Caption: Menteri keuangan RI Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita edisi April 2024, Jumat (26/04) di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta. (Kemenkeu Foto/ biro KLI)
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per 31 Maret 2024 masih mencatatkan surplus Rp8,1 triliun. Meskipun surplus, namun jumlahnya masih terus turun sepanjang kuartal-I tahun ini. Apa penyebabnya?
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kinerja APBN yang mencatatkan surplus Rp8,1 triliun hingga penghujung Maret 2024.
Meskipun surplus, angka tersebut dilaporkan terus menurun. Padahal surplus APBN per 15 Maret 2024 lalu tercatat sebesar Rp22,8 triliun atau 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Jadi kalau kita lihat APBN kita masih surplus di 0,04 persen dari GDP. APBN untuk tahun 2024 di desain defisitnya di level 2,29 persen atau Rp522,8 triliun,” ungkap Menkeu Sri dalam Konferensi Pers APBN Kita, di Gedung Kemenkeu, Jumat (26/4).
Lebih jauh ia menjelaskan realisasi pendapatan atau penerimaan negara hingga Maret 2024 mencapa Rp620,01 triliun, atau setara dengan 22,1 persen dari target APBN. Nilai tersebut, katanya, terkoreksi 4,1 persen dari periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Menkeu menjelaskan, terkoreksinya penerimaan negara ini salah satunya bersumber dari perlambatan penerimaan pajak akibat penurunan signifikan harga komoditas pada tahun 2023 yang akibatnya baru dirasakan pada tahun ini.
“Hal ini terutama terlihat dari perlambatan bruto PPh non migas, dan penurunan PPh Migas. Sementara itu, kinerja bruto PPN dan PPnBM yang positif sejalan dengan baiknya aktivitas ekonomi,” jelasnya.
Adapun pendapatan negara yang bersumber dari pajak mencapai Rp 393,91 triliun atau 19,81 persen dari target APBN 2024. Ia merinci PPh Non Migas tercatat mencapai Rp220, 42 triliun, PPN & PPnBM Rp155,79 triliun, PBB & pajak lainnya Rp3,17 triliun, dan PPh Migas Rp14,53 triliun. Sementara itu penerimaan negara dari sisi bea dan cukai mencapai Rp69 triliun.
Di sisi lain, belanja negara hingga akhir Maret 2024 mencapai Rp611,9 triliun atau setara 18,4 persen dari pagu APBN. Anggaran belanja tersebut melonjak cukup tinggi yakni 18,4 persen dari periode yang sama pada tahun lalu. Menurutnya peningkatan belanja negara disebabkan adanya belanja-belanja front loading seperti belanja untuk penyelenggaraan pemilu.
Meskipun surplusnya terus menurun, namun APBN masih mencatatkan surplus keseimbangan primer sebesar Rp122,1 triliun. Surplus keseimbangan primer adalah total pendapatan negara dikurangi pengeluaran negara, di luar pembayaran utang.
“Dengan situasi itu, keseimbangan primer kita masih surplus Rp122,1 triliun. Ini surplus namun kalau dibandingkan tahun lalu surplusnya sudah menurun, karena tahun lalu di Maret surplusnya di Rp228,3 triliun, berarti surplusnya menurun 46,5 persen,” terangnya.
Secara keseluruhan Mantan Managing Director World Bank ini mengungkapkan ketidakpastian global yang masih terjadi sampai detik ini tentu berdampak negatif pada perekonomian dan keuangan global. Dengan demikian, perekonomian nasional dan kinerja APBN pun cukup terdampak. Meski begitu, ia yakin pertumbuhan ekonomi tanah air masih relatif resilience.
“APBN kita hingga Maret kinerjanya masih sesuai on track dan kita terus merespons dan melaksanakan berbagai kemungkinan adjustment dengan perubahan lanskap perekonomian global yang sangat dinamis. APBN sama seperti tahun-tahun sebelumnya di mana shock terjadi dari berbagai faktor akan terus menjadi shock absorber, di mana APBN diandalkan untuk melindungi masyarakat, menjaga stabilitas dan kinerja ekonomi, namun pada saat yang sama APBN harus terus dijaga sustainability dan kesehatannya,” jelasnya.
Ekonom sekaligus Pendiri CORE Indonesia Hendri Saparini mengungkapkan, dalam sebuah anggaran negara yang harus diperhatikan adalah sisi penerimaan negara dan belanja yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurutnya, jika kondisi penerimaan lebih kecil daripada belanja negara terjadi secara terus menerus dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang cukup kompleks.
“Ini menjadi kekhawatiran kita, maksudnya dari sisi penerimaan itu mestinya Maret sudah cukup besar besar, tapi ini kok lebih rendah. Lalu belanjanya ini kenapa terlalu kencang, sementara sisa waktunya sembilan bulan ke depan kita ada potensi-potensi tambahan belanja lain di luar yang ada di APBN,” ungkap Hendri.
Ia mencontohkan, potensi belanja tambahan negara tersebut kemungkinan besar terjadi jika harga minyak dunia naik. Dengan begitu, akan ada tambahan belanja negara untuk kenaikan subsidi BBM. Namun, apabila pemerintah memutuskan untuk memangkas subsidi BBM, timbul pertanyaan apakah masyarakat akan mampu menghadapinya. Selain itu, apabila terjadi kenaikkan harga BBM, maka akan berimplikasi pada harga pangan yang kemudian bisa meningkatkan inflasi.
“Artinya ada kekhawatiran nanti juga akan ada giliran BLT baru. Jadi artinya yang kita khawatirkan evaluasi dari satu kuartal ini, satu tadi dari penerimaan, kedua dari belanja dan proyeksi ke depan akan banyak faktor-faktor yang akan berpengaruh terhadap penerimaan maupun terhadap belanja,” jelasnya.
Dengan tambahan potensi-potensi belanja tersebut, katanya, bukan tidak mungkin defisit APBN akan melebar dari yang sudah ditargetkan dalam UU. Maka dari itu, agar kinerja APBN bisa berjalan dengan baik di tengah kondisi ketidakpastian global dan domestik, pemerintah harus melakukan beberapa langkah. Pertama, katanya, pemerintah tidak boleh membiarkan adanya pembengkakan defisit dalam APBN. Kedua, dari sisi penerimaan, negara pemerintah harus lebih berhati-hati apabila ingin meningkatkannya.(VOA/03)