Caption:Seorang nelayan sedang mengamati pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTN) Suralaya di Cilegon, provinsi Banten, 31 Oktober 2023. (Ronald SIAGIAN / AFP)
Sejumlah organisasi dan aktivis lingkungan mendesak Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk membuka data emisi dan pengolahan limbah PLTU Suralaya di Cilegon dan PLTU Ombilin di Padang.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Aktivis Margaretha Quina tidak membayangkan akan mengalami kesulitan ketika meminta data emisi dan pengolahan limbah PLTU Suralaya di Cilegon (Banten) dan PLTU Ombilin di Padang (Sumatera Barat). Ia mengatakan kepada VOA, dibutuhkan waktu hampir dua tahun untuk meminta data tersebut kepada pemerintah hingga kemudian ia mengajukan sengketa informasi terkait ini ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
KIP, Kamis lalu (18/1) memutuskan bahwa data emisi dan pengolahan limbah PLTU Suralaya di Cilegon (Banten) dan PLTU Ombilin di Padang (Sumatera Barat) bersifat terbuka untuk publik. Namun, kata Quina, PLN belum memberikan data tersebut kepada dirinya. Ia mendesak PLN untuk segera memberikan data tersebut agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
“Artinya data ini betul-betul prerequisite (prasyarat) buat masyarakat untuk mengkonfirmasi, sebetulnya yang mereka persepsikan sebagai pencemaran datangnya darimana dan bisa melakukan apa,” ujar Quina kepada VOA, Selasa (23/01).
Tak Dapatkan Informasi, Quina Ajukan Gugatan Hukum ke Komisi Informasi Pusat
Quina menceritakan sengketa informasi di KIP tersebut bermula dari upaya LBH Padang yang ingin mendapatkan data PLTU Ombilin ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Dengan bantuan sejumlah organisasi pemerhati lingkungan, Quina kemudian mengajukan sengketa ke KIP untuk menuntut PLN membuka informasi tersebut.
“Sejujurnya saya berpikir karena informasinya ini sangat basic, praktis saja saya maju individu karena asumsinya akan diberikan cepat,” tambahnya.
Dalam putusan KIP, terdapat tiga informasi yang diajukan Quina sebagai informasi terbuka. Pertama, hasil pengukuran sistem pemantauan terus menerus emisi (CEMS) cerobong PLTU Suralaya unit 1-8 dan PLTU Ombilin pada periode 2015-2022. Kedua, informasi desain/jaminan ESP (jaminan ramah lingkungan di PLTU). Dan terakhir, laporan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.
LBH Padang Soroti Urgensi Akuntabilitas
Staf advokasi LBH Padang Alfi Syukri mengatakan putusan ini penting karena pada tahun 2018 lalu PLTU Ombilin pernah mendapatkan sanksi dari KLKH karena salah satu cerobongnya rusak. Kata Alfi, masyarakat pernah mendapatkan informasi bahwa pihak PLTU telah memperbaiki kerusakan tersebut. Namun, masyarakat tidak dapat membuktikan klaim tersebut karena tidak memiliki data yang valid terkait emisi di sekitar PLTU. Di sisi lain, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi penyakit dominan warga sekitar.
“Artinya ada kondisi masyarakat itu bisa berbahaya secara kesehatan. Ini sesuatu yang urgensi, kalau ini terbuka, maka masyarakat bisa melakukan satu upaya,” jelas Alfi.
Ditambahkannya, LBH Padang akan menggunakan data emisi dari PLN untuk menanyakan perkembangan sanksi yang diberikan KLHK ke PLTU Ombilin. Termasuk alasan pertimbangan PLN memberikan sertifikat layak operasi kepada PLTU Ombilin.
Selain itu, LBH Padang juga berencana mengajukan sengketa informasi kembali terkait performa mesin yang digunakan PLN di PLTU. Informasi tersebut dapat dijadikan bahan kajian, terkait sebaran emisi dengan mesin. Sebab, putusan KIP juga menegaskan bahwa alasan rahasia dagang tidak dapat digunakan PLN sebagai perusahaan negara satu-satunya yang bergerak di listrik.
Trend Asia: PLN Belum Laksanakan Putusan KIP
Diwawancarai secara terpisah, Manager Kampanye Trend Asia Novita Indri mengapresiasi putusan KIP terkait sengketa informasi ini. Ia mendesak PLN untuk segera melaksanakan putusan tersebut: dan menyerukan KIP untuk mendorong PLN memenuhi apa yang telah diputuskan.
“Ini yang perlu tetap kita kawal, karena walaupun KIP sudah menyatakan ini informasi terbuka, namun sayangnya kita tahu sendiri KIp lemah karena tidak punya instrumen penegakan hukum,” ujar Novita.
Novita menjelaskan tim hukum Trend Asia yang mendampingi Margaretha Quina masih mempelajari putusan KIP dan menunggu respons dari PLN. Ia berharap PLN tidak mengajukan banding dan segera melaksanakan putusan ini.
PLN Belum Beri Tanggapan
VOA sudah berupaya menghubungi Executive Vice President Komunikasi Korporat dan TJSL PLN Gregorius Adi Trianto terkait putusan KIP ini. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan dari PLN.(VOA/03)