mengerti semua materinya – tiba-tiba ada satu hal besar ini. Ada kelebihan dan kekurangannya sih, menurutku.
Raina: Aku rasa itu berat, tapi untuk jangka panjang ada untungnya. Karena dari pengalamanku ngerjain ‘skripsi,’ buat kamu belajar tentang berpikir kritis, menganalisa. Bisa mempresentasikan sesuatu dalam bentuk tulisan, juga sebuah skill yang baik. Tapi nggak harus skripsi gitu, mungkin bisa opsional.
(Raina punya pengalaman menulis makalah untuk program International Baccalaureate saat SMA – red.)
Skripsi untuk lulus S1 itu penting nggak, menurut kalian?
Elena: Aku rasa ada baiknya, karena merekap semua yang kamu pelajari selama empat tahun dan mendalami materi skripsimu. Tapi juga, ada tekanan kalau nggak lolos sidang, nggak bisa lulus kan. Sedangkan kamu sudah belajar empat tahun, lulus semua kelas, dan mengerti semua materinya – tiba-tiba ada satu hal besar ini. Ada kelebihan dan kekurangannya sih, menurutku.
Raina: Aku rasa itu berat, tapi untuk jangka panjang ada untungnya. Karena dari pengalamanku ngerjain ‘skripsi,’ buat kamu belajar tentang berpikir kritis, menganalisa. Bisa mempresentasikan sesuatu dalam bentuk tulisan, juga sebuah skill yang baik. Tapi nggak harus skripsi gitu, mungkin bisa opsional.
(Raina punya pengalaman menulis makalah untuk program International Baccalaureate saat SMA – red.)
Febri: Menurut aku, untuk S1 tidak terlalu penting, lebih pas untuk S2 atau PhD (S3) di mana mereka lebih mendalami dan lebih tertarik pada topik tertentu dibandingkan S1 – aku rasa ada banyak mahasiswa yang masih bingung mau fokus ke mana.(VOA/03)