“Ketika kau ingin hidup, jangan kau rusak tempat kau hidup”

Berita Utama97 views

Caption: Dua warga memancing ikan dari perahu mereka di Danau Lindu, Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 22 Juni 2023. Selain berprofesi sebagai petani/pekebun, sebagian warga Lindu adalah nelayan. (Taufan Bustan/BenarNews)

Bagi warga adat To Lindu di Sulawesi Tengah, hutan adalah napas, sehingga mereka menjadi penjaga terdepan kelestariannya.

Fixsnews.co.id- Setiap pagi, Abter Tendesabu mengenakan sepatu botnya, mengambil parang, dan pergi ke kebunnya di hutan.

Sekitar 300 meter berjalan meninggalkan rumahnya, dia mendengar suara tonggeret, serangga besar seperti lalat yang menandakan bahwa laki-laki 40 tahun itu telah memasuki pintu rimba.

“Kalau sudah dengar suaranya berarti kita sampai di hutan,” kata Abter, warga Desa Langko, Kecamatan Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

“Suara Tonggeret ini juga sebagai penghilang sunyi saat kita lagi di hutan, coba dengar bunyinya bersahut-sahutan,” sambung Abter.

Baca Juga;Tangerang Raya Dalam Pusaran Sampah, Sudah Sampai Mana Kebijakan?

Coldplay Berikan Bantuan Kapal Penyedot Sampah Kepada Pemkab Tangerang

Abter, adalah salah satu dari ribuan warga Lindu yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.

Tetapi tidak seperti banyak petani lain di Indonesia, yang sering merombak hutan untuk pertanian, Abter dan warga Lindu lainnya memiliki pendekatan yang berbeda. Mereka mengikuti seperangkat aturan adat yang mengatur penggunaan sumber daya alam mereka.

Aturan-aturan tersebut, yang ditegakkan oleh dewan adat yang disebut Totua Ngata, membagi hutan menjadi empat zona, masing-masing dengan tingkat akses dan pengelolaan yang berbeda, kata Ketua Majelis Adat Lindu, Nurdin Yabu Lamojudu.

Zona pertama, Wanangkiki, dianggap sakral dan terlarang. Zona kedua, Suakantodea, memungkinkan pemanenan terbatas dari beberapa tanaman dan kayu. Zona ketiga, Pangale, digunakan untuk perladangan berpindah, di mana tanaman dirotasi untuk menjaga kesuburan tanah. Zona keempat, Pobondea, Popampa, dan Polida, adalah tempat orang Lindu dapat menanam tanaman utama mereka, seperti kakao, kopi, buah-buahan, dan sayuran.

Aturan-aturan tersebut juga berlaku untuk Danau Lindu yang menghasilkan ikan dan irigasi bagi masyarakat. Danau ini merupakan bagian dari Taman Nasional Lore Lindu, kawasan lindung seluas 217.991 hektar yang ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada tahun 1977.

Abter Tendesabu memperlihatkan tanaman fanili yang tumbuh subur di kebun miliknya di Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 22 Juni 2023. Sejak dulu, To Lindu sudah tahu mana tanaman yang tidak merusak hutan namun bisa memberikan penghasilan bagi mereka. Selain cokelat atau kakao, mayoritas To Lindu juga menggandalkan tanaman fanili. [Taufan Bustan/BenarNews]
Lindu dan hutan: kesatuan napas

Orang Lindu telah hidup harmonis dengan hutan dan danau selama berabad-abad, jauh sebelum Taman Nasional didirikan.

“To Lindu dan hutan tidak bisa dipisahkan. Ini sudah menjadi satu kesatuan napas!” Tegas Abter.

Ketika hutan dirusak, To Lindu percaya nyawa mereka pun terancam. Tidak hanya bagi pribadi namun juga seluruh anggota keluarganya.

“Ini pernyataan yang pasti disampaikan oleh seluruh To Lindu ketika ditanya soal hutan,” kata warga Desa Tomado, Wilfred Kujere.

Aturan adat tersebut bukan sekadar saran, tapi didukung oleh sanksi, yang dikenal dengan sebutan givu, yang berbentuk mulai dari denda seekor kerbau atau uang tunai hingga pengusiran dari Lindu. Sanksi tersebut dijatuhkan oleh Totua Ngata, yang terdiri dari tetua dan perwakilan dari lima desa di Lindu: Puroo, Langko, Tomado, Anca, dan Olu.

“Terakhir itu givu kerbau dan tanam kembali pohon karena ada warga buka lahan perkebunan di luar zonasi. Ini kejadian tiga tahun lalu,” kata Camat Lindu, Sebulon Satinadja.

Totua Ngata juga bekerja sama erat dengan pemerintah, dari tingkat dusun hingga kecamatan, untuk memastikan bahwa aturan adat dihormati dan ditegakkan. Aturan-aturan tersebut juga diajarkan kepada anak-anak di sekolah dasar, sehingga mereka dapat belajar nilai-nilai nenek moyang mereka sejak usia dini.

Hasilnya adalah hutan yang terawat baik yang memberikan banyak manfaat bagi orang Lindu, seperti air bersih, makanan, obat-obatan, dan pendapatan. Hutan juga mendukung keanekaragaman hayati.

