Caption:UNICEF Goodwill Ambassador David Beckham bermain sepak bola dengan murid-murid dan guru SMPN 17 Semarang dalam kampanye anti perundungan di sekolah yang disponsori UNICEF.
Sebuah sekolah menengah pertama di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan memiliki kegiatan ekstrakurikuler yang salah satu fokusnya adalah memerangi perundungan atau bullying. Apa saja kegiatannya?
Fixsnews.co.id— Awal Agustus lalu, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Makariem mengeluarkan peraturan baru untuk mengatasi masalah kekerasan di lingkungan sekolah, termasuk bullying atau perundungan. Di dalamnya, sekolah diminta membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), yang bertugas menerima laporan dugaan kekerasan hingga memberikan rekomendasi sanksi.
Di SMP Negeri 3 Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tim dengan fungsi serupa sudah hadir sejak 2018. Mereka tergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler Agen Perubahan, yang biasa disebut Tim Ambassador.
“Ini sangat mendukung iklim dan budaya sekolah, belajar yang efektif,” ungkap Fajar Ma’ruf, kepala SMPN 3 Sungguminasa, kepada VOA (25/8). “Semakin turun tindakan-tindakan penyimpangan yang terjadi kepada anak-anak di sekolah, karena mereka (anggota Agen Perubahan, red.) menunjukkan tidak bisa lagi ada yang namanya perundungan atau bullying verbal, fisik.”
Kegiatan itu bermula dari sebuah proyek percontohan yang digagas pemerintah bersama Dana Anak PBB (UNICEF) dan Yayasan Indonesia Mengabdi. Setelah proyek itu rampung dalam enam bulan, pihak sekolah memutuskan untuk melanjutkannya sebagai kegiatan ekstrakurikuler hingga saat ini.
Tidak seperti dalam proyek percontohan, di mana pelajar dipilih untuk menjadi anggota tim anti-bullying, sejak menjadi ekskul, mereka bebas mendaftar. Kini ada 40 pelajar yang menjadi agen perubahan.
“Mereka memantau, ada tidak perilaku bullying di kelasnya,” kata Tanti Agustina, pembina ekskul tersebut, melalui Zoom. “Tentunya mereka sebagai konselor sebaya memberikan pemahaman kepada teman-temannya tentang perilaku negatif yang mereka lakukan.”
Anggota Agen Perubahan harus mengikuti latihan dasar kepemimpinan agar dapat menjadi sosok yang disegani dan memberikan contoh positif bagi teman-temannya. Selain itu, mereka juga diharapkan mampu mengubah pola pikir siswa saat menghadapi tindak perundungan.
“Banyak yang kalau lihat bullying, yang lain tidak mau melerai atau membantu korban, cuma melihat atau menonton saja, atau menertawakannya,” kata Enjelika Roy, salah satu siswi yang menjadi agen perubahan, kepada VOA.
Tanti paham risiko yang dihadapi Enjelika dan anggota lainnya saat berhadapan dengan pelaku bullying. Selain kerap disebut “tukang lapor,” mereka juga tak jarang menjadi target perundungan pelaku, seperti yang dialami Abdul Fatir Jiwansyah, ketua ekskul tersebut.
“(Pelaku) langsung marah, marah-marah ke saya, jadi saya nggak mau ambil risiko, saya langsung saja tanya ke pembina, Bu Tanti atau guru-guru yang ada di sekolah, agar memberikan hukuman edukasi saja supaya (pelaku) nggak mengulangi perbuatannya lagi,” ujar Fatir.
Tanti memang meminta anggotanya hanya melakukan intervensi langsung ketika kondisinya tidak membahayakan.
“Kami memang menyampaikan kepada mereka, ‘Kalian kan bisa mengukur ini teman yang bisa diberikan pemahaman, mana yang tidak,” ungkapnya.
Setelah menerima laporan, guru Bimbingan Konseling itu akan mengajak pelaku berbicara untuk mengetahui alasan mereka melakukan perundungan. Seringkali ia menemukan bahwa pelaku menghadapi masalah di rumah dan melampiaskannya di sekolah.
