Prof. DR, K.H Quraish Shihab Soal Jilbab dan Batasan Aurat Perempuan

Jakarta, fixsnews.co.id – Prof Muhammad Quraish Shihab telah mengulas masalah kerudung dan batas aurat perempuan dalam bukunya " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat". Intelektual muslim dalam ilmu-ilmu Al-Quran ini telah menyajikan pendapat ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan ini.

Selain itu Quraish Shihab pun mengutip pandangan ulama kontempoter, Muhammad Thahir bin
Asyur. Dia adalah seorang ulama besar dari Tunis, yang diakui juga otoritasnya dalam bidang ilmu
agama. Dalam Maqashid Al-Syari'ah Muhammad Thahir menulis sebagal berikut:
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebagai
adat– untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.

Ia kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang
diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah
agar mengulurkan jilbabnya. Tulisnya:
“Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini
adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang
tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.”

Menurut Quraish, dalam kitab tafsirnya Muhammad Thahir bin Asyur juga menulis bahwa : Cara
memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Tetapi
tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat itu yakni "agar mereka dapat dikenal (sebagai wanita Muslim yang baik) sehingga tidak digangu" (Tafsir At-Tahrir, jilid XXII, hlm. 10).

Tetapi bagaimana dengan ayat-ayat ini, yang menggunakan redaksi perintah ?
Jawabannya –yang sering terdengar dalam diskusi– adalah: Bukankah tidak semua perintah
yang tercantum dalam Al-Quran merupakan perintah wajib? Pernyataan itu, menurut Quraish
memang benar. Perintah menulis hutang-piutang (QS Al-Baqarah [2]: 282) adalah salah satu
contohnya.

Tetapi bagaimana dengan hadis-hadis yang demikian banyak? Jawabannya pun sama.
“Bukankah seperti yang dikemukakan oleh Bin Asyur di atas bahwa ada hadis-hadis Nabi yang
merupakan perintah, tetapi perintah dalam arti "sebaiknya" bukan seharusnya,” tulis QuraishShihab.

Memang, kata Quraish lagi, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali
wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. “Namun
dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung,atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka "secara pasti telah melanggar petunjuk agama,&quot tuturnya.

Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda
pendapat.

Namun demikian, kata Quraish lagi, kehati-hatian amat dibutuhkan, karena pakaian lahir dapat
menyiksa pemakainya sendiri apabila ia tidak sesuai dengan bentuk badan si pemakai. Demikian punpakaian batin. Apabila tidak sesuai dengan jati diri manusia, sebagai hamba Allah, yang paling
mengetahui ukuran dan patron terbaik buat manusia.

Quraish Shihab berpendapat ada baiknya digarisbawahi dua hal dalam masalah tersebut.
Pertama: Al-Quran dan Sunnah secara pasti melarang segala aktivitas –pasif atau aktif– yang
dilakukan seseorang bila diduga dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada lawan jenisnya. Di
sini tidak ada tawar-menawar.

 

Kedua, tuntunan Al-Quran menyangkut berpakaian –sebagaimana terlihat dalam surat Al-Ahzab
dan Al-Nur– yang dikutip di atas, ditutup dengan ajakan bertobat (QS Al-Nur [24]: 31) dan
pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang pada surat Al-Ahzab (33): 59.

Ajakan bertobat agaknya merupakan isyarat bahwa pelanggaran kecil atau besar terhadap
tuntunan memelihara pandangan kepada lawan jenis, tidak mudah dihindari oleh seseorang. Maka
setiap orang dituntut untuk berusaha sebaik-baiknya dan sesuai kemampuannya. Sedangkan
kekurangannya, hendaknya dia mohonkan ampun dari Allah, karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Pernyataan bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang –semoga– mengandung arti
bahwa Allah mengampuni kesalahan mereka yang lalu dalam hal berpakaian. Karena Dia Maha
Penyayang dan mengampuni pula mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan-Nya dan
tuntunan Nabi-Nya, selama mereka sadar akan kesalahan dan kekurangannya serta berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya. Wa Allahu A'lam.*