Caption:Presiden Jokowi dalam pembukaan Rakornas Pengawasan Intern di kantor BPKP, Jakarta, Rabu (14/6) menyayangkan tidak produktifnya anggaran negara karena banyak dipakai untuk perjalanan dinas dan rapat (biro Setpres)
Presiden Joko Widodo menyayangkan banyak anggaran negara baik di pusat dan daerah yang tidak digunakan secara produktif. Menurutnya, hal ini akan semakin menjauhkan target menuju Indonesia Emas 2045.
Fixsnews.co.id- Presiden Joko Widodo tidak bisa menyembunyikan kekesalannya saat mengetahui bahwa banyak anggaran — baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) — digunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat.
Ia mencontohkan anggaran untuk penanganan stunting. Sekitar 80 persen dari anggaran tersebut ternyata hanya dihabiskan untuk perjalanan dinas, honor dan rapat.
Baca Juga:Launching Aksi Goceng, Arief: Jangan Ada Lagi Anak Stunting di Kota Tangerang
Pemerintah akan Terbitkan Perpres yang Permudah Izin Rumah Ibadah
“Contoh, ada anggaran stunting Rp10 miliar. Coba cek, lihat betul untuk apa Rp10 miliar. Jangan membayangkan nanti ini dibelikan telor, susu, protein, sayuran. Coba dilihat detil, saya cek minggu lalu, di APBD Rp10 miliar untuk stunting di cek, perjalanan dinas Rp3 miliar, rapat-rapat Rp3 miliar, untuk penguatan dan pengembangan bla bla bla Rp2 miliar. Yang benar-benar untuk beli telur gak ada sampai Rp2 miliar. Kapan stuntingnya selesai kalau caranya seperti ini?,” ungkap Jokowi ketika membuka Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023 di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Hal serupa terjadi pada anggaran sebuah daerah untuk pengembangan dan pemberdayaan UMKM, yang mencapai Rp2,5 miliar. Dari jumlah tersebut dilaporkan sebanyak Rp1,9 miliar dihabiskan untuk perjalanan dinas, honor serta rapat. Menurutnya, jika permasalahan ini dibiarkan maka anggaran negara akan habis dengan percuma dan tidak ada hasil yang kongkret bagi rakyat.
“Rp1,9 miliar untuk honor dan perjalanan dinas, ke situ-situ terus sudah. Itu nanti sisanya yang Rp0,6 miliar itu nanti juga masih muter-muter saja. Pemberdayaan, pengembangan istilah yang absurd, tidak kongkret. Langsung saja disebut untuk modal kerja, beli mesin produksi, untuk marketing karena kalau untuk pengembangan UMKM kan mustinya untuk itu,” katanya.
Maka dari itu, ia menginstruksikan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawasi dengan ketat penggunaan dan penganggaran baik di pusat maupun daerah. Selain pengawasan, Jokowi juga meminta BPKP untuk mengarahkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN serta Kementerian/Lembaga untuk menggunakan anggaran negara untuk hal-hal yang berdampak langsung kepada masyarakat. Dengan begitu menurutnya anggaran negara ke depan bisa lebih produktif.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengakui bahwa pihaknya cukup lemah dalam hal pengawasan penggunaan anggaran tersebut. Ia menuturkan hal ini cukup berbahaya karena akan semakin menjauhkan target Indonesia Emas 2045.
“Peran pengawasan sangat-sangat penting. Kenapa saya juga sering cek ke lapangan, turun ke bawah. Saya ingin pastikan bahwa apa yang kita programkan sampai betul ke rakyat, sampai ke masyarakat. Karena memang kita lemah di sisi itu. jika tidak diawasi, jika tidak dicek langsung, jika tidak dilihat, dipelototi satu-satu, hati-hati, kita lemah di situ. Pelototi, kita turun ke bawah, itu saja masih ada yang bablas, apalagi tidak. Dan saya minta pengawasan itu orientasinya bukan prosedurnya, tapi orientasinya itu hasilnya apa?,” tegasnya.
Pemerintah Tidak Punya Skala Prioritas
Pengamat kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai permasalahan anggaran negara yang tidak produktif ini merupakan pola atau praktik lama. Menurutnya, tidak akan ada perubahan yang berarti karena tidak ada sanksi yang tegas ketika anggaran negara tidak diperuntukkan benar-benar untuk rakyat.
“Selama ini ASN atau birokrat memang dalam menghabiskan anggaran lebih bersifat konsumtif. Dan itu selalu direstui oleh pimpinan. Artinya memang mereka menjalankannya seperti itu. Pemerintah sendiri selalu konteksnya wacana dan tidak jelas arahnya mau kemana. Perkataan itu selalu diulang setiap tahun. Jadi pada tataran implementasi itu mereka tetap kembali ke pola lama, seperti perjalanan dinas, dan yang bersifat konsumtif yang paling banyak dan itu pun direstui,” ungkap Trubus.
Menurutnya, agar hal serupa tidak terulang kembali, pemerintah ke depan harus betul-betul merancang pola kebijakan pengganggaran seperti apa yang bisa berdampak langsung bagi rakyat.
“Dirancang desain kebijakannya akan seperti apa, kebijakan itu kaitannya dengan output, output-nya mau seperti apa? Kalau misalnya anggaran yang diperuntukkan itu untuk stunting, kemiskinan esktrem, kebijakannya diarahkan ke sana semua, sehingga yang terjadi kemudian biaya untuk jalan-jalan ASN bisa dikendalikan,” tuturnya.
Selama ini, ia menilai adanya ketidaksinkronan antara apa yang ditargetkan oleh Jokowi dengan kebijakan yang diimplementasikan. Mayoritas kebijakan pemerintah saat ini, menurutnya, tidak pro kepada kepentingan masyarakat.
“Misalnya di kita ada 1,7 juta masyarakat yang masuk kepada kategori kemiskinan ekstrem. Itu kan kaitannya dengan penciptaan lapangan kerja. Jadi ya kongkretnya anggaran negara harus diarahkan kepada penciptaan lapangan kerja misalnya. Jangan kemudian wacananya malah menaikkan gaji ASN. Itu menunjukkan bahwa pemerintah sendiri tidak fokus dalam hal bagaimana mengentaskan persoalan yang berkaitan dengan publik. Karena kan pemerintah seharusnya berorientasi dengan bagaimana masyarakat bisa bertahan kepada kondisi domestik, dan global yang saat ini sedang tidak baik-baik saja,” pungkasnya.(VOA/03)