“Biasanya dia merasa kurang diperhatikan di rumahnya,” ungkap Tanti, yang sudah empat tahun membina ekskul itu.
Meski demikian, ia tak langsung memanggil orang tua atau wali pelaku setelah laporan pertama. Ia akan terlebih dahulu membina dan melihat perkembangan mereka. Jika setelah itu perilaku bullying tidak berlanjut, maka pemanggilan orang tua atau wali tidak dilakukan. Namun jika pelaku kembali berulah, maka sebaliknya.
Masalahnya, Tanti kadang menemukan orang tua pelaku tidak mau tahu masalah anaknya di sekolah.
“Kita kan butuh kerja sama dengan orang tua dalam hal ini, untuk mengubah sebuah perilaku, karena kan anak-anak bermacam-macam karakternya. Ada anak-anak yang mungkin disampaikan oleh gurunya bisa langsung berubah, ada yang perlu bantuan orang tua.”
Fenomena tersebut sering ditemukan Philipus Yusenda, fasilitator pendidikan nilai di Empathic Living.
“Paradigma outsourcing itu jadi sangat kuat, bahwa sekolah adalah tempat untuk outsourcing pembentukan mental anak,” ungkapnya.
Philip melihat adanya persepsi yang melekat dalam benak sebagian orang tua bahwa sekolah bertanggung jawab penuh atas pembentukan karakter anak-anak mereka. Padahal, orang tua memegang peran kunci dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan, terutama pada anak-anak di bawah usia remaja.
“Untuk anak di bawah usia ABG, pengaruh orang dewasa sekitarnya jauh lebih kuat. Jadi apa pun yang dilihat itu langsung ditiru,” katanya. “Katakanlah, orang tuanya sudah biasa dengan kata-kata kasar, maka itu yang ditiru duluan.”
Sementara untuk anak-anak usia SMP dan SMA, Philip menilai apa yang dilakukan SMPN 3 Sungguminasa dengan ekskul Agen Perubahan dapat membawa perubahan positif pada perilaku pelajar.
“Karena mereka jauh lebih rentan terhadap tekanan teman sebaya (peer pressure). Kalau temannya banyak yang menggunakan set perilaku tertentu, mereka akan lebih cenderung untuk menuju ke perilaku itu.”
Tokoh pendidikan sekaligus ketua Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo, berharap sekolah dapat lebih peka dan lebih memahami kegentingan masalah perundungan di sekolah. Pasalnya, masih ada institusi pendidikan yang tidak menangani isu bullying dengan serius.
“Jangan-jangan kita ini sudah terlalu sibuk dengan pikiran sendiri, sehingga melupakan bahwa anak-anak kita itu sedang belajar kehidupan loh di sekolah,” ungkapnya. “Kehidupan macam apa yang mau diberikan oleh sekolah ketika seorang anak sungguh-sungguh tidak bisa merasa aman, apalagi nyaman.”
Henny menyambut baik peraturan menteri baru yang diterbitkan Agustus lalu untuk lebih merinci aturan pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah. Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan itu menggantikan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 yang mengatur hal serupa.
Meski demikian, kebijakan saja tidak cukup, kata Henny. “Apa pun kebijakan yang sebetulnya ada, kalau memang tidak dirasa penting oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini mungkin sekolah, guru, orang tua, maka ya tidak jalan juga.”
Menurut penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 terhadap pelajar usia 15 tahun di Indonesia, sebanyak 15% mengaku sering menjadi target perundungan. Dalam studi yang sama, 41% responden mengaku dibully dengan berbagai cara beberapa kali dalam sebulan, 19% dikucilkan, 22% diejek, 14% diancam pelaku, 22% mengaku barang milik mereka diambil atau dirusak, 18% dipukul atau didorong pelaku dan 20% digosipkan dengan kabar tidak menyenangkan.(VOA/03)