Caption: Komuter yang penuh sesak pada -jam-jam sibuk sore hari di Jakarta, 26 Februari 2025. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Fixsnews.co.id- Kekecewaan terhadap kualitas hidup di Indonesia, yang dihuni oleh 280 juta penduduk dan dilanda masalah korupsi serta nepotisme, telah memicu gelombang protes mahasiswa. Banyak orang kini merasa ingin “kabur aja dulu” untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Salah satu contoh nyata dari fenomena ini adalah Patricia (39 tahun), seorang guru privat yang telah serius mempelajari bahasa Jerman selama dua tahun terakhir. Mimpinya? Menemukan kehidupan baru di Eropa. Dengan minimnya peluang kerja, stagnasi ekonomi, dan harapan yang semakin menipis di Tanah Air, keputusan untuk pergi terasa semakin logis baginya.
Patricia adalah salah satu dari ribuan orang yang mencerminkan sentimen di balik viralnya tagar #KaburAjaDulu. “Setelah bertahun-tahun bekerja, penghasilan saya tetap sama, sementara kebutuhan hidup terus meningkat,” ungkapnya, tanpa menyebutkan nama belakangnya. “Saya tidak memiliki rumah atau mobil. Jika saya terus bekerja seperti ini, mungkin saya tidak akan pernah cukup,” tambahnya.
Dalam sebulan terakhir, tagar #KaburAjaDulu semakin populer di media sosial. Menurut firma analitik Brand24, ribuan orang telah menyebutkan tagar ini, menjangkau lebih dari 65 juta akun di platform X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter).
Curahan hati ini muncul bersamaan dengan protes mahasiswa yang menentang kebijakan efisiensi masif yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Suara-suara ini mencerminkan keresahan masyarakat yang semakin mendalam terhadap kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia.
Ingin Berjuang
Hampir 7,5 juta orang di Indonesia menganggur, menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024.
Situasi tersebut semakin memicu kemarahan atas buruknya kualitas hidup, karena kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Tanah Air kian melebar, sementara kelas menengah semakin terhimpit.
“Setelah banyak kebijakan aneh dan pergantian presiden, saya mulai merasa harus pindah ke luar negeri. Sekarang, itu sudah jadi kebutuhan utama,” kata Chyntia Utami, seorang pekerja teknologi di Jakarta yang berusia 26 tahun.
“Saya benar-benar merasakannya. Saya tidak mendapat bantuan sosial, dan uang yang saya miliki sangat terbatas. Bekerja bukan lagi soal mengejar passion, tapi sekadar bertahan hidup dari hari ke hari, bulan ke bulan.”
Beberapa orang rela mengambil pekerjaan kasar di luar negeri demi bisa kabur meninggalkan Tanah Air.
Langkah ekstrem tersebut diambil Randy Christian Saputra, 25 tahun. Ia memilih hengkang dari pekerjaannya di perusahaan konsultan multinasional demi bekerja kasar di perkebunan tomat di Australia.
“Saya lelah dengan sistem di Indonesia. Jika kita melihat ke luar negeri, mereka biasanya memiliki sistem yang lebih baik,” katanya.

Standar hidup yang buruk di kota besar Jakarta mendorong orang untuk kabur.
“Semakin lama saya tinggal di Jakarta, semakin sulit karena polusi atau kemacetan lalu lintas. Ini lebih berkaitan dengan standar hidup,” kata Favian Amrullah, seorang insinyur perangkat lunak berusia 27 tahun. Ia akan pindah ke perusahaan rintisan teknologi di Amsterdam pada April.
“Saya lelah, dan merasa putus asa,” katanya.
Beberapa perusahaan asing melihat peluang dari tren tersebut, termasuk perusahaan perekrutan Jepang yang gencar memasang iklan online untuk menarik talenta terbaik.
Para ahli menyebut media sosial menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan unek-unek sehingga mereka merasa didengarkan.
“Ini mencerminkan emosi publik,” kata Ika Karlina Idris, profesor madya di Universitas Monash Indonesia.
Ia mengatakan tagar tersebut menyoroti “kekhawatiran masyarakat terhadap pekerjaan dan nepotisme” serta “kebijakan publik yang semrawut”.
Jangan Kembali
Keributan tersebut memicu kritik dari beberapa menteri. Bahkan, salah seorang menteri angkat bicara. Dengan nada keras ia mengatakan, yang ingin #kaburajadulu jangan lagi kembali.
“Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi,” ucap Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Noel Ebenezer pada bulan lalu.
Ia tidak segera menanggapi permintaan AFP untuk berkomentar.
Para influencer pendukung Prabowo juga menyebarkan disinformasi dengan tujuan merusak kredibilitas para pengunjuk rasa.
Dalam beberapa minggu terakhir, tim Pemeriksa Fakta AFP menemukan belasan video di TikTok yang menyebarkan klaim tak berdasar bahwa para pengunjuk rasa mahasiswa “dibayar.” Video itu telah ditonton delapan juta kali.
Para kreator konten pro-pemerintah dan pendukung Prabowo kemudian mengunggah video reaksi di YouTube dan TikTok yang memperkuat misinformasi tersebut. Menurut temuan Pemeriksa Fakta AFP, video-video itu sudah ditonton lebih dari dua juta kali.
Patricia tetap tidak gentar, ia tetap melamar posisi sukarelawan di Jerman dengan harapan dia bisa mendapatkan pekerjaan bergaji di sana.
“Saya ingin berjuang di sana untuk mendapatkan pekerjaan, kehidupan, dan penghasilan yang lebih baik,” katanya. “Jika saya sudah mendapat tempat di sana… tidak, saya tidak akan balik ke Indonesia,” ujarnya.(VOA/03)