ILUSTRASI – Seorang perempuan membeli oleh-oleh di Pasar Inpres Kebun Sayur, pasar kerajinan tradisional, di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 13 Juli 2024. (Yasuyoshi CHIBA / AFP)
Sejumlah pakar menyarankan kepada pemerintah untuk menangguhkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang direncanakan akan berlaku pada 1 Januari 2025. Ini dikarenakan beban masyarakat, terutama kelas menengah, yang akan semakin berat.
JAKARTA, Fixsnews.co.id—
Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan lalu melaporkan pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan-III 2024 dan hanya tumbuh 4,91 persen secara tahunan, serta minus 0,48 persen dari kuartal ke kuartal lainnya. Dalam konferensi pers 5 November lalu, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan pertumbuhan paling lambat terjadi di sektor pakaian dan alas kaki, juga pada jasa perawatan, perumahan, kesehatan dan pendidikan.
Meskipun demikian konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi triwulan-III 2024 dengan kontribusi 53,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan harga kebutuhan pokok seperti BBM, minyak goreng dan pangan; serta jatuh temponya pajak, cicilan dan kredit ditengarai membuat masyarakat sangat hati-hati.
Baca Juga:Terbitkan PMK 59/2024, Pemerintah Permudah Pembebasan PPN dan PPnBM Kepada Perwakilan Negara Asing
Kisah Agen Perisai BPJS Ketenagakerjaan Menjadi Pahlawan yang Lindungi Pekerja Indonesia
Ekonom: Kenaikan PPN Akan Tambah Beban Masyarakat
Ekonom CELIOS Nailul Huda mengatakan semua indikator itu menunjukkan beban masyarakat yang terlalu berat saat ini, dan sangat tidak pada tempatnya jika beban ini ditambah dengan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN).
“Ini yang kita sebut saat ini bebannya terlalu berat. Memang kalau kita lihat pemerintah ini butuh uang untuk menambal defisit anggaran, membiayai berbagai programnya Prabowo-Gibran, dan memang paling mudah bagi mereka (pemerintah) adalah dengan cara menaikkan tarif PPN, tapi sayangnya kenaikan tarif PPN akan berdampak kepada (penurunan) daya beli,” ungkap Nailul ketika berbincang dengan VOA.
Nailul pun mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mencari pos penerimaan negara lainnya seperti dari sektor tambang, yang dinilainya masih belum optimal dalam hal penerimaan negara. Atau dengan mengejar pada pengemplang pajak, yang berdasarkan pernyataan Hashim Djojohadikusumo mencapai Rp300 triliun.
“Jadi ada yang pengemplang pajak yang tidak bayar pajak sebesar Rp300 triliun dibiarkan, tapi di sisi lain PPN dinaikkan tarifnya. Di mana itu dampaknya hanya menambah sekitar Rp50 triliun-Rp70 triliun saja, kan lebih gede mengejar dari pengemplang pajak tadi,” tuturnya.
Tolak Kenaikan PPN, Masyarakat Gelar Gerakan Hidup Hemat Hingga Tidak Belanja
Meskipun di atas kertas kenaikan tarif PPN hanya satu persen, namun harga-harga barang diperkirakan akan naik hingga sembilan persen. Memprotes hal ini, masyarakat telah mulai melakukan berbagai gerakan, mulai dari seruan hidup hemat, petisi terbuka hingga aksi boikot belanja.
Nailul pesimis dengan dampak protes semacam itu, karena dengan sama sekali tidak belanja, maka produksi produk lokal akan merosot dan berdampak pada pelaku UKM. Ia menyarankan aksi pemboikotan dilakukan terhadap barang-barang impor saja.
“Kalau masyarakat ada gerakan untuk tidak konsumsi saat ini, kalau untuk barang impor OK, tapi untuk barang lokal saya tidak menyarankan karena ketika tidak belanja sama sekali otomatis perekonomian akan lesu, dan yang dirugikan pelaku usaha, ketika pelaku usaha rugi ya balik lagi korbannya masyarakat lagi,” jelasnya.
Kapan Waktu Yang Tepat Menaikkan PPN?
Diwawancarai secara terpisah, ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal menyarankan pemerintah menangguhkan kenaikan PPN hingga pulihnya kondisi ekonomi masyarakat kelas menengah.
“Yang jelas bukan 2025. Lalu kapan? Itu ketika kelas menengahnya sudah naik lagi dari sisi spendingnya. Terhadap total konsumsi di Indonesia, kelas menengah itu (menyumbang) 84 persen, ketika mereka turun spendingnya akan mempengaruhi kemana-mana termasuk ke sektor produksi, industri. Jadi ketika PPN dikenakan itu dampaknya akan seperti itu. Kapan dia bisa dikenakan? Nanti ketika sudah bagus purchasing power-nya, kembali meningkat paling tidak seperti sebelum pandemi. ini kondisinya masih jauh di bawah kondisi pra pandemi,” jelasnya.
APINDO Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Kenaikan PPN
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyerukan pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.
“Meskipun langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, penerapannya berpotensi memberikan tekanan serius pada daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang saat ini masih dalam tahap pemulihan. Kenaikan tarif ini dinilai dapat memperburuk perlambatan konsumsi domestik, yang merupakan kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia,” ungkap Shinta lewat pesan tertulisnya kepada VOA.
Kenaikan PPN, tambah Shinta tidak saja berdampak pada meningkatnya biaya produksi dan kenaikan harga barang dan jasa, tetapi juga pada sub-sektor manufaktur yang sedang mengalami penurunan indeks selama empat bulan berturut-turut.
“APINDO juga melihat bahwa penerapan PPN 12 persen dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi di kuartal-kuartal awal setelah kebijakan ini diberlakukan. Penurunan konsumsi domestik akibat kenaikan harga barang dan jasa dikhawatirkan akan berdampak negatif pada pendapatan negara dari sektor lain, seperti Pajak Penghasilan (PPh), karena aktivitas ekonomi melambat. Selain itu, kebijakan ini juga berisiko menciptakan ketimpangan yang lebih besar di masyarakat, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang paling terdampak oleh kenaikan harga kebutuhan pokok,” jelasnya.
Shinta mendorong pemerintah untuk berdialog intensif dengan dunia usaha untuk memastikan pemberlakuan kebijakan yang tepat, yang mencakup pemberian insentif fiskal hingga optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNPB), carbon trading, dan lainnya. (VOA/03)