Perintahnya Dipatuhi, Bukti Kecintaan Rakyat dan Kewibawaan Presiden Soekarno

 

Jakarta, fixsnews.co.id – TUJUH puluh lima tahun yang lalu di bulan Ramadan, tepatnya hari Jumat, tanggal 17 Agustus 1945, di rumah Ir. H. Soekarno yang disapa oleh rakyatnya sebagai Bung Karno yang terletak di Jalan Pengangsaan Timur 56, Jakarta Pusat, ramai didatangi pemuda pemudi pejuang kemerdekaan.

Tidak banyak yang mengetahui peristiwa yang terjadi pukul 10.00 pagi itu. Saat itu, Bung Karno sedang terserang malaria. Bung Karno masih terbaring di dalam kamarnya, ditemani sang istri Fatmawati. Wajahnya terlihat pucat, tampak kurang istirahat dan sakit. Suhu tubuhnya naik hingga 40 derajat, badannya terasa menggigil.

Di dalam kamarnya, di masa yang sangat kritis itu dia menunggu sahabatnya Mohammad Hatta.Tiba-tiba para pemuda di luar rumah mulai berteriak. “Sekarang Bung, sekarang ! Bacakan proklamasi sekarang !”

Mendengar namanya disebut-sebut, Bung Karno tidak bergeming. Hingga akhirnya Bung Hatta datang. Dengan segera, Bung Karno memakai setelan jas putih-putih, sama seperti Hatta, lalu sama-sama keluar kamar. “Apa Bung Karno sudah siap ?” tanya Perwira PETA Latif Hendraningrat, dan dijawab anggukan saja olehnya.
Bung Karno lalu ke luar rumah. Di hadapannya sudah berdiri sekitar 500 orang.

Di belakangnya mengikuti Fatmawati dan Hatta. Suara nyaring para pemuda yang sebelumnya ramai, tiba-tiba menjadi hening.
Suasana tegang menghampiri semua orang, termasuk Bung Karno dan Hatta. Namun keduanya bisa menguasai diri. Masa-masa yang sangat ditunggu rakyat Indonesia selama ratusan tahun akhirnya datang.
Bung Karno lalu melangkah ke corong pengeras suara yang diambil para pejuang dari kantor radio Jepang. Dengan sangat tenang, Bung Karno dan Hatta atas nama rakyat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Pembacaan teks proklamasi itu disusul dengan pengibaran bendera merah putih di tiang bambu oleh Latif Hendraningrat. Bendera pusaka itu dijahit sendiri oleh Fatmawati dari potongan kain merah dan putih.

Tanpa diiringi musik orkestra, saat bendera merah putih sudah berkibar, para peserta upacara menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Detik-detik pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan berjalan dengan lancar aman. Setelah peristiwa yang menegangkan urat syaraf itu berakhir, Bung Karno kembali masuk kamar meneruskan istirahatnya yang sangat kurang. Begitu pula dengan Bung Hatta dan sejumlah peserta upacara lainnya.

“Aku jatuh sakit. Aku lelah. Aku terlalu sibuk bekerja demi Tanah Air kami dan demi kelangsungan hidupnya,” keluh Bung Karno seperti dikutip dalam otobiografinya berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, hal 270.

Besok paginya, Sabtu, 18 Agustus 1945, Bung Karno sudah bangun pagi-pagi sekali untuk memimpin rapat dengan para pemimpin bangsa yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Rapat itu memiliki agenda pengesahan dan penetapan Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia (RI).

Ada beberapa catatan penting yang mengundang perhatian masyarakat luas dalam sidang PPKI itu. Pertama, menyangkut Pembukaan UUD 1945 yang mengganti kata Allah dengan Tuhan, Hukum Dasar diganti menjadi Undang-Undang Dasar, dan dihapusnya syariat Islam dan kemanusiaan dalam Pasal 29 ayat 1.

Sebelum kalimat itu dihapus, pasal itu berbunyi Negara berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan. Setelah dihapus, pasal itu menjadi, Negara berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa. Pasal yang menyebut Presiden harus beragama Islam juga dihapus tinggal menjadi, Presiden ialah orang Indonesia asli.

Kalimat-kalimat lain yang ada sangkut pautnya dengan bala tentara Jepang juga dihapus. Pasal baru yang dimasukan saat itu berisi tentang pemilihan Presiden dan Wakilnya Panitia Persiapan Kemerdekaan. Berkat pasal baru itulah, Ir Bung Karno dan Drs Mohammad Hatta terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Kedua pemimpin besar itu terpilih secara aklamasi tanpa lawan.

“Itulah rapat di mana mereka memilihku dengan suara bulat sebagai Presiden. Aku ingat seseorang mengeluarkan ucapan, ‘Sebuah negara memerlukan Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Bung Karno ?”
“Hanya sesederhana itu. Kata-kata penting yang aku ucapkan sebagai penerimaan pengangkatan itu yang sekarang akan diabadikan untuk anak cucu adalah, ‘Baiklah!’ Hanya itu,” kenang Bung Karno.
Pada rapat itu juga ditentukan batas-batas negara Indonesia meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, tidak kurang dan tidak lebih.

