Pendidikan Seks di Tengah Problem Kesehatan Reproduksi

Nasional, Scientia167 views

Caption: Indonesia belum memberikan edukasi seks komprehensif yang terstruktur, padahal pendidikan itu dianggap sebagai salah isu yang krusial. (Foto: AP)

 

Fixsnews.co.id- Hubungan seks di kalangan remaja, kehamilan tidak diinginkan, aborsi hingga perkawinan anak di Tanah Air adalah persoalan saling bertaut. Indonesia belum memberikan edukasi seks komprehensif yang terstruktur, padahal pendidikan itu dianggap sebagai salah satu solusi.

 

Pendidikan agama dan ajaran moral dianggap menjadi benteng paling kuat bagi anak-anak untuk bebas dari aktivitas seksual tidak aman. Di tengah perubahan jaman, nampaknya dua faktor itu tidak sepenuhnya berhasil. Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Budhi Hermanto, ketika berbincang dengan VOA meyakini edukasi seks adalah sangat krusial saat ini.

“Sependek hipotesis saya, anak-anak yang teredukasi dengan baik soal seksual mereka jauh lebih bertangung jawab. Mohon maaf, doktrin agama, doktrin moral saja enggak cukup,” ujar Budhi, Sabtu (20/5).

Anak-anak tidak seterusnya bisa dilarang. Dia akan mencari jalan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam dirinya.

Direktur eksekutif daerah PKBI DI Yogyakarta, Budhi Hermanto. (Foto: Dok Pribadi)

“Jikalau anak SD dan SMP diberi pengetahuan, saya yakin mereka akan berpikir ulang untuk melakukan hubungan seks yang beresiko atas kehamilan tidak diinginkan, kalau itu terjadi,” ujar Budhi lagi.

Pendidikan seks bukan hanya soal hubungan seks, tetapi pemahaman mengenai organ-organ tubuh dan seksualitas sesuai dengan usia anak. Anak-anak SD bisa diperkenalkan dengan jenis kelamin dan alat kelaminnya sendiri sehingga memahami fungsinya dengan baik, termasuk misalnya tentang menstruasi bagi siswa perempuan.

Di tingkat lebih atas, seperti SMP dan SMA, pendidikan seks disesuaikan materinya sesuai perkembangan siswa. Misalnya tentang bagaimana bayi di dalam kandungan, dan risiko bagi mereka yang terlanjur melakukan hubungan seks, seperti kehamilan yang tidak diinginkan. Termasuk di dalamnya resiko besar seperti pendarahan, keguguran dan ketidaksiapan mental.

Seorang dokter memegang botol vaksin human papillomavirus (HPV). (Foto: AP)

“Belum lama saya keliling ke kampus-kampus yang bekerja sama dengan PKBI di Yogya. Saya menyampaikan soal situasi tentang, misalnya, kanker serviks sebagai pembunuh nomor 3 di Indonesia. Penyebab kanker serviks adalah karena virus HPV,” kata Budhi.

“Virus HPV ini gampang mengenai orang yang sebagian besar pernah melakukan hubungan seksual pada saat remaja,” ujarnya lagi.

Dalam diskusi dengan para mahasiswa, muncul kesadaran sendiri bahwa risiko berhubungan seks di usia muda ternyata sangat besar. Jadi, pendidikan seks adalah upaya untuk membuat anak muda sadar, tahu resiko dan bertanggung jawab atas pilihan yang mereka ambil.

Sayangnya, sampai kini Indonesia belum menerapkan pendidikan seks yang komprehensif tersebut. Pengetahuan mengenai seks masih ditempelkan dalam pelajaran sekolah yang ada. Skema pendidikan seks yang komprehensif ini termasuk menjadikan ruang bimbingan dan konseling di setiap sekolah sebagai ruang aman untuk konsultasi terkait isu ini secara terbuka.

Posyandu Remaja dari Pemerintah

Sejauh ini, pemerintah mendekati persoalan ini, salah satunya melalui program yang disebut sebagai Posyandu Remaja. Weni Kusumaningrum, pejabat di Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan menyebut ada tiga fokus pencegahan perilaku beresiko melalui skema ini, yaitu seks pranikah, pengunaan rokok dan alkohol serta penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif lainnya.

“Kenapa harus diberikan ketiga hal tersebut? Karena ada permasalahan kespro (kesehatan produksi -red) yang sangat mengkhawatirkan. Remaja sudah mulai berhubungan seksual, kemudian ada yang sudah melahirkan anak pertama di usia remaja, hamil juga demikian, kemudian HIV juga demikian. Anak anak sudah ada,” kata Weni dalam diskusi kesehatan reproduksi remaja yang diselenggarakan Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kemenkes.

Weni mengungkap sejumlah data yang dia kumpulkan dari sumber-sumber data pemerintah. Ada 5,2 persen pelajar usia 13-17 tahun yang telah melakukan hubungan seksual. Dari angka itu, sekitar 32 persennya berhubungan seksual dengan menggunakan kondom. Tujuh persen perempuan usia 15-19 tahun melahirkan anak pertama, sementara 6,3 persen remaja putri hamil pertama pada usia 17-18 tahun dan 23,2 persen hamil pertama pada usia 19-20 tahun.

