Pemerintah Berencana Pensiunkan PLTU Batu Bara dengan Syarat Khusus

oleh

Caption:Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Senin (3/2). Sepanjang 2024 sektor ESDM mencatatkan capaian positif yang mendukung program prioritas Bapak Presiden Jenderal TNI (Purn) Prabowo. (Facebook/BahlilLahadaliaOfficial)

Jakarta,Fixsnews.co.id- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk memensiunkan seluruh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, namun dengan beberapa syarat. Salah satu syarat utama adalah adanya pendanaan untuk program tersebut dengan bunga rendah.

“Jadi kalau ditanya Menteri ESDM atau negara mau tidak mempensiunkan (PLTU batu bara)? Mau. Catatannya kasih cuan-nya, kasih uangnya, enggak boleh bunga mahal, pinjaman jangka panjang, dengan harga sampai ke rakyat yang murah,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Kantor Kementerian ESDM, di Jakarta, Senin (3/2).

Sebagai langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, pemerintah saat ini sedang dalam proses untuk memensiunkan PLTU Cirebon 1. Proyek ini didanai oleh Asian Development Bank (ADB) dan ditargetkan untuk pensiun dini pada tahun 2035, tujuh tahun lebih cepat dari rencana awal yang seharusnya pada tahun 2042.

Bahlil juga mengakui bahwa anggaran yang tinggi menjadi salah satu kendala dalam menghentikan operasional PLTU batu bara di Indonesia. Oleh karena itu, ia berharap akan ada lembaga keuangan lain yang bersedia mendanai program ini.

“Kami ingin memensiunkan PLTU dengan dua syarat. Pertama, harus ada yang membiayai, dan kedua, secara ekonomi tidak membebani negara, PLN, atau masyarakat. Jika ada pendanaan yang murah, kami siap untuk memensiunkan semua PLTU batu bara. Yang penting adalah ada dukungan finansial, jangan hanya meminta kami untuk memensiunkan tanpa ada dana yang tersedia,” tegasnya.

Dalam paparan Bahlil, pemerintah juga menyiapkan empat pembangkit energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan PLTU Cirebon 1, yaitu:

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 346 MW.
PLTS ditambah Battery Energy Storage System (BESS) sebesar 700 MW.
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) sebesar 1.000 MW.
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebesar 12 MW.
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah berupaya untuk beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sementara itu, peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengungkapkan memang pemerintah harus mencari sumber pendanaan lain, karena pensiun dini PLTU batu bara tidak mungkin didanai dengan anggaran negara.

Namun, menurutnya, hal tidak kalah penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan disinsentif kepada PLTU batu bara dan perusahaan batu bara yang selama ini tidak pernah dilakukan, salah satunya adalah penerapan pajak karbon. Selain itu, kata Dila, pemerintah juga bisa menarik pungutan produksi dari perusahaan batu bara yang keuntungannya diketahui sangat tinggi.

“Jadi kenapa kita perlu menerapkan disinsentif ini? Karena selain kita mau menutup, jangan sampai kita tetap membiarkan batu bara dipenuhi dengan kemudahan. Tetap dipersulit juga, karena memang eksternalitas negatif perlu dihitung. Jadi terapkanlah itu sehingga kita bisa mendorong energi terbarukannya untuk bisa terlihat juga, bahwa ini semakin menguntungkan,” ungkap Dila ketika berbincang dengan VOA.

Lebih jauh, Dila mengatakan dengan berbagai pernyataan pemerintah yang tidak konsisten terkait transisi menuju energi bersih, maka penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan diproyeksikan akan cenderung stagnan di level 14 persen. “Hal ini sangat disayangkan mengingat berbagai potensi energi terbarukan yang berlimpah di tanah air,” lanjutnya.

“Pak Presiden bilang kita (Indonesia) akan mencapai 75 gigawatt energi terbarukan di 2040, dan menutup PLTU di 2040 dan itu juga ditegaskan Pak Hashim di COP ke-29. Tetapi setelah itu Menteri ESDM bilang tidak ada masalah dengan batu bara, bahkan Pak Menteri juga mendukung pengusaha batu bara untuk tidak takut akan gempuran pengusaha energi terbarukan. Lalu ada statement juga dari Menteri Kehutanan yang akan membabat hutan demi tercapainya swasembada energi dan pangan,” jelasnya.

Dila meyakini pernyataan dari pemerintah tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan investor atau lembaga pembiayaan internasional untuk mendanai berbagai program yang merupakan bagian dari transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan.
“Mixed signal ini yang nantinya juga akan menghambat. Karena (lembaga) keuangan mana yang mau datang (untuk membiayai) kalau (pemerintah) tidak konsisten kebijakannya dan tidak ada political will di Indonesia. Jadi bagaimana iklim investasi sangat, sangat diperlukan untuk melakukan transisi energi, tidak

hanya untuk menutup PLTU, tapi juga menarik (investasi di bidang) energi terbarukan. Jangan sampai ‘OK, kita menutup PLTU’ tetapi energi terbarukannya masih di 14 persen, dengan kebijakan yang tidak konsisten itu,” pungkasnya.(Voa/03)