Caption: Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta (Ahadian/VOA)
Masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 secara resmi berakhir pada Senin (30/9/2024) namun sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi sorotan masyarakat selama ini masih terabaikan dan tak kunjung menemui titik terang.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah menyayangkan DPR yang tidak berhasil mengesahkan sejumlah RUU penting pada periode ini. Ia terutama menyoroti tiga RUU yang erat kaitannya dengan HAM, yakni Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), Perampasan Aset dan Masyarakat Hukum Adat.
“RUU (masyarakat Adat) juga sudah cukup lama, 12 hingga 15 tahun, mestinya ini bagian dari kelompok rentan yang juga diprioritaskan. Perintah UU HAM, kelompok rentan mestinya mendapat atensi lebih dari negara untuk perlindungannya termasuk memastikan adanya regulasi yang mendukung dalam bentuk UU, “ tegas Anis kepada VOA, Senin (30/9).
Selama ini kata Anis, masyarakat adat rentan menghadapi berbagai persoalan pelik. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat selama 2017-2022, terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat. . Selama Januari hingga September 2023. AMAN juga mencatat adanya 12 upaya kriminalisasi masyarakat adat. Konflik yang terjadi di wilayah adat itu umumnya menyangkut sektor perkebunan, pertambangan dan kawasan hutan negara.
Memperhitungkan kepentingan publik, kata Anis, ketiga RUU tersebut seharusnya didahulukan, ketimbang, contohnya, RUU Kementerian. ”Undang-undang lain bisa cepet-cepet kenapa yang urgent-urgent nggak bisa cepat,” ungkapnya.
Kekecewaan juga dirasakan koordinator nasional Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggaraini. Ia mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan payung hukum yang akan melindungi status pekerjaan PRT kini pupus untuk sementara waktu.
RUU PPRT ini, katanya, sudah 20 tahun lalu diajukan dan sudah melalui empat periode DPR. Lita menilai pimpinan DPR tidak melihat bahwa RUU PPRT sesuatu yang mendesak atau penting.
“Sesungguhnya sudah lama ya, 20 tahun diperjuangkan dan itu menggambarkan pentingnya nasib wong cilik . Lebih dari 5 juta PRT dan mayoritas perempuan dan setiap hari mengalami pelecehan dan kekerasan, bekerja dan bersituasi dengan perbudakan moderen. Artinya DPR lebih mendudukan diri sebagai agen perbudakan modern daripada untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga,” tegasnya.
Menanggapi keluhan ini, Wakil Badan Legislasi DPR Willy Aditya, menjelaskan, ketiga RUU itu sebetulnya sudah dibahas namun belum mencapai penyelesaian.
RUU Masyarakat Adat, menurut Willy, contohnya, sudah selesai dibahas di Badan Legislasi, namun sayangnya belum mendapat respon dari pemerintah sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut. Hal yang sama juga dihadapi RUU Perampasan Aset. Sementara itu terkait PPRT, rapat paripurna DPR Masa Sidang I Tahun Sidang 2024—2025 telah menyetujui bahwa RUU itu masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas DPR RI Keanggotaan 2024–2029.
Legislator dari Fraksi Partai NasDem itu mengatakan, partainya merupakan penggagas RUU tersebut sehingga bertanggung jawab mengusungnya hingga disahkan.
Lebih jauh ia menjelaskan, RUU itu sebetulnya sudah masuk dalam daftar program legislasi sejak 2019 namun karena berbagai dinamika di parlemen, muncul persepsi yang kurang pas dalam prosesnya.(VOA/03)