Demikian catatan penting dalam rapat itu.
Dengan dimilikinya UUD 1945 dan dipilihnya Presiden dan Wakilnya sebagai pemegang kekuasaan dalam pemerintahan maka terpenuhilah syarat-syarat kelengkapan negara, dan lahirlah Republik Indonesia.
Bulan-bulan pertama setelah proklamasi kemerdekaan merupakan bulan yang sangat berat bagi bangsa Indonesia. Sebab saat itu tentara Jepang masih menduduki wilayah Indonesia dengan persenjataan lengkap.
Pembentukan roda pemerintahan saat itu dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama di bidang eksekutif. Pemerintah harus menetapkan UUD dan menyebarkan naskah Proklamasi ke seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintah juga harus membentuk pertahanan sipil dan tentara sendiri yang tidak berhubungan dengan Jepang, dan membentuk departemen-departemen, serta memilih menteri-menteri yang sudah berpengalaman.

Bagian kedua adalah menyiarkan berita proklamasi dan lahirnya bangsa Indonesia ke seluruh negara-negara tetangga, Asia, dan Eropa. Tugas ini dipimpin oleh Adam Malik, pemimpin pemuda gerakan bawah tanah. Melalui siaran radio gelombang pendek kantor berita Jepang, Adam Malik menyebarkan berita penting itu ke seluruh wilayah Indonesia dan dunia, dan baru diketahui oleh Jepang setengah jam kemudian.

Saat Jepang mengetahui siaran itu, mereka sudah terlambat karena informasi itu sudah disebarkan kembali ke pelosok-pelosok dan negara-negara yang menangkap berita itu juga telah ikut menyebarkannya.

Bagian ketiga adalah melakukan perebutan kekuasaan dari tangan para tentara Jepang. Pabrik-pabrik senjata milik Jepang diserang, tentara dilucuti, stasiun radio, kantor telegraf, pelabuhan dan kereta api direbut.
Para pembesar Jepang ditarik paksa dari tempat tidurnya, ditendang ke luar gedung-gedung pemerintahan. Pihak Jepang yang sudah tidak berdaya dan tidak punya tenaga melakukan perlawanan ala kadarnya.

Seruan revolusi nasional itu sangat kencang, disambut semua golongan rakyat, termasuk golongan ningrat atau kerajaan dan pangreh praja yang sebelumnya mengikuti Belanda ikut menindas bangsanya sendiri. Satu per satu perwakilan pangreh praja dan raja-raja di Nusantara menyatakan kesanggupan dan kesiapannya untuk berada di belakang negara yang baru berdiri itu, serta siap bersama-sama berjuang.

Salah satu puncak dari revolusi nasional di bulan-bulan pertama adalah rapat raksasa dan aksi demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945 pagi. Aksi itu salah satu yang terbesar di Indonesia. Rapat raksasa itu tidak memiliki persiapan yang matang, karena sedari awal dilarang pihak Jepang yang ketakutan kalau-kalau semangat rakyat yang meluap itu mejadi kekuatan yang sangat menghancurkan.

Tidak disangka, massa rakyat justru sangat antusias dengan rapat itu. Berpuluh-puluh gerbong kereta api dari Cikampek, Bogor, Tangerang, dan lain-lain daerah membawa massa rakyat ke lapangan Ikada. Rakyat dari luar daerah, seperti Cirebon, Tegal, Banten, Bandung, dan lainnya juga hadir dalam rapat itu. Massa rakyat yang datang tidak bisa dibendung lagi, bagaikan air bah yang bergulung-gulung sejak pagi.

Sore harinya, saat rapat akan dimulai, Jepang mengeluarkan tank-tank, dan pasukannya di jalan-jalan sekitar lapangan Ikada. Mitraliur siap dipasang, dan bayonet sudah terhunus. Tetapi rakyat tidak mau bubar.

Rakyat menunggu Presiden Soekarno dan ingin mendengar perintahnya secara langsung. Rakyat ingin mendengar Presidennya bicara. Di lapangan inilah, untuk pertama kalinya Presiden Indonesia berpidato. “Massa menjadi liar ketika melihatku. Meski dilengkapi dengan senapan mesin dan tank-tank, tentara Jepang tidak berani melaksanakan perintah atasannya untuk melarangku berpidato,” kata Bung Karno.

Satu gerakan yang salah saat itu dari Bung Karno akan berakibat pada aksi pembunuhan besar-besaran. Tindakan yang diambil Bung Karno akhirnya adalah memerintahkan rakyatnya untuk pulang ke rumahnya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, seorang Presiden bisa mengatur satu juta massa hanya sekali perintah. Saat melihat peristiwa itu, bukan hanya rakyat yang berdecak kagum, tentara Jepang juga.

“Apabila engkau masih setia dan percaya kepada Presidenmu, patuhilah perintahnya yang pertama. Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur,” demikian Bung Karno.
Demikian tulisan ringan ini diakhiri sebagai peringatan Hari Ulang Tahun Indonesia yang ke-70. Semoga Tuhan yang Maha Esa memberkati bangsa ini untuk selama-lamanya. Jayalah Indonesia ! *

(Merenimpost)