25 Tahun Pasca Reformasi, Kebebasan Berpendapat di Indonesia Belum Terjamin

Caption:Pengunjuk rasa memegang poster mantan presiden Suharto pada aksi di Jakarta 12 Mei 1998. Aksi protes mahasiswa yang menuntut reformasi membantu mengakhiri pemerintahan Suharto pada 21 Mei 1998 (VOA).

Seperempat abad sejak reformasi tahun 1998, kebebasan berpendapat di tanah air masih menghadapi tantangan besar. Represi hingga pembungkaman masih mewarnai praktik sakral demokrasi tersebut.

Fixsnews.co.id— Bulan Mei menjadi pengingat sejarah reformasi Republik Indonesia. Setelah terbelenggu rezim otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto selama masa Orde Baru, bangsa Indonesia memasuki babak baru demokrasi dengan jaminan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, pada praktiknya, hal itu masih diwarnai aksi intimidasi dan upaya pembungkaman.

Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Hans Giovanny Yosua mencatat tiga pola pembungkaman berekspresi di Indonesia. Yang pertama, represi secara langsung saat terjadi unjuk rasa di lapangan; kedua, serangan siber berupa peretasan dan stigmatisasi kritikus oleh buzzer; dan ketiga, penggunaan instrumen hukum untuk pemenjaraan ekspresi, yang kerap disebut sebagai kriminalisasi atau judicial harassment.

“Itu menunjukkan bahwa memang pejabat publik kita belum terbiasa dengan kebebasan berekspresi. Pejabat publik kita belum terbiasa dengan kritik. Jadi, betul, secara teoritis kita sudah ada di alam pemerintahan yang demokratis, tapi rupanya yang mengisi alam pemerintahan yang demokratis itu masih belum terbiasa dengan kritik, masih pola-pola otoritarian yang digunakan,” kata Hans.

Belum lama ini, Hans juga melihat upaya kriminalisasi dilakukan terhadap seorang pemuda asal Lampung, Bima Yudho Saputro, yang mengkritik kinerja pemerintah provinsi Lampung melalui video TikTok-nya yang viral di jagat maya. Ia dilaporkan ke polisi oleh seorang pengacara dengan tuduhan ujaran kebencian. Kasus itu sudah dihentikan Polda Lampung karena tidak memenuhi unsur pidana, setelah besarnya tekanan publik dan Jakarta. Bima tidak merepons permintaan wawancara VOA Indonesia.

Presiden Jokowi meninjau jalanan rusak di beberapa wilayah di Lampung saat melalukan kunjungan kerja pada Jumat (5/5). (Foto: Courtesy/Biro Setpres)

 

Menurut Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 2009 hingga 2020, ancaman atau kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat hampir selalu lebih tinggi daripada ancaman atau kekerasan oleh masyarakat. Meski trennya menurun, angka indeks itu masih berada di atas 50 persen.

Grafik Indikator Demokrasi Indonesia (courtesy: BPS).

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Mahesa, yang membidangi masalah hak asasi manusia, menyoroti pasal-pasal karet yang kerap dipersenjatai untuk mengintimidasi dan membungkam kritikus pemerintah. Instrumen hukum yang dimaksud adalah Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang mengandung pasal-pasal pencemaran nama baik hingga ujaran kebencian. Desmond sendiri pernah dijerat UU ITE pada 2016, ketika dilaporkan atas dugaan penistaan agama.

“Pejabat publik ya harus dikritik. Kenapa? Karena bagian dari public service [pelayanan masyarakat, red.]. Kalau public service-nya tidak maksimal, seperti yang dilakukan Bima, ya wajar kita bersuara. Kan harusnya begitu, untuk mengingatkan. Karena pejabat adalah memberikan service yang terbaik untuk masyarakat,” ujar Desmond.

Sementara itu, mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjadi politisi PDI-Perjuangan dan duduk di Komisi III DPR RI, Johan Budi, mengatakan bahwa kebebasan berpendapat tidak bersifat absolut. Ia mengatakan, “Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain.”

“Kamu harus bisa membedakan antara mengkritik dengan memfitnah, apalagi kemudian menghujat. Harus dibedakan. Jadi, kalau mengkritik kebijakan pemerintah, kebijakan pemerintah daerah ya harus dilindungi. Orang harus bebas menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan,” tukasnya.

Lembaga nirlaba internasional untuk memajukan demokrasi Freedom House hingga tahun 2023 masih menggolongkan Indonesia sebagai negara yang merdeka sebagian (partly free). Menurut skor kebebasan yang dirilisnya, Indonesia mengalami kemunduran dalam kurun enam tahun terakhir.

Freedom House mencatat, meski telah mengalami kemajuan demokrasi sejak jatuhnya Orde Baru seperempat abad yang lalu, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan besar, salah satu di antaranya adalah “penggunaan undang-undang pencemaran nama baik dan penistaan agama yang dipolitisasi.”

Grafik Skor Kebebasan Global Indonesia (courtesy: Freedom House). 

Lembaga itu juga menyoroti disahkannya UU KUHP akhir tahun lalu, yang melarang penghinaan terhadap lembaga pemerintah dan memperluas larangan penistaan.(VOA/03)