Caption:Pemilih membuka surat suara, memastikan masih kosong dan tidak rusak sebelum mencoblos di TPS Luar Negeri di Moskow. (Foto: Courtesy/PPLN Rusia)
Fixsnews.co.id- Walau jauh dari Tanah Air, diaspora Indonesia di seluruh dunia tetap antusias memberikan hak suara. Antusiasme mereka mendorong petugas pemilihan di luar negeri menyambangi pemilih, meskipun harus menghadapi beragam tantangan termasuk bertemu binatang buas dan menempuh perairan yang sarat buaya.
Begitu fajar menyingsing, petugas panitia pemilihan luar negeri (PPLN) Mozambik sudah berada di tepi sungai. Sampan nelayan siap membawa mereka bertugas khusus hari itu, membawa kotak suara keliling (KSK). Ketua PPLN Maputo, Taufik Herlambang, menunjukkan video singkat.
“Arahnya ke sana, ke ujung. Masih jauh. Bismillah. Mohon doanya teman-teman,” kata Taufik sambil memohon doa.
Pasalnya, “Kami bukan orang laut semua. Ada yang tidak bisa berenang. Ada yang sudah tua.”
Untuk sampai ke tepi sungai, Taufik dan tim harus menempuh 10 jam perjalanan beraspal yang bukan kelas satu, dari Maputo, ibu kota Mozambik. Hampir tiap jam, mereka disetop empat orang di pos pemeriksaan yang bersenjata senapan AK-47, bertanya sambil melongok-longok ke mobil. Taufik sempat gugup, tetapi karena pemeriksaan begitu bertubi-tubi, ia akhirnya bosan.
“Pertanyaannya selalu sama. Ini apa? Ini barang apa? Ya…10 jam perjalanan. Saya kaget. Ih banyak banget ya. Baru ini, cek lagi, cek lagi, cek lagi. Jadi kami ya…pura-pura santai aja biar pun serem,” ujarnya.
Pagi itu sampan siap mengantar, menyusuri sungai menuju muara dan akhirnya laut lepas untuk menyambangi 56 warga Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih. Perjalanan tidak terasa nyaman karena…
“Sepanjang perjalanan lalatnya gak bisa hilang. Lalat gede-gede. Bagi saya aneh. Sepanjang jalan lalat mengerebungi kita, kan aneh. Itu kita tidak siap. Kita berharap nyamuk. Ternyata ketemunya lalat. Yang beneran gede lalatnya dan katanya bisa nelurin larva di tubuh kita,” kata Taufik.
Taufik sempat menelan seekor lalat itu. Dia kesal tapi orang lokal di sampan mengingatkan bahwa lalat itu protein.
Setelah tiba beberapa saat di laut lepas, lalat pergi. Tetapi, mesin kapal mendadak mati. Semua panik. Bagaimana mendapatkan pertolongan segera? Kalau di darat, mobil mogok bisa didorong. Kalau kapal di laut, bagaimana mendorongnya?
Kepanikan bertambah karena tiba-tiba kapal goyang gara-gara disundul-sundul hiu. Orang lokal dalam tim mengingatkan agar tenang, tidak panik, dan tidak bersuara. Taufik menyampaikan apa yang dikatakan orang lokal itu.
“Kalau kita tenang, mereka akan pergi. Mereka ngetes doang. Tetapi kalau kapalnya jatuh ya dimakan,” katanya.
Setelah beberapa kali menyundul dan kapal tidak terbalik, hiu itu pergi. Taufik merasa lega. Mozambik memang terkenal akan hiunya yang bisa hidup di air asin maupun air tawar.
Taufik mengaku tidak menyangka akan disundul hiu. Ia memperkirakan akan berhadapan dengan buaya. Makanya ia mengajak serta seorang pawang buaya. Nyatanya, buaya hanya mengintai.
Ia ingin minum tetapi tidak ada air. Semua orang lupa membawa perbekalan makanan dan minuman. Jadi, sepanjang hari mereka tidak makan dan tidak minum. Padahal suhu demikian panas, 41 derajat Celsius.
Mesin kapal kembali hidup, perjalanan berlanjut. Setelah 14 jam, mereka tiba di sisi kapal tambang pasir besi. Kotak suara keliling (KSK) disiapkan, dan satu per satu warga Indonesia di kapal turun ke sampan dan memberikan suara. Tuntas sudah tugas hari itu.
Namun, bukan berarti perjalanan KSK tuntas. Keesokannya, tim petugas pemilu itu menempuh perjalanan serupa ke arah berbeda, untuk menyambangi 28 warga Indonesia yang bekerja di kapal nelayan.
Perjalanan harus diselesaikan sebelum hari gelap, sebelum buaya leluasa bergerak mencari makan. Karena, kata Taufik, buaya bisa loncat ke sampan untuk menangkap mangsa.
Selain itu, begitu gelap, bermacam binatang buas lebih banyak keluar, mencari mangsa. “Tidak usahlah saya sebut binatang apa saja,” cetus Taufik.
Secara keseluruhan, Taufik mengatakan salut pada tim KSK, yang begitu berdedikasi dalam menjalankan tugas. Ia pun salut pada para pekerja di kapal yang tetap memikirkan demokrasi di Tanah Air.
Di Moskow, Ketua PPLN Rusia dan Belarus Raymond Sihombing menghadapi situasi berbeda, udara yang sangat dingin. Pada hari pemilihan, suhu udara di Moskow minus 30 derajat Celsius. Itu dianggap hangat bagi orang di Siberia. Di daerah lain yang terpencil, suhu udara bisa mencapai minus 75 derajat Celsius.
“Kurir tidak mau mengantar surat karena udara demikian dingin. Mereka biasanya mengirim pesan di ponsel, memberitahu bahwa ada kiriman surat, silakan ambil segera,” kata Sihombing.
Selain suhu yang dingin ekstrem, mereka menghadapi tantangan cakupan wilayah kerja yang luas. Rusia terbagi dalam 9 zona waktu. Dari Moskow ke Vladivostok, misalnya, perjalanan udara bisa sampai pukul 21.00.
Semula, tim PPLN menawarkan KSK untuk tempat-tempat yang jauh dan terpencil, selain memilih melalui pos dan datang ke tempat-tempat pemungutan suara (TPS). “Akhirnya kami sendiri yang mundur,” kata Sihombing.
“Karena tukang pos aja gak mau ke sana saking dinginnya,” imbuhnya.
Pemilu Indonesia di luar negeri sudah dilaksanakan di sebagian besar bagian dunia, lebih cepat dari pelaksanaan di Indonesia. Menurut KPU, lebih dari 1,7 juta diaspora Indonesia memberikan suara. Penghitungan surat suara akan dilakukan pada 14 Februari untuk surat suara TPS dan 15 Februari untuk surat suara yang dikirim melalui pos.
Taufik berharap pemilu hanya satu putaran. Kalau dua? Taufik tertawa getir. Terbayang perjalanan darat 10 jam harus melalui berkali-kali pos pemeriksaan, ditambah perjalanan belasan jam di sungai dan laut di bawah sengatan suhu panas 41 derajat Celsius, dirubung lalat, diintai buaya, dan… ia masih merasakan kepanikan tatkala hiu menyundul-nyundul perahu.(VOA/03)