Jakarta, Fixsnews ,- Pengamat Politik UKI, Dr. Sidratahta Mukhtar, M.Si, menilai terdapat kesimpangsiuran pemahaman masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami keinginan pemerintah dalam pembuatan RUU Omnibus Law. Hak Asasi Manusia tentang hak ketenagakerjaan menjadi isu menarik dan menuai kritik.
“Pemerintah melakukan singkronisasi, harmonisasi undang-udang di berbagai aspek untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengefektifkan regulasi,” ujar Sidratahta saat talkshow di Kampus Ubhara, Jakarta, Kamis (14/5/2020).
Pengefektifan ini lanjut Sidratahta untuk mengatasi banyaknya hambatan regulasi yang tumpang tindih antara kebijakan pusat dan daerah yang berpotensi bertentangan dengan kebijakan nasional yang dicanangkan pemerintah.
“Pemerintah akan bekerja maksimal, salah satunya melalui visi pemerintah terkait dengan efektifitas regulasi dan pemangkasan birokrasi,” lanjutnya.
Pengamat politik yang juga Dosen UKI tersebut meyakinkan bahwa tahap singkronisasi akan mendorong pemerintah pusat dan daerah bekerja lebih maksimal untuk mempercepat pembangunan.
Namun lanjutnya, di sisi lain ada masyarakat yang menilai Omnibus Law hanya untuk melindungi investor dan kepentingan pihak tertentu. HAM dan kesejahteraan buruh cenderung diabaikan. Kondisi tersebut diperkuat dengan adanya provokasi dan temuan adanya pasal yang membahas upah minimum, pemutusan kerja, izin untuk tenaga kerja asing.
Menurut Sidratahta, kebijakan Omnibus Law bukan kebijakan sektoral yang hanya mementingkan pihak tertentu. “Hal ini harus dilihat secara integral dari pembangunan nasional, termasuk adanya jaminan terhadap buruh, HAM, lembaga swadaya yang mengarah pada dukungan terhadap jaminan sosial, health security, dan berbagai kebutuhan pekerja yang dikhawatirkan dapat melemahkan posisi mereka akibat adanya Omnibus Law,” imbuhnya.
“Internalisasi UU HAM perlu diselaraskan dengan aparat keamanan untuk mengawasi adanya praktek pelanggar HAM oleh perusahaan,” sambungnya lagi pada talkshow dengan moderator Wakil Rektor IV Ubhara, Dr. Diah Ayu Permatasari, ST, S.IP, M.IR itu.
Ia meyakinkan kembali, Omnibus Law telah mengatur akan perlindungan jaminan pekerja, konsekuensi adanya investasi yang mengedepankan prinsip hukum dan HAM seperti penggunaan tenaga kerja, perlindungan hukum dan kesejahteraan standarisasi gaji.
Selain membahas Omnibus Law, menanggapi pertanyaan Moderator terkait kebijakan kartu Pra Kerja di tengah Pandemi Covid-19, Sidratahta menjelaskan, Kartu pra kerja merupakan alternatif kebijakan untuk melahirkan etos kerja yang lebih produktif, dirinya meyakini setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak bertujuan untuk melemahkan masyarakat.
“Kartu pra kerja harus dilihat sebagai desain pembangunan jangka panjang, seperti mengatasi bonus demografi di Indonesia. Yang perlu masyarakat pahami adalah adanya pro dan kontra kebijakan pemerintah dalam demokrasi adalah wajar. Selain itu, kebijakan pemerintah tidak hanya berfokus jangka pendek namun telah dipertimbangkan jangka panjang yang tujuannya membangun perekonomian nasional serta mengantisipasi adanya dampak ledakan demografi di Indonesia,” tutupnya. (02)