Seorang warga menaiki perahu kayu di Danau Lindu, Desa Tomado, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 21 Juni 2023. Selain hutan, majelis adat Lindu juga menjaga kelestarian Danau Lindu dengan aturan-aturan adat. [Taufan Bustan/BenarNews]

 

Dibayangi ancaman

Cara hidup orang Lindu, namun demikian, berada dalam ancaman, termasuk dari penebangan sembarangan, perambahan tanah, dan perburuan liar.

Ancaman itu antara lain “pencurian pelbagai hasil hutan, mulai dari pencurian rotan, kayu, sampai pencurian satwa-satwa endemik yang dilindungi di Taman Nasional Lore Lindu,” kata Abter.

Pelaksana tugas kepala balai taman nasional itu, Hasmuni Hasman tahun lalu mengatakan bahwa kerusakan hutan di Sulawesi Tengah terjadi akibat maraknya pembalakan dan penambangan liar serta akibat perubahan tata ruang pada kawasan hutan.
Luas kawasan hutan di Sulawesi Tengah yang masuk kategori kritis mencapai 264.874 hektar, ujarnya.

“Kondisi tersebut terjadi baik hutan yang berada dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu maupun di luar kawasan Taman Nasional Lore Lindu,” kata Hasmuni seperti dikutip Antara.

Namun, Abter mengatakan patroli rutin dari petugas taman nasional dan pemantauan terhadap aktivitas warga, serta hukum adat yang menjadi benteng terakhir di Lindu, berhasil meminimalisir perusakan hutan.

“Kami bersyukur hukum adat masih dipatuhi,” ungkap Abter.

Warga Lindu lainnya, Manya Rambangudu. menjelaskan apa yang dilakukan warga dengan menerapkan kearifikan lokal dalam upaya konservesi hutan pasti berbeda dengan cara yang dilakukan masyarakat adat lain di Indonesia.

Khususnya dalam zonasi penggunaan hutan, ia menilai, belum ditemukan hal yang sama di wilayah lain.

“Kita tidak membeda-bedakan, namun cara kami terapkan di Lindu saya pikir sangat istimewa karena bisa mencegah konflik antarwarga dan pemerintah terkait pengelolaan hutan dengan kearifikan lokal,” kata Manya.

Hubungan harmonis pemerintah – To Lindu

Syaiful Taslim, peneliti Karsa Institute, sebuah lembaga di Sulawesi Tengah yang fokus terhadap pelestarian hutan, mengatakan keberadaan taman nasional memang tidak jauh dari adanya konflik yang muncul akibat adanya kepentingan negara yang berbenturan dengan kepentingan masyarakat adat.

Namun di Sigi dan Poso yang masuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu, kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola hutan berjalan harmonis dengan negara, kata Syaiful.

“Di saat masyarakat adat mengelola hutannya secara hukum adat pemerintah ikut menjadi bagian di dalamnya, sehingga tidak menimbulkan konflik. Itulah yang terjadi di Lindu saat ini,” paparnya.

Sebagai komunitas adat yang kuat di Sigi, warga Lindu tidak memberlakukan cara-cara kekerasan, baik itu dalam bentuk perampasan yang harus menumpahkan darah atau cara-cara buruk lainnya.

“Mereka mengedepankan sebuah transaksi yang harus melalui sidang majelis adat sehingga bisa memiliki keabsahan kuat,” tegas Syaiful.

Warga percaya hak kepemilikan atas sumber daya alam yang dibagi dalam dua kategori – hak kepemilikan bersama dan hak kepemilikan individu.

Hak kepemilikan bersama pengelolaan dan hasilnya dibagi secara merata. Sedangkan hak kepemilikan individu sepenuhnya hak pengelolaan dan hasilnya dinikmati secara individu pula.

“Sistem ini berjalan sampai sekarang. Dan To Lindu menikmatinya sehingga tidak ada konflik di antara mereka,” tandas Syaiful.

Landscape Danau Lindu terlihat dari atas kapal penyeberangan di Desa Langko, Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, 22 Juni 2023. Danau kedua terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, dikelilingi lima desa, yaitu Desa Anca, Tomado, Langko, Puroo, dan Desa Olu. [Taufan Bustan/BenarNews]
Mohamad Irwan, Bupati Sigi, kabupaten yang mencakup Taman Nasional Lore Lindu, mengatakan bahwa praktik pengelolaan hutan mereka adalah karunia yang luar biasa.

“To Lindu memang kental dengan adat. Makanya hutan di sana bisa terjaga dengan baik karena ada aturan-aturan adat yang dijunjung tinggi. Dan masyarakatnya takut melanggar itu,” katanya.

Irwan menjelaskan, 75 persen wilayah Kabupaten Sigi masuk kawasan hutan dan sebagian besar adalah hutan konservasi dan hutan lindung yang dikelola oleh Balai Besar Taman Nasional.

“Secara umum masyarakat di Sigi tahu bagaimana mengelola hutan. Aturan mana yang perlu dipatuhi dan tidak. Namun memang masih ada saja yang mengabaikan itu sehingga dapat sanksi hukum,” ungkapnya.

Ketua Majelis Adat Lindu, Nurdin Yabu, menjelaskan, masyarakat memiliki filosofi yang kuat tentang hutan, yaitu “Ginoku Katuhuaku” yang berarti tempat ini adalah kehidupanku.

“Sehingga ketika kau ingin hidup, jangan kau rusak tempat kau hidup,” ujarnya. (BenarNews/03)