Caption:Bijak Memilih menyasar orang-orang muda, kelompok usia yang akan menjadi pemilih mayoritas pada pemilu 2024. (Courtesy: VOA Indonesia)
Fixsnews.co.id— Kurang dari setahun menjelang pemilihan umum serentak 2024, partai politik dan sejumlah kandidat pemimpin sudah bergerak dengan gesit menyusun konstelasi. Di sisi lain, sebagian pemilih tak tahu apa yang harus diamati untuk menentukan arah masa depan Indonesia. Bijak Memilih digagas untuk membantu pemilih mengulas para kandidat dari keberpihakan mereka pada isu-isu yang penting bagi pemilih.
Sejak 2022, Abigail Limuria sudah mendengar banyak keresahan dari anggota komunitas WIUI tentang pemilu 2024. WIUI adalah kependekan dari “What Is Up Indonesia?”, platform daring yang fokus mengulas berita politik Indonesia dalam bahasa Inggris untuk audiens muda. Abigail salah seorang penggagasnya.
Baca Juga:Langgar Perda, Puluhan Bangunan Liar Ditertibkan di Pasar Pisang Kelurahan Bencongan
Polsek Pakuhaji Pulangkan 19 Pelajar Terduga Pelaku Tawuran ke Orang tuanya
Begini Cara Gunakan Layanan Mobil Jenazah Gratis Pemkot Tangerang
“Banyak banget community dan followers kita yang udah DM,” ungkap Abigail, merujuk pada fitur berkirim pesan di platform online Discord. “(Mereka) ngobrol langsung, nyampein, ‘Kak, kayak nervous banget. Very anxious about 2024. Saya baru akan pertama kali ikut pemilu. Enggak tahu gimana cara kerjanya. Enggak tahu cari informasi di mana. Saya gugup, cemas.’”
Ia mengatakan, pengikutnya di dunia maya sangat khawatir menghadapi kemungkinan gencarnya kembali politik identitas pada pesta demokrasi lima tahunan itu. Ia dan timnya ingin melakukan sesuatu untuk mengatasinya, tapi sadar sumber daya mereka terbatas.
Pada saat yang sama, Andhyta Firselly Utami, pendiri perusahaan sosial Think Policy yang berfokus pada isu kebijakan publik, juga terpikir membuat sebuah gerakan untuk membantu pemilih muda menavigasi pemilu. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), lebih dari separuh pemilih (53 persen-55 persen) pada pemilu 2024 adalah orang muda – usia 40 tahun ke bawah.
Afu, panggilan akrab Andhyta, lantas mengajak Abigail berkolaborasi untuk mewujudkan visi mereka. “Aku WhatsApp Abigail, ‘eh, ada waktu enggak? Call yuk sebentar.’ Terus kayak, ‘lo bukannya sempat mau bikin website dan sempat bikin data tentang partai-partai ini? Kayaknya Think Policy juga pengin deh,’” tutur Afu, mengingat-ingat percakapan mereka setahun lalu. Keduanya berbicara kepada VOA Mei lalu melalui Zoom.
Abigail menimpali, “Dia cuma kayak, ‘Bi, gue harus ngomong sesuatu tentang 2024,’” ungkapnya menirukan pesan Afu. “Terus (di dalam hati) gue kayak, ‘Ini orang mau nyaleg?,” Afu terbahak.
Setelah berembuk, mereka memutuskan untuk menginisiasi gerakan Bijak Memilih pada awal 2023. Gerakan itu diciptakan untuk mendorong narasi pemilu yang bernas, sarat gagasan serta diskursus soal isu dan kebijakan – bukan gosip atau politik identitas.
“Kita sebenarnya menciptakan solusi atas permasalahan yang kita sendiri alami,” ungkap Afu. Ia dan Abigail sama-sama termasuk pemilih muda menurut definisi KPU.
“Kayak aku pribadi, meskipun selama ini riset kebijakan publik, aku nggak benar-benar aware, misalnya, tentang rekam jejak suara masing-masing partai di isu-isu yang aku fokuskan, misalnya krisis iklim. Sebenarnya partai mana yang mendukung atau menentang?,” komentarnya.
Mereka mengemas Bijak Memilih ke dalam tiga medium. Pertama, situs web bijakmemilih.id. Di sana, pemilih bisa mencari tahu sikap masing-masing peserta pemilu terhadap berbagai macam isu yang sudah dikurasi.
“Misalnya tentang pemberantasan korupsi, kita kasih tahu track record votingnya partai pas RUU KPK. Atau, misalnya, kebebasan berpendapat, kita ada track record gimana partai ngevote untuk UU ITE,” ujar Abigail.
Selain itu, melalui sebuah kuis sederhana di situs tersebut, pemilih juga bisa mencari tahu isu mana yang mereka pedulikan dan mungkin menjadi faktor penentu di bilik suara. Medium kedua, road show alias acara diskusi tatap muka keliling ke beberapa kota di Indonesia.
“Kita mau nge-trigger, memicu supaya orang-orang muda mau lebih ngobrolin isu. Jadi, acaranya nggak akan cuma talk show satu arah, tapi kita akan ajak mereka ngobrol dua arah,” ungkap Abigail.
Untuk memaksimalkan jangkauan gerakan, Afu dan Abigail juga berniat mendesentralisasi acara diskusi Bijak Memilih, di mana kelompok atau organisasi lokal dapat menyelenggarakan acara Bijak Memilih secara mandiri dengan menggunakan cetak biru gerakan tersebut. “Mungkin modelnya kayak TEDx,” kata Afu.
Medium yang terakhir adalah kampanye media sosial untuk menarik perhatian pemilih pada gerakan yang mereka inisiasi.
Afu menjelaskan, platformnya akan lebih fokus mengulas peserta pemilu di level partai. Alasannya, dalam proses politik di Indonesia, partai memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada kader individu dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Orang punya visi yang progresif, baik, (ketika) masuk ke dalam sistem, belum tentu bisa melaksanakannya,” tutur Afu. “Maka dari itu, kita ingin mengalihkan fokus dari mencari orang baik, yang lesser evil, katanya, ke arah reformasi yang lebih sistemik di level partai.”
Literasi Pemilih
Pegiat demokrasi Titi Anggraini menyebut gerakan seperti Bijak Memilih sebagai keniscayaan dalam penyelenggaraan pemilu. Titi, yang duduk sebagai anggota dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menganggap gerakan-gerakan tersebut sangat dibutuhkan untuk membantu pemilih muda, yang menjadi mayoritas pemilih tahun depan, mendapatkan informasi yang kredibel dan terlibat dalam diskursus politik berbasis isu dan gagasan sebelum menentukan pilihan.
“Orientasi kita harus politik gagasan, karena aktor politik bisa berganti aliansi, berganti kutub koalisi, bisa berganti kelompok politik, tetapi kita sebagai pemilih tetap harus berdiri dalam pikiran kritis kita untuk menilai sesuatu berbasis kinerja,” ungkap Titi kepada VOA.
Literasi pemilih juga menjadi perhatian peneliti Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Delia Wildianti, karena, menurutnya, penyelenggara pemilu kerap menganggap partisipasi politik hanya sebatas “nyoblos di hari H.”
“Pemilu 2019, misalnya, kita bicara soal sistem proporsional terbuka, di mana orang bisa mengenali calonnya, mengenali partainya juga. Tetapi justru di pemilu 2019 itu literasi pemilihnya rendah,” ungkap Delia, mengacu pada hasil survei nasional pemilu serentak 2019 yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI.
“Oke, mereka partisipasi, mereka datang ke TPS, tapi mereka enggak paham isu yang sedang bergulir atau keberpihakan partai politik itu seperti apa,” imbuhnya.
Hingga artikel ini terbit, situs Bijak Memilih baru memuat fase pertama dari tiga fase yang direncanakan. Pada fase pertama, pemilih dapat mempelajari isu-isu strategis bagi generasi muda. Di dalamnya, mereka juga bisa mengetahui partai mana yang mendukung atau menentang isu tertentu.
Pada fase kedua, yang rencananya diluncurkan pada bulan Juni, pemilih dapat mengenal lebih jauh profil partai politik peserta pemilu, termasuk ideologi, rekam jejak hingga keberpihakan mereka.
“Kan banyak yang bilang mirip-mirip, enggak bisa bedain, partai ini nih sebenarnya fokusnya apa sih? Ideologinya apa sih? Track record pelanggaran kasus HAM mereka gimana? Track record korupsi mereka gimana? Itu bakal kita taruh semua datanya di website,” ujar Abigail.
Pada fase ketiga, profil peserta individu akan diulas di situs tersebut. Sejauh ini, Bijak Memilih baru berencana mengupas profil para calon presiden dan calon wakil presiden, bukan calon anggota legislatif yang jumlahnya bisa mencapai ribuan.
Delia menyayangkan hal itu.
“Karena kritik dari pemilu 2019 adalah mereka (pemilih) enggak tahu siapa yang akan mereka pilih sebagai anggota legislatif di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kota,” jelasnya.
Dalam Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem Pemilu ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu yang disusun Perludem, lembaga itu menyoroti terbengkalainya pemilu legislatif dibandingkan pemilu presiden. Meski angka partisipasi pemilih yang datang ke TPS pada pemilu 2019 (81 persen) meningkat, setelah terjadi penurunan sejak pemilu 1999, kesenjangan jumlah suara tidak sah antara pemilu presiden dan pemilu DPR, DPD dan DPRD “cukup tinggi.”
Secara nasional, surat suara tidak sah dalam pemilu presiden berada pada angka 2,38 persen, dibandingkan dengan pemilu DPR yang mencapai 11,12 persen dan pemilu DPD 19,02 persen.
Perludem mencatat, selain kampanye pilpres yang mendominasi pemilu saat itu, desain sistem pemilu seretak dan proporsional terbuka dengan jumlah calon anggota legislatif yang sangat banyak juga membuat pemilih kebingungan.
Setali tiga uang, hasil survei LIPI juga menunjukkan bahwa perhatian pemilih pada pemilu 2019 tersita oleh pilpres, sehingga mereka tidak punya cukup waktu untuk mengenali satu per satu caleg yang bersaing pada setiap tingkatan.
‘Demanding tuh normal banget’
Bagi Abigail, yang mengantongi gelar sarjana dalam bidang manajemen media dari Biola University, California, mengemas data dan fakta pemilu seakurat dan semenarik mungkin merupakan tantangan tersendiri dalam mengampanyekan gerakan “Bijak Memilih” di medium online. Itu tak lepas dari harapan untuk menjadikannya platform yang bisa memantik diskusi sehat.
“Kita pengin bikin narasinya lebih hopeful, di mana kita bisa menyambut tahun 2024 (tidak hanya) dengan penuh harapan, tapi juga kritis. Nggak cuma critical fatalistic (pasrah, red.), terus sinis,” ungkapnya.
Sementara bagi Afu, mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung pasrah dan masa bodoh pada proses politik merupakan tantangan utamanya.
“Mengajak orang muda untuk lebih demanding kali ya,” kata Afu. Menurutnya, masyarakat perlu memahami bahwa dalam proses politik di negara demokrasi, rakyat boleh mengajukan tuntutan kepada pemerintah.
“Kalau dibandingin sama AS, waktu kuliah di sana, kerasa banget, ‘kok orang-orang sini tuh untuk being demanding tuh normal banget,’ gitu,” tutur peraih gelar master dalam bidang kebijakan publik, politik dan pertumbuhan ekonomi Universitas Harvard itu. “Kayak, ‘ini enggak cukup baik!’ baik itu ke tempat mereka kerja, tempat mereka sekolah, ke pemerintah mereka… Kalau sesuatu enggak cukup baik, mereka angkat suara.”
Bijak Memilih pun sengaja menyasar pemilih muda urban dan kelas menengah. Alasannya, “karena kita sadar betul dengan sumber daya yang kita punya, pemahaman kita tentang diri kita sendiri, apa yang menggerakkan kita dan kira-kira audiens yang serupa itu seperti apa,” ungkap Afu.
Gerakan yang dijalankan secara sukarela dan sedang menimbang konsep urun dana untuk memodali kegiatannya itu membuka pintu kolaborasi seluas-luasnya kepada semua pihak yang memiliki visi serupa: memberikan edukasi politik kepada pemilih, termasuk kepada semua partai politik. Meski demikian, Afu menegaskan, kolaborasi dengan parpol “bukan untuk mengendorse salah satu kandidat atau salah satu partai saja.”
Titi Anggraini dari Perludem berharap Bijak Memilih dapat memberi efek ketok tular bagi inisiatif-inisiatif serupa, walau diawali dengan menyasar kelompok muda dari kalangan urban.
“Kemampuan untuk membangun jejaring yang lebih besar dengan kelompok-kelompok yang saya kira punya basis massa yang juga menjanjikan – contohnya, gerakan mahasiswa, kelompok pemuda di banyak ormas, dan sebagainya – itu juga perlu dilirik, supaya gerakan ini tidak dianggap elitis, tidak dianggap hanya berorientasi pada kelompok ekonomi tertentu,” tutur Titi.
Ia yakin, di tengah era teknologi internet yang menjadi salah satu rujukan media arus utama, amplifikasi gerakan Bijak Memilih pasti akan dirasakan juga di luar kelompok sasaran.(VOA/03)