Rendahnya Minat Baca Peserta Didik di Indonesia: Tantangan dan Solusi Pendidikan Literasi

oleh

Penulis: Elvi Agustrin Dakhi, Farah, Rahmi Yanti, dan Ryan (Mahasiswa Fakultas Ekonomi & Bisnis Universitas Pamulang)

 

Fixsnews.co.id- Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun peradaban bangsa yang maju dan sejahtera. Salah satu aspek paling krusial dalam sistem pendidikan adalah literasi membaca, yang menjadi indikator penting dalam menilai kualitas dan daya saing sumber daya manusia suatu negara. Sayangnya, kondisi literasi membaca di Indonesia masih tergolong rendah.

Berdasarkan hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke-62 dari 70 negara. Bahkan, dalam laporan PISA terbaru tahun 2022, Indonesia masih belum menunjukkan peningkatan signifikan dalam aspek literasi, menandakan bahwa sebagian besar siswa kesulitan dalam memahami, menafsirkan, dan menganalisis informasi tertulis secara kritis.

Menurut Prof. Dr. Suyanto, M.Ed., Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, rendahnya minat baca peserta didik bukan hanya karena keterbatasan akses terhadap bahan bacaan, tetapi juga karena tidak adanya budaya membaca yang menyenangkan sejak dini. Fenomena ini diperparah oleh sistem pendidikan yang lebih menekankan pencapaian nilai ujian dibandingkan pengembangan pemahaman dan keterampilan literasi. Hal ini berseberangan dengan pendekatan konstruktivisme yang dikembangkan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, yang menekankan pentingnya pengalaman belajar kontekstual, interaktif, dan bermakna dalam membentuk kompetensi literasi peserta didik.

UNESCO mendefinisikan literasi bukan hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, berkomunikasi, dan menghitung menggunakan bahan cetak dan digital. Dengan kata lain, literasi adalah dasar bagi pembelajaran sepanjang hayat. Keterampilan ini juga menjadi dasar dari pemikiran kritis, yang merupakan tingkatan tertinggi dalam Taksonomi Bloom. Oleh karena itu, pendidikan literasi haruslah diarahkan untuk membentuk peserta didik yang mampu menganalisis informasi, mengevaluasi gagasan, dan menciptakan solusi dari berbagai persoalan nyata.

Untuk mengatasi rendahnya minat baca di Indonesia, diperlukan strategi komprehensif. Beberapa solusi yang bisa diterapkan meliputi: (1) penerapan program ’15 Menit Membaca’ setiap pagi di sekolah dasar dan menengah; (2) pelatihan guru sebagai fasilitator literasi, bukan sekadar pengajar mata pelajaran; (3) pengembangan pojok baca atau sudut literasi yang menarik dan relevan dengan minat siswa; (4) kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan komunitas untuk menciptakan ekosistem literasi; (5) pemanfaatan teknologi digital seperti aplikasi membaca interaktif dan perpustakaan online yang mudah diakses oleh siswa.

Selain itu, pemerintah perlu mengintegrasikan kebijakan literasi dalam kurikulum nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Program seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN) harus dievaluasi secara berkala dan diperkuat dengan dukungan anggaran, pelatihan SDM, serta monitoring hasil. Kegiatan literasi juga bisa dipadukan dengan lomba menulis, klub buku digital, dan proyek literasi berbasis komunitas untuk menjangkau peserta didik di daerah terpencil.

Sebagai penulis, kami percaya bahwa peningkatan budaya baca adalah landasan untuk menciptakan generasi yang cerdas, kritis, dan inovatif. Investasi dalam literasi bukan hanya investasi dalam pendidikan, tetapi juga dalam masa depan bangsa. Jika Indonesia ingin mencetak Sumber Daya Manusia unggul menuju visi Indonesia Emas 2045, maka membangun kesadaran literasi harus dimulai dari ruang kelas hingga lingkungan rumah. Literasi adalah jembatan menuju kemajuan peradaban, dan menjadikannya prioritas adalah tugas bersama kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *