Caption:Para petugas polisi tampak melindungi diri mereka dengan tameng ketika melakukan pengamanan dalam aksi unjuk rasa penentangan terhadap Undang-undang Omnibus di Jakarta, pada 13 Oktober 2020. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)
Pemerintah memastikan bahwa jabatan sipil yang akan diisi oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tetap terbatas.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas memastikan jabatan sipil yang akan diisi oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tetap terbatas. Pada saat yang sama, aturan bagi aparatur sipil negara menempati jabatan di TNI dan Polri yang masih dalam pembahasan.
Kedua hal tersebut nantinya akan tercantum dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang mengizinkan anggota TNI dan Polri mengisi jabatan sipil dan sebaliknya, yang sedang digodok oleh pemerintah.
Azwar Anas menambahkan pengisian jabatan sipil oleh personel TNI dan Polri akan disesuaikan dengan kebutuhan instansi yang bersangkutan.
“Terkait dengan TNI/Polri masih selaras dengan PP (Nomor) 11/2017, di mana TNI ada batasan untuk menempati posisi di ASN (apartur sipil negara). Begitu juga terkait dengan Polri, bisa di jabatan tertentu dan instansi pusat tertentu. Cuma yang sekarang (dibahas) adalah ASN boleh menempati posisi di TNI/Polri, belum diatur sebelumnya,” katanya.
Menurutnya, ia dalam waktu dekat akan bertemu Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membicarakan jabatan-jabatan mana saja yang memungkinkan ditempati oleh aparatur sipil negara.
RPP yang akan membolehkan anggota TNI/Polri duduk di jabatan sipil memicu polemik dan penolakan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Mereka menilai kondisi itu akan mirip dengan Dwifungsi ABRI saat Orde Baru.
Namun, Azwar menjelaskan jabatan sipil yang akan dipegang oleh anggota TNI/Polri tetap mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri. Pasal 47 UU TNI misalnya menyebutkan prajurit aktif boleh menempati jabatan pada sejumlah kementerian dan lembaga, seperti kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, intelijen negara, SAR nasional, dan narkotika nasional.
Namun, penempatannya harus berdasarkan permintaan dari pimpinan departemen dan lembaga pemerintah terkait.
Dalam prosesnya, anggota TNI/Polri bakal menempati jabatan sipil akan diseleksi oleh tim profesi ahli. Jabatan yang dibolehkan hanya di tingkat pusat dan setara jabatan eselon I. Setiap personel juga akan disesuaikan dengan kualifikasi yang dibutuhkan.
Menanggapi isu tersebut, Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menolak RPP soal anggota TNI/Pilri dapat mengisi jabatan sipil. Dia mengingatkan tuntutan dari lahirnya era reformasi adalah menghilangkan dwi fungsi ABRI.
Dia menegaskan tugas pokok dari TNI/Polri adalah menjaga pertahanan dan keamanan negara.
“Karena itu kita ingatkan lagi amanatnya reformasi. Jangan sampai teman-teman TNI/Polri justru keluar dari tugas dan fungsi utamanya membangun pertahanan, keamanan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan RPP Manajemen ASN yang membolehkan TNI/Polri mengisi jabatan sipil bukan hal baru. Dia menekankan ada batasannya, yakni anggota TNI/Plri hanya boleh menempati eselon I di level pemerintah pusat.
Dia mengklaim ada posisi-posisi sipil yang memang membutuhkan anggota TNI/Polri.
Iksan Yosari dari Setara Institute mengatakan rencana pemerintah menempatkan prajurit TNI aktif di jabatan sipil kurang tepat karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI ala orde baru.
Menurutnya pengaturan tentang penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil terlalu luas dan tanpa pertimbangan yang matang.Tidak ada faktor yang mendesak tambahnya sehingga harus diberlakukan prajurit TNI aktif di jabatan sipil.(VOA/03)