Pengamat: Dosen di Indonesia Terancam Tenggelam Dalam Tugas Administratif

ILUSTRASI – Urusan administratif dinilai banyak pihak merupakan beban yang lebih berat dari Tri Dharma (beban tugas utama dosen: pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat).

Fixsnews.co.id- Beban tugas dosen meliputi pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat (Tri Dharma). Namun, kini ada beban lain yang dinilai banyak pihak lebih berat dari tiga tugas utama itu, yaitu urusan administratif demi melayani tuntutan kementerian.

Kesabaran para dosen di Indonesia sedang diuji, ketika Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), mengeluarkan PermenPAN RB 1/2023. Peraturan menteri ini mewajibkan dosen mengisikan kembali secara manual semua data Tri Dharma ke sistem baru. Padahal, dosen telah melakukan itu secara rutin dalam sistem berbeda, yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek.

Baca Juga:Terbitkan SE Penyelenggaraan Hari Raya Idulfitri, Menag Yaqut :Jaga Ukhuwah, Toleran Sikapi Beda Awal Syawal

Kerjasama Digitalisasi, SEVIMA dan LLDIKTI Sumut Rumuskan Dua Tips Pecahkan Masalah Administrasi Kampus

Kondisi ini dikeluhkan Syukron Salam, dosen di Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

 

“Dua sistem ini, yang akhirnya menjadi korban dan yang dibebani adalah orang-orang yang memegang jabatan fungsional, dalam hal ini dosen. Kita harus mengisi sistem BKD yang ada di kampus, lalu dari kampus disinkronisasi di SISTER, lalu PAN RB juga membuat Sijali dan Sijago,” kata Syukron.

BKD yang disebut Syukron adalah Beban Kerja Dosen, yang disusun di awal sementer dan dilaporkan melalui Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi (SISTER). Di akhir semeter, dosen kembali menyusun Laporan Kinerja Dosen.

Selain itu, dosen juga dibebani berbagai tugas lain seperti publikasi, pembuatan aneka laporan hingga terlibat dalam berbagai kegiatan kampus. Penambahan beban dari KemenPAN RB ini dinilai sangat memberatkan, apalagi dalam ketentuan awal, tenggat waktu yang ditetapkan adalah 15 April 2023. Jika terlambat, semua angka kredit atau hasil kerja dosen yang tidak dimasukkan dalam sistem akan dianggap hilang. Tenggat waktu ini akhirnya diundur hingga Mei.

Benny Setianto, dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, bersama 36 dosen berbagai perguruan tinggi membuat petisi di laman change.org, terkait hal ini. Lebih dari 10 ribu tandatangan, mayoritas adalah akademisi, telah dibubuhkan dalam petisi ini.

Pembuat petisi menyerukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk membatalkan tenggat waktu 15 April 2023, terkait kebijakan input data Tridarma Penilaian Angka Kredit di link Sijali/Sijago. Kedua, menghapus ancaman sanksi terhadap dosen terkait kebijakan tersebut. Ketiga, aplikasi-aplikasi Ditjen Dikti Ristek yang terlalu banyak dan membebani dosen diminta untuk diaudit. Sedangkan tuntutan keempat, adalah reformasi birokrasi pendidikan.

Kritik Keras Kalangan Dosen

Guru besar hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti menilai, PermenPAN RB 1/2023 bisa disebut sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang tidak baik. Alasannya, seharusnya aturan itu mematuhi asas-asas pembentukan dan asas-asas materi. Dalam pembentukan aturan, salah satu yang terpenting adalah partisipasi bermakna.

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. (foto Humas Unpad)

 

“Kita tidak mengetahui dengan pasti, apakah PermenPAN RB itu sudah menggunakan atau sudah melaksanakan partisipasi yang bermakna tersebut,” ujarnya dalam konferensi pers Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) terkait PermenPAN RB 1/2023, Rabu (19/4).

Pihak yang paling terdampak dari ketentuan baru ini, di kalangan perguruan tinggi adalah para dosen. “Kita juga tidak mengetahui dengan pasti, para dosen apakah sudah pernah dimintakan pendapatnya, yaitu dalam kerangka hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan,” tambah Susi.

Kritik keras juga disampaikan guru besar hukum, Universitas Gadjah Mada, Prof Sigit Riyanto. “Seluruh dosen di Indonesia, seluruh perguruan tinggi di Indonesia, mengalami rush. Harus berakrobat demi menyesuaikan diri, memenuhi apa yang diminta di dalam peraturan maupun kebijakan-kebijakan yang disosialisasikan, dengan adanya peraturan itu,” ujarnya.

