Masyarakat Sipil Kritik UU KIA Belum Lindungi Perempuan Adat dan Pekerja Informal

Nasional6 views

Caption:Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah profesi yang berada dalam posisi rentan, terutama di Indonesia. (Foto: REUTERS/Zainal Abd Halim)

Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil dan Gender mengapresiasi DPR atas pengesahan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi UU pada 4 Juni lalu. Namun jaringan itu menilai muatan dalam UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) itu belum melindungi perempuan pekerja informal dan perempuan adat.

JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Sejumlah organisasi masyakarat sipil yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Kebijakan Adil dan Gender, Sabtu (29/6), menilai Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) belum melindungi perempuan adat dan pekerja perempuan di sektor informal, termasuk para pekerja rumah tangga (PRT).

Padahal jumlah tenaga kerja di sektor informal menurut mereka telah mencapai sekitar 82,67 juta orang atau 55,9 persen. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja sektro informal di Indonesia bertambah dalam lima tahun terakhir. Pada Februari 2019 jumlahnya masih 74,09 juta orang (57,27 persen dari total penduduk bekerja), kemudian pada Februari 2024 naik menjadi 84,13 juta orang (59,17 persen dari total penduduk bekerja.

Jumisih dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah tangga (Jala PRT) dan Federasi Serikat Buruh (FSB) mengatakan meski UU KIA membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu pekerja menjadi paling lama enam enam bulan, tetapi hal itu tidak mudah diimplementasikan.

Para buruh perempuan di sebuah pabrik rokok di Yogyakarta. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Terutama untuk para buruh perempuan yang berstatus buruh kontrak, alih daya (outsourcing), buruh borongan, atau buruh harian lepas. Bagi para buruh perempuan dengan status seperti itu, kata Jumisih, saat ini pun mereka tidak bisa mendapatkan hak cuti melahirkan tiga bulan.

“Hubungan kerja yang tidak pasti itu membuat buruh perempuan selama ini sulit mengakses hak cuti melahirkan. Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan besar bagi kami pada saat UU KIA ini diketok palu, bagaimana impelementasinya,” kata Jumisih dalam jumpa pers di Jakarta, Sabtu (29/6).

Dia menekankan penerapan cuti melahirkan enam bulan berpotensi mendorong pihak perusahaan meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil. Bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.

Organisasi yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil dan Gender, antara lain Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Koalisi Perempuan Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan, PEREMPUAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Barito Timur, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Buruh perempuan sulit mendapat cuti

UU KIA menyebutkan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Selama masa cuti tersebut, mereka berhak atas upah yang dibayar penuh untuk tiga bulan pertama dan bulan keempat, kemudian 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.

Menurut Jumisih, pada kenyataannya selama ini untuk mendapatkan cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh. Padahal, 90 persen buruh perempuan belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.

Jumisih juga menjelaskan cuti melahirkan bukan hanya sulit didapatkan oleh buruh perempuan yang bekerja di perusahaan, tetapi juga sulit didapatkan oleh para pekerja rumah tangga. Selama ini, tambahnya, para pekerja rumah tangga juga sulit mendapatkan cuti melahirkan. Bahkan seringnya jika ada pekerja rumah tangga melahirkan dikondisikan untuk mundur.

Yeryana dari PEREMPUAN AMAN Barito Timur menilai UU Kesejahteraan Ibu dan Anak tidak mengatur soal kesejahteraan ibu-ibu yang tidak bekerja di sektor formal.

“Apakah kesejahteraan itu hanya untuk ibu-ibu yang bekerja formal? Ibu-ibu yang bekerja di sektor swasta? Apakah kami perempuan (yang) ada di kampung bukan ibu yang layak disejahterakan begitu? Karena kami tidak punya kontrak kerja, kami tidak punya SK, dan sebagainya?” tanya Yeryana.

Dia menambahkan jika bahasannya menyejahterakan ibu dan anak, harus ada keseimbangan hak kepada perempuan adat. Sebab perempuan adat juga melahirkan generasi yang sama dalam bangsa Indonesia.

Menurut Yeryana, perempuan adat mungkin tidak minta hak cuti melahirkan, tetapi bagaimana kebijakan negara ini bisa menjamin perempuan adat bisa hidup sehat sesuai pengetahuan sebagai perempuan adat.

Harmonisasi UU KIA

Karena sudah disahkan, Nanda dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengungkapkan pemerintah harus segera mengharmonisasi UU KIA dengan peraturan terkait, seperti UU Kesehatan, UU Perkawinan, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan aturan turunan lainnya agar tidak tumpang tindih.

Selain itu, ujarnya, harus ada pembuatan peraturan presiden untuk membangun mekanisme koordinasi kementerian/lembaga negara lintas sektor dan pemerintah daerah yang jelas serta terintegrasi

“Undang-undang (Kesejahteraan Ibu dan Anak) ini juga tidak memperhitungkan bagaimana perempuan bisa membuat keputusan yang terbaik untuk dirinya sesuai dengan kebutuhan. Maka kami menyoroti karena ini sudah disahkan, harus segera dicari dalam (aturan) turunannya kondisi-kondisi rentan di mana pemerintah atau negara bisa hadir melindungi perempuan,” tuturnya.

Kementerian Ketenagakerjaan, lanjutnya, juga harus berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk mengawasi perusahaan-perusahaan agar mematuhi kewajiban yang diatur dalam UU KIA dan tidak memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan, serta memastikan tersedianya layanan ramah ibu dan anak di tempat kerja dan fasilitas publik.

Kemen PPPA memastikan aturan turunan dari UU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) segera disusun.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Kesetaraan Gender Indra Gunawan menjelaskan terdapat tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan satu Peraturan Presiden yang akan diterbitkan untuk pelaksanaan UU KIA.

Dia memastikan pemerintah akan melibatkan pihak-pihak terkait yang mewakil publik, untuk turut memberi masukan dalam penyusunan aturan turunan tersebut.(VOA/03)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan