Walau Dapat Sertifikat TKDN, Iphone 16 Belum Bisa Dijual di Indonesia

oleh

Caption:Sebuah toko di Jakarta memajang model terbaru produk Apple untuk memberikan kesempatan mencoba kepada pengguna pada 26 Februari 2025. (Foto: AFP)

JAKARTA — Setelah melalui negosiasi yang panjang, iPhone 16 akhirnya berhasil mengantongi sertifikat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Namun, masih ada beberapa langkah yang harus diambil sebelum produk ini dapat dijual di Indonesia.

Kementerian Perindustrian telah menerbitkan sertifikat TKDN untuk 20 produk Apple, termasuk 11 sertifikat untuk telepon seluler dan sembilan sertifikat untuk komputer tablet. Juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengungkapkan bahwa penerbitan sertifikat ini dilakukan setelah Apple memenuhi regulasi terkait kebijakan TKDN HKT, sesuai dengan Permenperin No. 29 Tahun 2017.

“Sertifikat TKDN 20 produk Apple telah kami terbitkan. Penerbitan 20 sertifikat tersebut dilakukan setelah Apple dijatuhi sanksi karena wanprestasi pada periode 2020-2023 dan kembali mematuhi regulasi terkait kebijakan TKDN HKT, yakni Permenperin No. 29 Tahun 2017,” ungkap Febri seperti dikutip dari siaran pers pada Jumat (7/3) di Jakarta.

Apple juga berkomitmen untuk membangun fasilitas riset dan inovasi di Indonesia senilai $160 juta (sekitar Rp2,6 triliun), yang akan menjadi pusat riset kedua mereka di luar Amerika Serikat dan yang pertama di Asia.

Namun, sebelum produk-produk ini dapat dipasarkan di Indonesia, Apple harus mendapatkan sertifikat pos dan telekomunikasi (postel) dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Sertifikat ini merupakan syarat untuk mendapatkan Tanda Pendaftaran Produk (TPP) Impor dari Kemenperin, yang diperlukan untuk memperoleh IMEI dan Persetujuan Impor (PI) dari Kementerian Perdagangan.

“Setelah mendapatkan 20 sertifikat TKDN, Apple dapat memproses sertifikat postel untuk semua produk tersebut. Dengan sertifikat TKDN dan postel, Apple berhak mendapatkan TPP Impor untuk seluruh produk yang akan digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan nomor IMEI dari CEIR dan PI dari Kemendag,” tambah Febri.

Di antara produk yang telah mendapatkan sertifikat TKDN, terdapat lima varian iPhone 16, yaitu iPhone 16e, iPhone 16 Pro Max, iPhone 16 Pro, iPhone 16 Plus, dan iPhone 16.

Ekonom Indef Tauhid Ahmad mengatakan skema tiga yang dipilih oleh Apple dengan membangun fasilitas riset dan inovasi merupakan skenario lama yang kembali dipilih oleh perusahaan dari negeri Paman Sam tersebut. Menurutnya, meskipun skema yang dipilih sama, pemerintah harus bisa memperluas skema investasi dari Apple agar bisa berdampak signifikan bagi Indonesia.

“Ini harus dikembangkan fasilitasnya, kan sudah beberapa tahun Apple membangun pusat pelatihan, tetapi itu tidak terkoneksi dengan industri-industri yang ada di dalam negeri, terpisah,” katanya.

“Menurut saya, Apple harus memfasilitasi hasil didikan Apple dengan industri di dalam negeri sehingga bisa bermanfaat untuk mengembangkan manufaktur yang ada di kita, sehingga mempercepat transfer teknologi dan pengembangan SDM yang lebih masif. Karena kalau nggak, tetap saja kita pakai ahli dari luar. Kan mahal,” imbuh Tauhid ketika berbincang dengan VOA.

Lebih jauh, Tauhid mengatakan pemerintah cenderung agak keras terhadap Apple yang menuntut agar kandungan TKDN di dalam setiap produk Apple harus terpenuhi.

Apple Store di The Grove, Los Angeles, California, tempat iPhone 16, Apple Watch, dan AirPods terbaru dipamerkan setelah dirilis pada 20 September 2024. (Foto: AFP)

Menurutnya, dalam menghadapi perusahaan global sekelas Apple, Indonesia tidak bisa mengharapkan Apple akan langsung membangun pabrik komponen ponsel atau komputer seperti yang dilakukan di Vietnam. Komitmen membangun pabrik AirTag di Batam merupakan langkah awal yang positif. Namun, sekali lagi ia menekankan, banyak yang harus diperbaiki oleh Indonesia agar kelak Apple mau berkomitmen membangun pabrik besar di Tanah Air.

“Misalnya, industri yang lain kan benar-benar bangun manufaktur karena mereka tahu kita tuh bangun manufaktur sebagai market, karena penduduk kita besar, misalnya automotif. Itu mau diberlakukan ke Apple juga, dan tampaknya kurang berhasil karena sebenarnya Apple itu pasar global. Sehingga tawarannya adalah, menurut saya, ada pilihan lain,” kata Tauhid.

“Kita tidak perlu manufaktur besar, tapi pemasok-pemasok beberapa komponen yang ada di Apple itu bisa dibangun di sini, dimulai dari AirTag dan yang lain bisa banyak. Jadi mulai dari yang kecil-kecil, jangan bermimpi langsung manufaktur semua dirakit di sini. Itu agak berat,” jelasnya lagi.

Tauhid menuturkan, ada beberapa pertimbangan mengapa Apple lebih cenderung membangun pabriknya di Vietnam. Beberapa di antaranya, kepastian hukum di Tanah Air, seperti regulasi dan insentif yang masih cenderung berubah-ubah dan sengketa lahan, serta kurangnya SDM unggul dalam bidang teknologi tinggi.

Selain itu, kata Tauhid, ada satu hal yang tidak dimiliki oleh Indonesia, tetapi dipunyai oleh Vietnam, yaitu rantai pasok.

“Rantai pasok untuk Apple di Vietnam itu juga disediakan oleh China, Jepang, Korea maupun Amerika sendiri. Jadi secara geografis lebih murah bangun di Vietnam. Paling dekat di global kan di Batam, tetap masih relatif lebih mahal,” kata Tauhid.

“Produk Apple kan tidak dibangun di satu pabrik, tapi komponennya juga berasal dari pabrik di berbagai negara. Jadi kalau mau pindah, ya kita harus sesuatu yang bisa bikin cost-nya lebih murah. Rantai pasok dari komponen pendukung ini yang kita tidak siap,” pungkasnya.(VOA/03)