Respon Kemendikbudristek juga dikritisi Sigit. Dia mengatakan, pengambil kebijakan gagal memahami karakteristik profesi dosen sebagai akademisi dan intelektual. Kemendikbudristek juga menunjukkan kebingungan dalam memahami misi fundamental institusi pendidikan tinggi.

“Tentunya, harapan teman-teman dosen seluruh Indonesia ke depan, kebijakan dan regulasi yang konyol dan selalu membebani dosen, serta tidak relevan dengan misi fundamental pendidikan tinggi ini, harus dihentikan,” tegas Sigit.

Sigit meminta, pembuatan kebijakan dan regulasi lebih partisipatif dengan melibatkan dosen, sebagai pemangku utama yang akan terdampak.

“Kondisi dan situasi profesi teman-teman kita dosen seluruh Indonesia, semuanya dihadapkan pada tuntutan beban kerja yang cukup pelik, dan cukup berat. Mencakup pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat,” tambahnya.

Di sisi lain, Sigit juga mengkritisi kebijakan Kemendikbudristek khususnya Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, yang melakukan obstruction of career path bagi dosen.

“Salah satunya adalah munculnya peraturan tentang profesor kehormatan. Suatu kebijakan yang didasarkan pada pemahaman keliru, dan pertimbangan yang tak relevan dengan misi fundamental pendidikan tinggi, dan pengembangan keilmuan di Indonesia,” tandasnya.

KIKA Sampaikan Tuntutan

Membacakan tuntutan KIKA, dosen Universitas Negeri Jakarta, Abdhil Mughis Mudhofir menyatakan bahwa terjadi kesalahan pandang dan perlakuan Dirjen Dikti Kemendikbudristek, terhadap perguruan tinggi dan dosen.

“Sehingga memicu munculnya pelanggaran-pelanggaran dalam membuat aturan, kebijakan dan penerapannya,” ujar dia.

Selain itu, KIKA juga menilai bahwa sistem administrasi yang dibangun selama ini menempatkan Ditjen Dikti Ristek seolah-olah menjadi tim sumber daya manusia untuk semua universitas di Indonesia.

Pemerintah memang telah memberikan otonomi kepada perguruan tinggi, namun sayangnya hanya pada sisi keuangan. Bentuknya, adalah lepasnya tanggung jawab negara dalam pembiayaan, dan membiarkan perguruan tinggi mencari sumber-sumber keuangannya sendiri.

“Padahal perguruan tinggi sejatinya membutuhkan otonomi keilmuan, yakni ruang bebas dan mandiri dalam mengembangkan ilmu pengetahuannya masing-masing. Inilah paradoksnya, di mana otonomi pada akhirnya dimaknai setengah hati,” tambah Mughis.

Sementara Herdiansyah Hamzah, dosen Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, membacakan enam poin tuntutan KIKA. “Dalam membangun aturan, posisikan penyelenggara perguruan tinggi sebagai mitra yang sejajar, bukan seperti bawahan,” kata Herdiansyah.

KIKA juga menegaskan bahwa dosen bukan bawahan Ditjen Diktiristek, karena itu penilaian kinerja dan pertanggungjawaban dosen sepenuhnya wewenang institusi tempat mereka bekerja. Ditjen Diktiristek tidak bisa sewenang-wenang memberikan perintah kepada dosen, apalagi menilai performa dosen.

KIKA juga meminta pemerintah, membiarkan kampus menentukan orientasi dan target mereka secara bebas tanpa intervensi Kemendikbud. Herdiansyah juga mengatakan, dosen adalah intelektual yang telah lolos berbagai macam tes untuk menunjukkan kompetensinya.

“Jadi jangan lagi ada TPA/ TKD diterapkan untuk dosen. Nilai dosen berdasarkan rekam jejak pencapaian atau aktivitas ilmiahnya. Pun juga dengan perekrutan dosen PNS, sudah seharusnya seleksi Dosen dibedakan dengan seleksi-seleksi calon pegawai ASN lainnya,” tegasnya.

Tuntutan kelima, KIKA meminta pemerintah membuat standarisasi gaji dosen nasional berdasarkan level, daripada menyediakan tunjangan yang nilainya tidak seberapa. Sementara terakhir, KIKA menyatakan, bahwa setiap dosen memiliki batasan dan ruang kerjanya. Sebuah kebijakan keliru jika dosen diberikan beban administrasi, seperti pemberkasan.

“Di dalam aktivitas perguruan tinggi, selain dosen ada staf administrasi yang membantu urusan teknis. Hal-hal teknis dan masalah kelengkapan administratif sebaiknya dibebankan kepada staf administratif atau penunjang, bukan dibebankan kepada dosen,” rincinya. (VOA/03)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan