Pengamat: Banyaknya Calon Tunggal Indikasi Gagalnya Regenerasi Politisi

Caption:Kantor Komisi Pemilihan Umum di Jakarta difoto pada 24 April 2024.
Yasuyoshi Chiba/AFP

Fixsnews.co.id- Banyaknya calon tunggal yang akan melawan kotak kosong dalam pemilihan kepala daerah tahun ini, meskipun masa pendaftaran sudah diperpanjang, mengindikasikan kegagalan partai politik dalam regenerasi politisi, kata pengamat Jumat.

Setelah masa perpanjangan dari Senin sampai Rabu kemarin berakhir, terdapat 41 wilayah yang memiliki calon tunggal melawan kotak kosong di pemilihan kepala daerah pada 27 November nanti. Sebelum masa perpanjangan, jumlahnya 43 wilayah.

Pengamat politik Universitas Airlangga, Ali Shahab, menilai naiknya jumlah calon tunggal merupakan bukti kegagalan partai dalam kaderisasi. Hal ini, kata Ali, juga bentuk kuatnya pengaruh koalisi partai di tingkat nasional ke daerah yang terkesan sebagai kartel berbalut koalisi.

“Partai tidak mampu memunculkan kadernya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Partai yang juga seharusnya menyalurkan suara rakyat, sekarang fenomenanya partai menyalurkan suara ketua partai. Saya melihat lebih ke kuatnya kartel berbalut koalisi, sehingga sampai ketua umum partai tidak berani menolak kartel tersebut,” ujar Ali kepada BenarNews.

Lebih lanjut, ujar Ali, hal ini menjadi potret kemunduran demokrasi, di mana esensi demokrasi adalah kebebasan berpolitik.

Peneliti Paramadina Public Policy Institute, Septa Dinata, menilai keputusan Mahkamah Konstitusi di menit-menit terakhir ternyata tidak membantu dalam mengurangi jumlah calon tunggal di pemilihan kepala daerah.

“Karena untuk memutuskan maju [ke pemilihan] tidak cukup waktu seminggu. Butuh perencanaan jangka panjang. Hanya membantu mereka yang dari awal memang niat mau maju, tapi terkendala partai,” ujar Septa kepada BenarNews.

Jumlah 41 calon tunggal ini meningkat dibandingkan pemilihan kepala daerah terakhir pada 2020, yakni 25 calon, menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Namun jika dihitung secara persentase, jumlahnya menurun. Pada 2020, terdapat 25 calon tanpa lawan tersebar di 270 daerah (9,26 persen), sementara pada 2024, 41 calon tunggal tersebar di 545 daerah (7,52 persen).

Ke-41 wilayah itu tersebar di 21 provinsi. Papua Barat menjadi satu-satunya provinsi dengan calon tunggal di pemilihan gubernur, yakni Dominggus Mandacan-Mohamad Lakotani.

Dominggus merupakan Ketua Partai Nasdem Papua Barat sementara Mohammad adalah Ketua Gerindra Papua Barat. Pasangan ini diusung oleh 17 dari 18 partai peserta pemilu.

Sementara di tingkat pemilihan wali kota dan bupati, Sumatra Utara dan Jawa Timur menempati urutan kedua terbanyak calon tunggal. Di Sumatra Utara, enam kabupaten memiliki calon tunggal, sementara Jawa Timur tiga kabupaten dan dua kota.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora mengenai Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah untuk mengubah ambang batas untuk syarat pencalonan kepala daerah.

Putusan MK menyebut ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

MK memutuskan untuk menyamakan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik dengan aturan pencalonan kepala daerah jalur independen sesuai undang-undang pemilihan kepala daerah.

Baca Juga:Resmi Dilantik, 10.328 Mahasiswa Baru BINUS University Bergabung ke Dalam Komunitas Berkelas Dunia

Diskorsing Selama 13 Tahun dari PT Angkasa Pura II, Purwanto Cari Keadilan ke Disnaker Kota Tangerang

Pemkot Tangerang Kembali Gelar Tangerang Bershalawat tahun 2024

Polisi antihuru-hara menggunakan meriam air untuk membubarkan para demonstran di luar Gedung DPRD di Bandung, Jawa Barat, pada 22 Agustus 2024, dalam aksi protes untuk menghentikan upaya DPR merevisi keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. [Timur Matahari/AFP]
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai adanya upaya sejumlah partai politik merancang calon tunggal melawan kotak kosong. Fenomena itu dinilai mengkerdilkan semangat demokrasi.