Data juga menyebut, 228.049 anak usia 10-17 tahun atau 0,62 persen dari seluruh anak Indonesia, telah menikah. Ada 3,8 persen kasus HIV dan 4,1 persen kasus AIDS pada usia 5-19 tahun. Statistik juga mencatat bahwa 1 dari 11 anak perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual, sedangkan pada anak laki-laki, angkanya adalah 1 dari 17 anak.

Data pemerintah menyebutkan tujuh persen perempuan usia 15-19 tahun melahirkan anak pertama, sementara 6,3 persen remaja putri hamil pertama pada usia 17-18 tahun dan 23,2 persen hamil pertama pada usia 19-20 tahun. (Foto: Ilustrasi)

Data Mahkamah Agung juga menyebut, 26 persen alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan sudah hamil, sementara 67 persen karena cinta. Namun, ternyata alasan itu adalah pilihan dalam pengajuan dispensasi sehingga bisa saja kondisi sebenarnya disamarkan.

“Mungkin saja dia cinta dan hamil, atau hamil dan cinta, atau jangan-jangan semua ini karena hamil. Bisa saja, kita engak tahu,” lanjut Weni.

Dampak Besar di Kesehatan

Dalam diskusi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dr. Widyorini Lestari Hardjolukito Hanafy SpOG.Subsp.Onk menguraikan dampak perilaku seks bebas di kalangan remaja. Widyorini adalah Kepala Bagian Staf Medik Fungsional Ginekologi Onkologi, Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.

Widyorini menyebut, perilaku seks bebas saat ini menjadi samacam tren di kalangan remaja perkotaan, sebagaimana meningkatnya pernikahan anak. Sementara di sisi lain, mereka tidak memahami bahaya melakukan seks bebas.

“Bahayanya seks bebas adalah misalnya penyakit menular seksual, kemudian kanker serviks. Jadi infeksi Human Papiloma Virus, HPV, yang kemudian nanti setelah sekian tahun itu akan terjadi kanker serviks,” papar Widyorini.

Sebagai dokter spesialis kanker, Widyorini mencatat dalam beberapa tahun terakhir, penderita kanker serviks mengalami pergeseran ke usia lebih muda. Banyak penderita berusia 25 hingga 30 tahun.

“Padahal secara teori, dari infeksi human papiloma virus sampai terjadi kanker serviks itu butuh waktu lama, dari 10 sampai 15 tahun. Artinya kalau dia usia 30 tahun sudah terjadi kanker serviks, berarti dia sudah melakukan hubungan seksual mungkin usia 15 tahun,” lanjutnya.

Kecenderungannya, mereka yang menderita kanker serviks di usia muda, tidak mengakui terkait aktivitas seksualnya di usia remaja.

Pada kasus di mana seks remaja berbuntut pada pernikahan dini, dampaknya juga sangat mengkhawatirkan. Widyorini menyebut, angka kematian ibu dan kematian bayi berpotensi meningkat. Kasus yang berujung pada kelahiran prematur, keguguran atau juga meningkat.

Sementara dari sisi psikososial, anak belum tentu mampu menjadi ibu ataupun istri karena jiwa mereka masih kanak-kanak. Kondisi ini rentan menimbulkan konflik yang akhirnya melahirkan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

“Karena masing-masing mempunyai egonya sendiri-sendiri, sementara ada anak yang harus dibimbing,” ujarnya.

Widyorini menekankan pentingnya edukasi seks. Bahkan bagi mereka yang sudah melakukan seks di saat remaja, pemahaman tentang alat kontrasepsi perlu diberikan.

“Kalau sudah tercebur, ya sudah. Lebih baik kita bilang soal alat kontrasepsi, supaya tidak terjadi penyakit menular seksual dan supaya dia tidak hamil. Karena begitu hamil, ya harus bertanggung jawab, dan ujung-ujungnya pernikahan dini,” tegasnya,

Persulit Pernikahan Anak

Indonesia sebenarnya menerapkan aturan lebih keras untuk mencegah perkawinan anak. Misalnya, dengan meninggikan usia kawin, sehingga mereka yang belum berusia 19 tahun, wajib meminta dispensasi kawin di pengadilan.

Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, dalam tangkapan layar.

Plt. Deputi Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani menyebut meski dispensasi kawin bisa diberikan, tetapi syaratnya kini dipersulit.

“Tidak hanya begitu saja diberikan, tetapi terlebih dahulu harus ada surat rekomendasi dari Dinas PPPA, dan ada rekomendasi dari Dinas Kesehatan setempat,” ujarnya.

Tidak hanya itu, saat ini kementerian terkait juga sedang mendiskusikan untuk mempersulit lagi proses kawin anak.

“Karena perkawinan ini termasuk juga adalah salah satu bentuk kekerasan seksual, nanti pengajuan atau pemberian dispensasi kawin mungkin akan lebih diperdalam dengan meminta masukan dari kementerian sosial dan juga kepolisian,” ujarnya.

Di sisi berbeda, upaya pencegahan oleh pemerintah tidak hanya dari sisi aturan, tetapi juga kampanye kepada remaja. Edukasi di kalangan anak menjadi penting, karena pengaruh sesama anak justru dinilai lebih besar dibanding aturan.

Upaya ini sekilas memang memberikan hasil. Pada 2020, pemerintah mengeluarkan 65 ribu dispensasi kawin, lalu turun pada 2021 menjadi 62 ribu dan turun kembali pada 2022 menjadi 52 ribu.(VOA/03)