Caption:Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jumat (26/1) menjelaskan pasal di UU Pemilu yang memperbolehkan Presiden untuk berkampanye. (Foto: Biro Setpres RI)
Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa presiden boleh memihak dan berkampanye dalam pemilu memicu pro dan kontra. Banyak yang menilai, pernyataan Jokowi itu berpotensi merusak demokrasi.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Presiden Joko Widodo kembali menjelaskan terkait pernyataannya pada beberapa waktu lalu yang menyebutkan bahwa seorang presiden dan pejabat negara boleh memihak kepada kepada peserta pemilihan umum (pemilu) tertentu dan berkampanye dalam pemilu.
Sambil membawa kertas berukuran besar, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (26/1) Jokowi menjelaskan bahwa pernyataannya pada waktu itu adalah untuk menjawab pernyataan dari awak media.
“Itu kan ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak. Saya sampaikan ketentuan dari aturan perundang-undangan. Ini saya tunjukin, UU no 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Jelas. Jadi yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU Pemilu. Jangan ditarik kemana-mana,” ungkap Jokowi.
Selain itu, mantan gubernur DKI Jakarta ini juga menjelaskan di dalam pasal 281 tercantum bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi sejumlah ketentuan, termasuk tidak menggunakan fasilitas negara, kecuali yang menyangkut masalah pengamanan.
“Sudah jelas semuanya kok. Jadi sekali lagi jangan ditarik kemana-mana. Jangan diinterpretasikan kemana-mana. Saya hanya menyampaikan ketentuan aturan perundang-undangan karena ditanya,” tegasnya.
Pakar Hukum Kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini dalam konferensi pers Jaga Pemilu di Jakarta, Kamis (25/1) mengatakan bahwa pernyataan Jokowi tersebut bisa menimbulkan bias yang sangat besar di mata publik, apalagi mengingat Jokowi sedang menjabat sebagai presiden.
“Yang boleh itu adalah individu Jokowi yang sedang menjabat (presiden) yang kemudian dia mengambil cuti, tapi bukan presidennya. Karena kalau presidennya itu di UU pemilu jelas menyatakan dia tidak boleh menunjukkan keberpihakan,” ungkap Titi.
Titi menjelaskan, pada dasarnya jabatan seorang presiden dan wakil presiden adalah jabatan yang tidak boleh berpihak pada pihak manapun dalam pemilu. Hal tersebut tertera dalam UU Pemilu di pasal 283 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional serta Aparatur Sipil Negara (ASN) lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan pada peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye.
Larangan itu, katanya, termasuk pertemuan, ajakan, himbauan, seruan atau pemberian barang kepada ASN dalam lingkungan unit kerja, anggota keluarga dan masyarakat.
“Lalu bagaimana negara menerjemahkan ini? salah satunya kita ambil contoh ASN. Mereka tidak boleh memihak, sampai-sampai berfoto pun dibuat susah. Tidak boleh ada simbol ini, dan itu,” imbuhnya.
Larangan itu, menurut Titi, juga berlaku pada presiden. Ketika seorang presiden ingin diikutsertakan dalam sebuah kampanye di dalam pemilu, menurut Titi, dia harus mengajukan cuti di luar tanggungan negara.
“Kalau dia tidak cuti, kalau merujuk kepada bagaimana kita memproteksi ASN, (berarti) tidak boleh ada gesture, tidak boleh simbol, tidak boleh aneh-aneh. Karena presiden pada saat ini sedang tidak cuti, maka larangan yang berlaku bagi ASN juga berlaku bagi presiden. Jadi kalau mau ada gesture dan segala macam, ini sederhana, maka ya cuti dong. Kira-kita begitu aturannya,” tegas Titi.(VOA/03)