“Kalau ada partai-partai mendesain pemilihan kepala daerah melawan kotak kosong, saya rasa itu sudah kebablasan dan tidak menunjukkan semangat untuk bangun demokrasi yang sehat,” kata dia dalam diskusi yang diikuti oleh BenarNews.

“Sementara esensi pemilihan kepala daerah itu adalah kompetisi, kalau tidak ada kompetisi itu tidak menunjukkan contoh praktik demokrasi yang baik,” ujar dia.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR), Rendy NS Umboh, menilai pola relasi dan keterikatan koalisi partai dalam mengusung calon kepala daerah terlihat mengarah kepada pengkondisian kotak kosong.

”Agar lebih mudah menata dan mengatur kemenangan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah,” ujarnya.

Peran koalisi partai politik, termasuk bongkar pasang koalisi, lanjut Rendy, juga berpengaruh terhadap pencalonan. Misalnya Partai Golkar yang kembali mendukung kadernya, Airin Rachmi Diany, setelah sebelumnya mendukung kader yang lain.

“Di berbagai daerah, koalisi partai pengusung jadi variatif, tidak lagi semata Koalisi besar KIM plus vs non-KIM. Tetapi dapat dilihat perpaduan keduanya,” ujarnya.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jerry Sumampow, melihat meningkatnya jumlah calon tunggal melawan kotak kosong adalah semacam siasat antara kekuasaan, partai politik dan calon tertentu untuk menang dalam pemilihan kepala daerah.

“Ada kekhawatiran bahwa orang-orang yang diplot oleh kekuasaan dan partai politik untuk menjadi kepala daerah tak disukai rakyat sehingga tak terpilih,” ujar Jerry kepada BenarNews.

“Fenomena calon tunggal adalah kecelakaan sejarah. Sebab dibolehkannya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah membuka ruang bagi partai politik dan elit politik untuk mengatur siasat agar calon kepala daerah bisa mereka tentukan, bukan lagi ditentukan oleh rakyat melalui pemilihan.”

Pilih kotak kosong

Guna meminimalisir jumlah kotak kosong ke depan, para pakar menilai sejumlah upaya harus dilakukan.

Ali mengatakan masyarakat adalah sebagai harapan terakhir.

“Jika memang calon tunggal tidak sesuai harapan, silakan pilih kotak kosong sebagai bentuk protes,” kata Ali.

Sementara itu menurut peneliti CSIS Dominique Nicky Fahriza, harus ada perubahan di dalam partai politik di mana mereka harus menyesuaikan kaderisasi dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat sipil juga harus berkonsolidasi dan berinisiatif memunculkan calon-calon lain.

“Entah yang dapat disodorkan ke partai atau didorong maju independen,” ujarnya.

Di sisi lain, Rendy berharap ke depannya ada upaya merevisi total Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, terutama dalam konsep dan konteks calon tunggal.

“Misalnya dengan mengatur peserta pemilihan kepala daerah harus minimal dua pasangan calon. Atau partai politik dilarang membentuk koalisi besar yang menyebabkan partai politik lain kehilangan kesempatan memenuhi ambang batas pencalonan. Intinya regulasi mengatur agar tidak ada kemungkinan calon tunggal. Kita memilih orang kan, bukan kolom kosong?” ujar Rendy.

Merujuk ke UU No 10/2016 tentang pemilihan kepala daerah, andaikata calon tunggal kalah dari kotak kosong dalam pemilihan, maka posisi kepala daerah akan diisi penjabat sementara hingga pemilihan kepala daerah periode selanjutnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Mochammad Afifuddin dalam sebuah diskusi di Jakarta pada akhir Agustus mengatakan pihaknya berharap pemilihan kepala daerah ulang digelar pada 2025, namun ia mengaku akan berdiskusi terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah, hanya satu calon tunggal yang kalah melawan kotak kosong yakni pada pemilihan wali kota Makassar 2018.(BenarNews/03)