Caption:Warga Palestina mengevakuasi orang-orang yang terluka pasca serangan udara Israel di kamp pengungsi Rafah, Jalur Gaza selatan, Kamis 12 Oktober 2023.
Seiring masuknya militan dan roket-roket Hamas ke Israel Sabtu lalu, masuk pula rentetan disinformasi. Konflik ini tidak hanya terjadi di lapangan tetapi juga di internet.
Fixsnews.co.id— Pemboman dan serangan udara meledakkan sasaran-sasaran di seluruh Israel dan Gaza menyusul serangan Hamas terhadap Israel pada Sabtu dan serangan balasan Israel. Pada saat yang sama, disinformasi mengenai konflik tersebut meledak di internet dengan kekuatan yang mengejutkan para analis.
Alex Mahadevan adalah direktur organisasi nirlaba literasi digital MediaWise.
“Ini lebih buruk dibandingkan sebelum atau setelah serangan terhadap Gedung Kongres Amerika pada 6 Januari 2021. Ini lebih buruk daripada puncak pandemi COVID-19 atau peluncuran vaksinasi. Sejujurnya, ini adalah misinformasi paling intens yang pernah saya lihat tersebar di media sosial sejauh yang saya ingat,” ujarnya.
Baca Juga:Flyover Taman Cibodas Kota Tangerang Bakal Direnovasi, Berikut Jalur Alternatifnya!
Berita Hoaks Perang Hamas-Israel di Medsos Dinilai Mulai Berbahaya
Satgas Antimafia Bola Polri Kembali Tetapkan 2 Tersangka Pengaturan Skor di Liga 2
Di antara postingan yang menjadi viral di platform seperti TikTok dan X – yang sedang coba dibantah grup seperti MediaWise – adalah klip video yang mengklaim bahwa Ukraina menyelundupkan senjata ke Hamas. Video itu ditonton hampir satu juta kali. Padahal, postingan dan video itu bohong.
Video lain menunjukkan anak-anak dikurung dan mengklaim bahwa mereka adalah warga Israel yang diculik Hamas. Namun, menurut pengawas, video itu diunggah di TikTok beberapa hari sebelum serangan Hamas pada Sabtu.
Ada pula postingan bohong yang menampilkan wartawan BBC. Media penyiaran Inggris itu menyatakan tidak ada koresponden bernama Verona Mark. Bahkan, acara bincang-bincang bernama American Inside pun tidak ada.
X kemudian memblokir akun @Verona_Mark karena melanggar aturan platform.
Dalam zona konflik aktif, jurnalis tidak selalu bisa mengakses wilayah yang paling parah terimbas, menimbulkan kekosongan informasi. Kekosongan itu sering kali diisi disinformasi.
Sherif Mansour adalah koordinator program Timur Tengah dan Afrika Utara di Komite Perlindungan Jurnalis.
“Ini berarti banyak informasi yang keliru, propaganda online bisa melemahkan upaya memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu yang dibutuhkan masyarakat dan juga jutaan orang di seluruh dunia,” tukasnya.
Media sosial dapat membantu jurnalis menyiarkan kebenaran, namun juga memungkinkan berkembangnya berita bohong. Beberapa pakar media telah menunjukkan perubahan di X, sebelumnya Twitter, termasuk pengurangan karyawan, yang mengakibatkan penyebaran disinformasi.
Direktur MediaWise Mahadevan mengatakan, “Menurut saya, karena kebiasaan, banyak jurnalis seperti saya dan orang-orang pada umumnya ramai-ramai menggunakan X – sebelumnya Twitter – untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan perang Israel-Hamas. Sayangnya, di X yang baru, seluruh tim kepercayaan dan keamanan telah ditiadakan. Jadi, jumlah staf sudah tidak sama dengan yang kami libatkan dalam menghapus disinformasi dan misinformasi; dan dalam memoderasi konten kekerasan dan perilaku kebencian.”
Uni Eropa Selasa lalu mengingatkan pemilik X, Elon Musk, dan platform media sosial mengenai persyaratan hukum mereka untuk tidak berbagi konten tersebut. Musk menjawab melalui X, bahwa platformnya transparan. Ia meminta Uni Eropa untuk membuat daftar dugaan pelanggaran.
Sementara itu, di tengah banyaknya disinformasi mengenai konflik di Tumr Tengah, jurnalis harus memilah fakta dari fiksi untuk memastikan khalayak mempunyai akses terhadap berita yang kredibel.(VOA/03)