Caption:Umat Hindu Tengger mengikuti “Mendhak Tirta”, ritual penyucian untuk mengambil air suci dari gua Widodaren, menjelang festival Yadnya Kasada di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Pasuruan, Jawa Timur, 19 Juni 2024. (REUTERS/Willy Kurniawan)
Fixsnews.co.id- Ritual syukuran kuno Kasada telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Tengger di Indonesia selama berabad-abad. Karena cuaca yang semakin tidak menentu, ritual yang pada intinya mencari berkah ilahi ini menjadi semakin penting bagi komunitas petani Hindu di sana.
Suku Tengger tinggal di sejumlah desa di sebuah taman nasional di Gunung Bromo, salah satu dari beberapa gunung berapi aktif di Indonesia yang populer di kalangan wisatawan. Taman ini terletak di dekat kota Probolinggo, Jawa Timur, sekitar 800 kilometer dari selatan Jakarta.
Masyarakat di sana telah menyelengarakan Kasada sejak masa Kerajaan Majapahit pada abad ke-13 untuk mengungkapkan pengabdian dan rasa terima kasih mereka kepada leluhur dan dewa-dewa.
Dalam acara itu, sambil membawa barang-barang yang meliputi sayuran, buah-buahan serta kambing dan ternak lainnya, ribuan masyarakat Tengger melakukan perjalanan ke puncak Gunung Bromo, dan mengakhiri ritual mereka dengan melemparkan sesaji tersebut ke kawah gunung berapi setinggi 2.329 meter itu.
Tahun ini, upacara tersebut berlangsung pada tanggal 21-22 Juni dan banyak pesertanya berharap ritual ini dapat membantu meningkatkan penghidupan mereka.
Asih, seorang petani berusia 64 tahun di desa Ngadirejo dekat Gunung Bromo, mengatakan bahwa tahun ini dia berdoa untuk keselamatan dan kesehatan anak cucunya, serta keberhasilan ladang pertaniannya.
“Apa yang akan saya doakan di pura itu adalah agar para leluhur yang tinggal di sana mendengar dan mengabulkan keinginan kami. Saya berdoa demi keselamatan dan kesehatan anak cucu kami, dan agar hasil panen kami diberkati, matang, dan baik untuk persembahan kami berikutnya. Sekali lagi mohon berkahi kami dengan keselamatan dan kemudahan dalam menghadapi cuaca,” jelasnya.
Asih bercerita, dulunya ladang kubisnya bisa dipanen tiga kali dalam setahun, namun karena jarangnya hujan, ia kini hanya bisa panen satu kali saja. “Kalau tidak ada hujan lagi, kita tidak bisa bercocok tanam lagi. Sekarang sudah kering seperti ini. Setelah kering, akarnya tidak akan tumbuh lagi,” sebutnya.
Tahun lalu, sekitar dua per tiga wilayah Indonesia, termasuk seluruh Pulau Jawa, mengalami musim kemarau terparah sejak tahun 2019 akibat fenomena cuaca El Nino yang berlangsung lebih lama daripada biasanya dan menyebabkan kekeringan yang merugikan tanaman dan memperparah kebakaran hutan.
Tahun ini, para ahli meteorologi memperkirakan akan lebih banyak hujan, namun banyak petani yang masih kesulitan.
Para petani di Gunung Bromo bergantung pada air hujan dan danau tadah hujan untuk irigasi, namun cuaca yang lebih kering telah memaksa petani seperti Irawan Karyoto, 56, untuk menanam bawang merah yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan kentang di lahan seluas dua hektare.
Baik Asih maupun Irawan merupakan bagian dari masyarakat Tengger yang melakukan prosesi sembahyang di pura di kaki gunung berapi tersebut. Asih juga membawa cucunya yang berusia lima tahun.
Suyitno, salah satu pemuka spiritual masyarakat Tengger, mengatakan, “Kita tidak boleh lupa berdoa dan mensyukuri apa yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada kita melalui nenek moyang yang tinggal di kawah Gunung Bromo.” (VOA/03)