Penipuan Daring di Myanmar: Kemenlu Indonesia Koordinasi Pemulangan 525 WNI

oleh

Caption: Korban ‘online scam’ terjebak dalam ketidakpastian di sebuah kompleks di dalam KK Park, di Myawaddy, Myanmar, 26 Februari 2025. (Stringer/REUTERS)

Jakarta,Fixsnews.co.id- Kementerian Luar Negeri Indonesia mengumumkan bahwa jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam kasus penipuan daring (online scam) di Myawaddy, Myanmar, telah direvisi menjadi 525 orang. Direktur Pelindungan WNI, Judha Nugraha, menyampaikan bahwa perubahan angka ini berdasarkan konfirmasi dari pihak berwenang Myanmar.

“Ini adalah angka yang sangat besar. Data yang kami terima berasal dari pengaduan yang masuk ke Kemenlu, perwakilan RI, dan berbagai saluran pengaduan lainnya. Kami berkoordinasi dengan otoritas Myanmar dan pihak terkait untuk membantu WNI yang terjebak di Myawaddy,” jelas Judha dalam jumpa pers di Jakarta pada Kamis (6/3).

Saat ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia sedang melakukan koordinasi intensif dengan otoritas Thailand, yang berfungsi sebagai negara transit, untuk memfasilitasi pemulangan WNI dari Myawaddy ke Mae Sot, Thailand, sebelum kembali ke Indonesia. Judha juga menambahkan bahwa sebagian dari WNI tersebut sudah berada di tempat penampungan sementara dan akan segera dipulangkan.

Sejak awal tahun 2025, sebanyak 130 WNI yang terlibat dalam kasus online scam telah berhasil dipulangkan dari Myawaddy. Pemulangan dilakukan dalam dua gelombang: gelombang pertama pada 21 Februari dengan 46 WNI, dan gelombang kedua pada 28 Februari dengan 84 WNI.

Yudha mengungkapkan, setibanya di Jakarta, melalui koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam) dengan kementerian/lembaga terkait, mereka ditempatkan sementara di Rumah perlindungan dan Trauma Center (RPTC) Kementerian Sosial untuk proses pendalaman, rehabilitasi dan reintegrasi ke daerah asal masing-masing.

Menurutnya, dari keterangan 130 WNI yang dipulangkan, diperoleh informasi bahwa beberapa di antaranya sudah pernah bekerja sebagai admin judi online. di Filipina Laos, dan Myanmar. “Jadi kami melihat bahwa judi online sebagai entry point untuk kasus yang lebih besar di online scam,” ujar Judha.

Ia juga mengungkapkan, pihaknya menghadapi sejumlah kendala dalam mengevakuasi para WNI yang menjadi korban, seperti keterbatasan data dan rawannya area di mana para korban berada. Myawaddy, katanya, kini dikuasai oleh kelompok etnis bersenjata.

Yang juga membuatnya prihatin adalah sejumlah korban pernah mengalami kasus serupa. “Dari total sekitar 6.800 kasus yang ditangani sejak 2020, kami mencatat ada kasus berulang. Ada beberapa WNI yang kita tangani, dipulangkan, berangkat lagi bekerja di sektor itu,” jelas Judha.

Lebih jauh Judha menjelaskan, online scam terkait erat dengan judi online. Jika online scam menurutnya semua negara pasti melarang, beda halnya dengan judi online yang di beberapa negara memang legal.

Terlepas dari adanya fakta bahwa tidak semua korban judi online dan online scam yang melibatkan WNI merupakan korban tindak pidana perdagangan orang TPPO, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, saat ini telah terjadi perluasan korban perdagangan orang.

“Kalau dulu, wajah korban perdagangan manusia biasanya adalah perempuan dari daerah miskin, yang ekonominya rendah. Sekarang meluas wajahnya, menjadi orang muda, bahkan sarjana lulusan perguruan tinggi,“ kata Wahyu.

Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan di mana kasus perdagangan orang tumbuh subur karena belum adanya platform bersama ASEAN untuk melindungi para pekerja migran, salah satu kelompok yang paling sering menjadi korban TPPO.

Menurut PBB, ratusan ribu orang telah diperdagangkan ke Myanmar, Kamboja dan Laos dari seluruh dunia. Banyak dari mereka tergiur dengan janji pekerjaan kantoran yang nyaman, namun setelah tiba malah ditahan di luar keinginan mereka dan dipaksa mendapatkan penghasilan dengan melakukan penipuan online, yang menargetkan korban secara global.

Penelitian yang dilakukan oleh US Institute of Peace memperkirakan penipuan ini menghasilkan pendapatan global sebesar $63,9 miliar per tahun, yang sebagian besar — sekitar $39 miliar — dihasilkan di Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Menurut lembaga pemikir terkemuka di Amerika Serikat, Council on Foreign Relations, Beberapa kelompok kriminal terorganisasi, sebagian besar berasal dari China, mengoperasikan pusat-pusat penipuan dunia maya di seluruh Asia Tenggara, terutama di negara-negara miskin seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Penipuan yang mereka lakukan biasanya merupakan upaya untuk menipu korban yang tidak sadar di seluruh dunia agar mengeluarkan tabungan mereka. Banyak kelompok kejahatan terorganisasi datang ke negara-negara ini setelah Beijing memulai tindakan keras antikorupsi terhadap perjudian lintas batas ilegal dan pencucian uang di Makau, wilayah administratif khusus China yang terletak di pantai selatannya.

Pusat-pusat tersebut dikelola oleh ribuan orang, yang sebagian besar telah diperdagangkan secara ilegal oleh kelompok-kelompok kriminal dan dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi dan penuh kekerasan. Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia memperkirakan lebih dari dua ratus ribu orang telah diperdagangkan ke Myanmar dan Kamboja untuk melakukan penipuan daring ini. Jaringan perdagangan manusia ini dilaporkan menyebar jauh melampaui wilayah tersebut dan menarik korban dari berbagai negara, termasuk Brasil, Kenya, dan Belanda. (VOA/03)